Srikandi
(Oleh: Amaliah Black)
Terkadang ia bernapas
persis anjing pelacak. Lantas mengendusi semacam odor yang campur aduk.
Terkadang pula ia seperti kuda liar. Sampai kakinya berderap tanpa batas.
Menerjangi undakan yang menggunung di penghujung jalanan tanah kering, berupaya
meringkus jawaban atas tanda tanya yang terkatung-katung di udara. Atau
barangkali ia hanyalah anjing yang menjelma manusia… atau kuda yang menjadi
manusia. Sebab yang ia tahu, kehidupan bukanlah sekadar hubungan platonis. Bukan
juga percumbuan yang basa-basi.
Lalu, telinganya
sebentar lagi mendengar. Orang-orang akan bicara tentang laki-laki, kemudian
perempuan. Perkawinan, kemudian kematian. Yang pada akhirnya jadi
berlarut-larut, mengendap hingga ke dasar, menciptakan gumpalan yang menyumbat
aliran. Genangan pun berubah keruh. Dan lagi-lagi hidungnya kembali menangkap
bebauan yang amat dikenalnya. Bau dosa.
Persetan.
Aku
perempuan. Aku laki-laki. Aku bisa jadi kedua-duanya.
Lagi-lagi pergunjingan
itu bersambung; fitrah perempuan adalah membutuhkan laki-laki.
Cih,
ia menghardik. Dengusnya kini terasa satu-satu. Kemarau yang mengulur waktu seakan
mengirimkan retak-retak pada tanah, dan asap yang memenuhi atmosfer mulai terasa
pedas di mata. Ia menangis, terisak-isak sampai tangannya tak tertahankan lagi
untuk segera menutup wajah. Dirinya merasa telah menempuh perjalanan hidup yang
amat meletihkan jiwa dan raga, dan buntu pada sebuah tanda tanya besar.
Ingin sekali ia
mengundurkan diri dari kenyataan, tetapi lamat-lamat hidungnya kembali menciumi
aroma serupa. Bau dosa. Bahkan ketika
intuisinya tergerak untuk membimbing saraf inderawi dalam melakukan tugasnya,
ia mengingat satu hal.
Waktu itu, di usianya
yang genap dua belas tahun, aroma yang sudah bertahun-tahun merasuki benaknya
berangsur tersingkap. Menampakkan wujud asli sebagaimana ia melihatnya seperti
pemandangan yang liat di mata. Gelombang desah memburu bukan lagi satu-satunya
yang menembus ruang kesadaran. Namun juga tangan dan kaki yang saling membelit.
Memicu gerak naik-turun yang ritmis, hasil kolaborasi dua manusia telanjang
yang seperti dikuasai berahi, yang kala itu, ia tidak mengerti apa tujuannya.
“Mamak[1]?!”
suaranya tahu-tahu meluncur, menyela di antara desau yang beradu.
Tubuh Mamak seketika
berhenti meliuk, dan erangan yang menguar dari mulutnya serta-merta tertahan—terkesiap.
Pun tak ada bedanya dengan lelaki yang tengah berbaring di atas perempuan itu.
Menunjukkan ekspresi sama-sama kaget.
Oh.
Di ambang pintu, gadis
kecil itu sontak tergagu. Lantas menerka-nerka dan sepasang matanya terus bertumbukkan
pada sosok yang menindih selangkangan Mamak.
Maka dimulai hari itu,
ia berhenti menanyakan apa-apa. Sebab di hari-hari berikutnya semua berlalu
seperti tidak ada apa-apa. Juga lelaki di kamar Mamak yang sampai sekarang tak
muncul-muncul lagi, seolah adegan malam itu hanyalah petualangan mimpi yang
akan terus berulang. Mamak yang melenguh di bawah bayangan. Desah napas yang
mirip seembus angin. Dan pekikan yang terdengar berdecit-decit. Entahlah. Gadis
itu masih terlalu muda untuk mengerti, dan Mamak juga tampak tak sanggup
menjelaskannya.
-oOo-
“Satu, dua, tiga. Hap!”
