source: google images
Dua tahun melewati
era kepemimpinan yang baru, Indonesia perlahan-lahan menunjukkan taringnya. Dimulai
dari perbaikan di bidang infrastruktur, pendidikan, perikanan dan kelautan,
serta hubungan multilateral yang berhasil mengatasi kasus penyanderaan WNI yang
dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina dan penangkapan pelaku kasus
BLBI yang sudah 13 tahun buron di luar negeri—semua tidak lepas dari peran kebijakan
pemerintah yang ada.
Kendati
demikian, PR yang dimiliki pemerintah Indonesia tidak lantas berkurang, justru
semakin hari, polemik yang melibatkan banyak stakeholders di negeri ini kian ruwet dan menjalar. Sebagai salah
satu tonggak utama, penegakkan hukum yang belum konsisten menjadikan birokrasi
di Indonesia masih bolong sana-sini.
Contohnya saja
kasus Panama Papers yang mencantumkan sejumlah daftar berisi para pengusaha dan
pejabat negara di Indonesia, hal ini menunjukkan bahwa pengawasan dan kontrol
hukum belum bergerak maksimal. Penggelapan pajak, penyelewengan dana bantuan
sosial, dan pelanggaran-pelanggaran fatal lainnya, tentu harus menjadi
perhatian penting demi mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Menilik dari masalah-masalah
di atas—yang secara tidak langsung telah menghambat laju pergerakan Indonesia,
seluruh masyarakat dapat menilai bahwa persoalan ini terletak pada sumber daya
manusia selaku pemegang kendali. Terdengar klasik, namun tidak bisa dipungkiri,
pembenahan profesionalitas dan integritas aparatur sipil negara memang seharusnya
menjadi prioritas dalam melakukan reformasi birokrasi.
Seperti jargon “Revolusi
Mental” yang dulu kerap didengungkan, sudah sepatutnya hal tersebut diolah
kembali kemudian dicetak ke dalam wadah yang lebih konkret. Adalah sebuah
rahasia umum apabila banyak yang menganggap bahwa perilaku koruptif di
Indonesia merupakan gen yang tak terelakkan. Setiap tahun, kehidupan bangsa ini
beregenerasi, dan begitu pula dengan tindakan curang yang seolah menjelma
warisan turun temurun dan mendarah-daging.
Memperbaiki
memang lebih sulit daripada mencegah. Dan memutus mata rantai kasus-kasus
korupsi yang menumpuk adalah sebuah tantangan terbesar mengingat Indonesia
telah kadung terperangkap dalam lingkaran setan tersebut.
Namun ini bukan
berarti tidak ada harapan. Jika dibandingkan usia Amerika Serikat dan Jepang, Indonesia
masihlah seorang bocah yang perlu belajar lebih banyak lagi. Butuh ratusan
tahun bagi Amerika Serikat dan Jepang dalam melakukan perombakan untuk kemudian
menjelma negara kapitalis paling berpengaruh di dunia. Termasuk dalam bidang birokrasi.
Seperti yang
tersirat dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, rambu
pengawasan hingga pemberian reward and
punishment berdasarkan sistem merit sudah mulai diterapkan. Tetapi,
kebijakan ini tidak bisa serta-merta mengubah keadaan apabila para aktor yang
terlibat justru masih terjebak dalam pola pikir dan budaya kerja yang sama,
yang sarat dengan ‘penyakit-penyakit’ lumrah seperti membiarkan-rekan-korupsi-asal-ikut-kecipratan
dan lain sebagainya.
Berulang kali
hal ini direkomendasikan oleh banyak orang, dan diteriakkan seolah tiada
habisnya: Indonesia membutuhkan pembersihan sistem dan pembenahan cara kerja
pemerintah guna peningkatan mutu layanan. Ada baiknya pula, bukan hanya
pemerintah saja sebagai satu-satunya pihak yang berjuang dalam menghadapi
tantangan yang ada, tetapi publik turut wajib mendukung dan menngawasi secara
total dalam pembenahan yang dilakukan. Sudah saatnya birokrat dan masyarakat
saling bergandengan tangan dan berinteraksi satu sama lain agar wacana good governance yang digembor-gemborkan
dari dulu dapat terlaksana di Indonesia.
Hemat saya, yang
dibutuhkan Indonesia adalah orang-orang yang paham kebaikan dan kebajikan. Yang
Indonesia butuhkan adalah orang-orang yang tidak cuma bisa ongkang-ongkang kaki
lalu protes sana-sini. Yang Indonesia butuhkan bukanlah mereka yang punya
pengetahuan tinggi namun lupa menginjak bumi.
Dengan demikian,
Indonesia tidak akan lagi terombang-ambing dalam perang kepentingan dan
birokrasi yang dilaksanakan bisa betul-betul murni atas nama rakyat.
[Amaliah Black]
0 komentar