Awan mendung yang
semenjak tadi bergelantungan kini berangsur mengucurkan rintik tipis. Bagai
berpacu dengan air langit yang membuatnya kuyup, gadis itu dengan lincah
berbelok, lantas melompati becekan yang berserak di jalanan setapak. Tubuh
mungilnya melesat seperti anak kancil, dan petir pun terbahak-bahak semakin riang.
Srikandi yang baru
pulang sekolah segera melirik kanan-kiri, kemudian menepi ke sebuah warung yang
sudah tutup. Hujan seakan menyembunyikan seluruh kehidupan di perkampungan itu.
Tak ada lagi semarak ibu-ibu yang biasa duduk di lincak depan rumah sambil menyuapi
makan anaknya, atau dua-tiga remaja tanggung yang ongkang-ongkang kaki seraya
klepas-klepus mengisap rokok. Semua terasa berbeda. Sepi cenderung muram; lampu
yang menyala remang seperti disaput kabut, dan sederetan pintu rumah-rumah warga
yang hampir seluruhnya terkatup rapat. Jelas Srikandi jadi terheran-heran. Perihal
hujankah?
Lalu, gelegar guruh lambat-laun
memudar. Gemericik gerimis yang mulanya memenuhi pendengaran seketika reda,
menyisakan bunyi keletak-keletik bila sejumlah bulir di pucuk daun jatuh menghantam
bebatuan. Bau tanah yang terkombinasi air hujan pun diam-diam mengeruak,
menghapuskan aroma bacin yang sempat terendus lewat gunungan sampah dekat
selokan.
Beberapa jenak,
Srikandi menengadah. Ngeri bakal terjadi hujan susulan yang bahkan lebih deras.
Namun kekhawatiran itu kelihatannya tanpa alasan. Sebab kini langit kembali
membara, kekuningan bersama bekas-bekas mendung yang susut tertelan pendaran
matahari. Seolah punya keyakinan yang sama, beberapa orang yang berteduh di warung
itu juga bertahap menghilang, disertai desing kendaraan yang mengisi kelengangan
itu.
Srikandi jelas tak mau
kalah. Gadis kecil itu turut menjejaki tanah yang kini berbencah, hati-hati
memilah dan mengelak dari jalanan yang barangkali dapat meninggalkan lempung di
sol sepatunya. Atau Mamak bakal marah,
batinnya membayangkan wujud sang ibu dengan hiasan lesung pipit yang tercetak
jelas apabila perempuan itu mulai bicara.
Setelah berhasil melewati
beberapa mulut gang, telinga Srikandi sayup-sayup menangkap hentakan musik yang
bertalu-talu. Hujan baru saja lesap, dan riuh rendah kerumunan kembali
mengambilalih suasana. Di petang itu, ada tawa yang seketika pecah, diselingi
sorak-sorai seperti tengah menonton aksi. Hingar-bingar suara musik terus
mengiring, dan Srikandi tak sanggup lagi mengalahkan rasa penasarannya untuk
lekas memastikan. Buru-buru kakinya memperlebar langkah, mulai membuntuti
jejak-jejak yang seolah membimbingnya menuju keramaian itu.
“Ada artis masuk
kampung ya?” gumam Srikandi yang kala itu masih terlalu naïf untuk mengenal
hidup.
Setiap tapak kakinya masih
berlari-larian seperti tak mau berhenti, namun semakin dekat ia melangkah,
geraknya kian melambat. Dan ketika pentas itu teramat jelas di mata, tak ada
yang mampu menahan Srikandi untuk tidak terperangah, tidak pula dirinya
sendiri. Maka dengan tatapan yang seolah tengah menerjemahkan sesuatu, urat
tenggorokan Srikandi serasa mengerut.
Tahun ini, usianya genap
dua belas. Tetapi setidaknya gadis kencur itu bisa menangkap adanya wawasan yang
masih sumir tentang hakikat moral dan harga diri. Ia pernah mendengar gurunya
berceramah soal agama yang menuntut orang-orang untuk punya adab. Tentang
lelaki, dan perempuan. Tentang jeruji yang membatasi— sang guru bakal menyebut-nyebut
kata monokrom semacam tabu dan haram.
Juga belakangan,
Srikandi mendapati sejumlah warga bahkan para tetangga sebelah yang
bercakap-cakap tentang perkawinan. Nilai-nilai suci, upacara sakral, pranata kehidupan,
dan puncaknya ketika sebagian dari mereka beranggapan bahwa Tuhan akan
memberkahi siapa-siapa saja yang berani menikah. Beruntung di waktu yang sama, Srikandi
tak begitu gegar pada persoalan yang barangkali pelik untuk dipahami. Hanya
saja suatu hari nanti, ia pasti mengerti apa yang lebih jenaka ketimbang kartun
pagi favoritnya: pelaminan yang terpancang tegak, serta orang yang wara-wiri
menyalami kedua mempelai. Semua itu nyatanya tak lebih dari kain kelambu yang
kelak akan menjadi penutup aib sang orok, menggantikan perut membukit di balik
balutan kebaya putih mewah cemerlang.
Kesucian pada pesta
perkawinan yang dihelat kemudian dirayakan dengan sholawatan, lalu diakhiri
dengan jamuan makan malam. Tetapi, sore itu situasinya berbeda. Sebab yang mengadakan
resepsi hari ini adalah anak juragan karet. Jelas warga kampung merasa gembira.
Peduli setan soal bunting di luar nikah, yang penting penantian menuju hari
senin bisa menjadi gebyar dengan dendang musik dangdut semalam suntuk. Dari
yang memakai kaos oblong sampai seragam safari, semuanya kini terhimpun ke
dalam satu panggung, mengayunkan lembar lima puluh ribuan di wajah biduan
semok, sesekali menandak-nandak seiring ritme.
“Abang-abang mau request lagu apa?” Manakala pentas
kembali lengang, biduan lainnya datang bersama bokong yang lenggak-lenggok.
Tubuh sintal dengan kedua belah paha tebal itu hanya dilapisi rok pendek dan
baju tanpa lengan yang tampak ketat. Membentuk jelas tiap kurva dan tonjolan
yang menggunung.
Sontak seorang lelaki
berperawakan ceking dan berahang tinggi meneriakkan sebuah judul lagu dari
bawah panggung, “Kereta Malam!”
Si biduan tersenyum, memamerkan
lesung pipit yang melekuk dalam. “Kalau mau dinyanyikan, Abang naik ke sini
dong!” ungkapnya dengan wajah kenes. Suara biduan itu terdengar serak, tetapi
bukan parau.
Sementara di sudut
lapangan yang kian sesak, Srikandi masih bergeming tanpa bicara. Dirasakannya keresahan
yang semakin berat ketika matanya menelusuri jauh menuju panggung. Ia hampir
kehabisan napas ketika si biduan mulai menggerakan perut tipisnya di tengah alunan
organ tunggal, lantas meliuk-liuk bagai setangkai kenikir diembus angin.
Jug
kijag kijug kijag kijug….
Kereta
berangkat…
Dulu Srikandi sangat
percaya. bahwa sosok yang senantiasa menyanyikan lagu pengantar tidur untuknya
adalah utusan Tuhan. Sebab wajahnya bidadari. Sepasang mata bundar yang
ditudungi lapisan bulu panjang dan lentik, lesung pipit yang seakan mampu
menyedot perhatian, serta kulit putih bersih tanpa selulit. Karenanya dulu
Srikandi sempat berpikir bahwa ibunya serupa Siti Maryam yang mengandung bayi tanpa ayah. Pun seperti Srikandi yang tak
pernah mengenal ayahnya entah sampai kapan. Padahal beberapa teman akan
bercerita tentang bapak mereka yang pekerja kantoran, atau pengepul
barang-barang bekas. Dan setiap kali pembicaraan itu dimulai, terpaksa Srikandi
duduk diam mendengarkan. Sebab ia tidak punya ayah. Bahkan hampir dari seluruh
warga Sukawinatan mengerti bahwa Srikandi adalah seorang yatim.
“Woi, Srikandi!”
Refleks gadis itu
menoleh dan langsung mendapati seorang bocah lelaki tengah terkekeh-kekeh ke
arahnya. Barangkali untuk mengejek.
“Gila. Mamakmu memang joss!”
seru bocah itu dengan tawa yang semakin nyaring. Perut gendutnya kembali
berguncang-guncang. “Lihatlah sana.” Ia
melangkah mendekat, kemudian kembali bicara dengan suara cadel dan
pelafalan huruf R yang seperti tersangkut di kerongkongan, “Lebih bagus lagi kalau
di lehernya ada ular.”
Perhatian Srikandi
lagi-lagi melayang ke arah biduan di atas panggung. Yang terlihat adalah sosok
berbusana setengah bugil yang sesekali bergoyang, menyongsong, menempelkan tubuh berkeringat
kepada penyawer, lantas lanjut bernyanyi. Potongan-potongan lirik lagu dangdut terus
terdengar. Baur dalam isi kepala dan desau angin yang meniup-niup. Kontan Srikandi
menyangsikan seluruh khotbah yang pernah dituturkan tepat di depan wajah.
Tentang golongan yang menjaga kehormatan. Tentang kaum yang dianggap lambang kemuliaan. Tentang jenis yang disebut perempuan.
Cepat-cepat Srikandi menyembunyikan
air mata. Betapa nahasnya mengetahui hal itu belakangan.
“Lagu ini
dipersembahkan buat Bang Irul yang punya wilayah,” suara si biduan seperti
menyela kerumunan, agak terengah-engah usai menuntaskan satu lagu penuh. Tepat
ketika pemain organ tunggal kembali membunyikan iringan musik, biduan itu kembali
asyik-masyuk dengan para lelaki yang mengitarinya.
Bocah tambun di hadapan
Srikandi sontak mengikik. Namanya Barong, tetapi kerap dipelesetkan menjadi
Bagong akibat ketidakmampuannya dalam mengucapkan huruf R. Dan untuk kali
kesekian, perut Barong bergerak-gerak saat kupingnya mendengar biduan tersebut berulang
kali berteriak, “Sukawinatan digoyaaang! Hei!”
Serangkaian bunyi organ
tunggal yang menghentak merambat keluar lewat kotak-kotak suara, lalu mengaliri
penjuru telinga, sampai Srikandi sedikit pekak dibuatnya. Suara biduan jadi
hilang timbul akibat sound system yang
tidak stabil. Lantas pandangan Srikandi beradu pada muka Barong yang masih
terpingkal senang, dan gadis itu merasa dadanya seperti dijejali bongkahan
besar.
“Mamakmu hebat, Sri,”
ujar Barong lagi usai tawanya reda. “Semuanya tergila-gila sama
mamakmu.” Bocah itu berkata seraya menunjuk keramaian tenda.
Tanpa pernah
meninggalkan sepatah kata, Srikandi buru-buru berlari menjauh dengan hati pecah
seribu. Seragam sekolahnya perlahan-lahan basah oleh keringat, dan pemandangan
di depannya jadi mengabur lantaran terhalang genangan yang berkumpul di
pelupuk.
Dalam perjalanan
pulang, Srikandi tidak bicara karena ungkapan dengan makna apa pun tidak akan
mampu mewakili perasaannya. Kenyataan bahwa bertahun-tahun ibunya telah
menyimpan banyak rekayasa yang tidak diketahui. Maka Srikandi harus percaya pada
keperkasaan waktu dalam menyingkap segalanya.
“Mamak…,” barulah Srikandi mengisak, yang kemudian
lenyap terseret jeritan burung-burung di atas kepala. Kedua kaki Srikandi terus
berpacu, berderap-derap seperti serdadu yang menghindari kejaran rudal. Sungguh,
ia tidak tahu pasti apa yang bakal dialami sesampainya di rumah. Mungkin akan
bertemu kembali dengan ibunya yang sudah memakai daster, atau justru mendapati
pintu yang terkunci gembok sebab tidak ada siapa-siapa di sana.
Ada ketidakpastian. Dan
secara mendadak Srikandi membenci dirinya sendiri karena mengetahui semua hal.
Ibunya yang ternyata bukan bidadari. Sosok yang bukan utusan Tuhan. Dan wajah
yang tidak lagi menggambarkan citra kelembutan kasih. Yang tadi dilihatnya
hanyalah hasrat kebinatangan yang meletup-letup bagai magma. Padahal Srikandi
berusaha untuk tidak memercayai matanya, tetapi ungkapan Barong sudah cukup
menjelaskan segalanya.
Seiring Srikandi yang melewati
perempatan jalan kecil, bunyi dari permainan dawai elektronis lambat-laun
menghilang. Suasananya berubah sepi. Kendati ombak yang bergelora telah
menjelma riak-riak kecil, namun Srikandi masih tak bisa tenang. Spontan ia
memperkecil langkah, lantas melihat sekeliling yang terasa lebih senyap.
Dari balai-balai bambu
warung kopi di pinggir jalan, serentak orang-orang memusatkan perhatian pada
Srikandi yang linglung seperti anak hilang. Di antaranya menatap dengan syak, sebagian
lainnya saling menggumamkan sesuatu.
“Sudah hampir maghrib, kok
anak itu belum juga pulang. Emaknya masih sibuk goyang sana-sini ya?” bisik
yang sedang mengaduk-aduk kopi pahit kental.
“Hush. Dia masih kecil,
belum ngerti apa-apa,” sergah Bu Dullah pemilik warung seraya menyajikan
segelas teh hangat dan goreng pisang pada pelanggan yang baru saja datang. “Kau
antarkan saja dia balik. Kasihan.”
Yang disuruh hanya bisa
mendengus, namun tidak membantah. Bukan lantaran ia orang yang patuh, tetapi
karena takut Bu Dullah tak akan memberikannya piutang lebih banyak lagi.
Dengan separuh hati, maka
tukang ojek itu menghampiri Srikandi yang melangkah di tengah kemuraman senja.
Matahari lambat-lambat menyentuh kaki langit, nyaris tertelan batas cakrawala.
Sudah pukul enam sore, dan rombongan nyamuk mulai menyerbu lewat semak belukar
yang menjalari sebuah rumah kosong.
“Sri!” tukang ojek itu
memanggil. “Ayo, Abang antar pulang,” lanjutnya seraya menggulung sedikit kedua
lengan jaketnya yang kegombrongan.
Srikandi memandang
sebentar. Ingatannya seperti merangkak-rangkak, dan ia yakin kalau pulang ke
rumah bukanlah pilihan menyenangkan. Ibunya yang bukan lagi bidadari pasti akan
menyambut, entah dengan hanya mengenakan sempak atau daster kebesaran yang
biasa dipakai. Srikandi menganggap bahwa otaknya tidak bisa lagi mengenali mana
yang sungguhan dan mana yang muslihat.
Sontak Srikandi menggeleng.
“Kenapa tidak mau
pulang?” kontan tukang ojek itu terheran-heran. “Kau bakal dicari mamakmu kalau
jam segini belum pulang.”
“Mamak tidak di rumah,”
Srikandi akhirnya mampu berkata lugas. Usianya dua belas, dan minggu kemarin
adalah haid pertamanya. Ia sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan, dan ia
sedang tidak ingin menghindari apa pun. “Bang,” Srikandi tahu-tahu memanggil.
Tukang ojek itu menanggapi
dengan alis terangkat.
“Antarkan saja aku ke
tenda nikahan anak Wak Damar si juragan karet itu,” ujar Srikandi masih dengan
kepala mendongak. Ia ingin memastikan sekali lagi. Bila yang terlihat nanti
tetaplah sama, maka remuk sudah kebanggaan akan sosok ibunya. “Setelah itu, aku
bakal balik ke rumah.”
Tukang ojek itu lantas
menurunkan tatapannya untuk melihat Srikandi. Tatapan mata yang seperti hendak
membongkar sesuatu, secara tidak langsung telah memperkuat keyakinan atas kenyataan
yang terekam beberapa waktu lalu.
-oOo-
Bersama bunyi jangkrik
yang berderik-derik, tukang ojek itu menepikan motornya ke sebuah medan luas bertudung
tenda biru dengan lima belas buah besi penyangga. Lapangan itu tampak lebih
kotor dari biasanya. Cangkir kemasan, tisu yang sudah lecek, batang lidi, dan
segala macam sampah bertebaran di sela-sela rumput yang tumbuh. Di beberapa sudut lapangan juga terdapat kursi
plastik yang disusun ke dalam tumpukkan menjulang, serta di ujung sana, tampak
sepetak panggung dengan sejumlah orang yang duduk-duduk seraya bermain kartu.
Seperangkat piano organ tunggal teronggok begitu saja. Barangkali lantaran mau maghrib,
jadi acara dangdutan semalam suntuk ditunda dulu.
“Sri, turun,” ujar si
tukang ojek tiba-tiba.
Di malam yang masih
muda, agaknya Srikandi kecewa sekaligus lega manakala matanya tak lagi
menangkap kerumunan yang sama. Kecewa sebab ia tidak mendapat kepastian, namun
juga lega karena bisa saja apa yang sempat diyakininya adalah sebuah kesalahan.
Jadilah gadis kecil itu turun dan merasakan sepatunya tak sengaja menginjak
kubangan lumpur di dekat roda.
Tukang ojek itu lalu
memarkirkan motor, melangkah mendekati panggung untuk menemui rombongan yang
sedang seru dengan permainan kartu di atas panggung. Ia melaju gesit sehingga
Srikandi harus berlari-lari untuk mengekor. Tiga menit berselang, gadis itu kemudian
mendengar si tukang ojek berbicara kecil.
“Nah,” sadar akan
Srikandi yang bersembunyi di balik tubuhnya, maka tukang ojek itu berbalik
untuk berkata, “jadi kau mau apa ke sini?”
Sepasang mata Srikandi
menyapu sekitar. Sinarnya seperti hampa, dan wajahnya membiaskan ragu.
Kerisauan yang mengkristal dalam dadanya tak kunjung meretas, sehingga di luar
kesadarannya, Srikandi sekonyong-konyong balik bertanya, “Mamak mana, Bang?”
“Hah?”
“Tadi sore, aku lihat
Mamak berjoget di sini.”
Tak disangka-sangka,
tukang ojek itu berdiri tertegun. Beberapa orang yang bermain kartu ikut-ikutan
bengong. Kalimat pertama yang hendak diucapkan justru menjadi sesuatu yang sukar
ditemukan.
“Barangkali… kau salah
lihat.”
“Tapi Barong bilang
yang berjoget tadi memang Mamak, Bang!” Srikandi menaikkan nada suaranya.
“Barong cuma mau
meledekmu saja, Sri. Sudahlah, ayo kita pulang.”
Tanpa menerangkan lebih
banyak, tukang ojek itu betul-betul beralih dan kembali ke motornya. Diam-diam
ia merasa miris. Boleh saja hatinya membenci perempuan yang disebut sundal dan
bunting tanpa pernikahan, tetapi Srikandi adalah kehidupan yang masih
berkecambah. Ada tragedi dan kenisbian jika mengingat kehadiran gadis kencur
yang dibesarkan dalam lingkungan paradoks. Dosa sebentar lagi menyentuh,
dan Srikandi bakal mengerti betapa dunia bukanlah sebuah angan-angan yang
diharapkan.
Srikandi pun kembali
dibonceng oleh si tukang ojek, lantas meluncur membelah jalanan. Sepanjang itu
pula, rekaman Srikandi tentang biduan berlesung pipit lagi-lagi terputar
demikian jelas. Iringan dangdut yang menghentak sampai mendebarkan dada, dan juga
gerak-gerak yang menimbulkan gelenyar dalam tubuh. Kemudian muncul bayangan
Barong yang terkekeh mengejek. Seolah apa yang melekat di badan Srikandi adalah
aib tak tertanggungkan.
Padahal ia ingat betul
bagaimana ibunya mengayomi dengan wajah yang menyejukkan. Ketika Srikandi baru
lima tahun, sebelum tidur, ibunya akan bercerita tentang putri yang menikahi
pangeran, tentang laki-laki dan perempuan yang saling menyayangi, atau kisah-kisah
nabi yang menakjubkan. Dan berkali-kali pula Srikandi akan menyela dengan
pertanyaan yang tidak nyambung, seperti: Mak, siapa ayah itu? Bagaimana
rupanya? Dan mengapa teman-teman yang lain punya ayah sementara aku tidak?
Dan ibunya akan berhenti mendongeng, lalu
membelai anak-anak rambut di sekitar dahi Srikandi seraya berbisik, “Ingat
cerita Maryam?”
Sontak Srikandi menepis
keras-keras seluruh yang diingatnya. Kenangan itu terasa menohok, sebab ia belajar
bahwa Siti Maryam melahirkan seorang nabi, sedang ia sendiri hanyalah bocah
perempuan yang tidak tahu apa-apa. Karenanya ia tak ingin lagi memutar ulang segala
ingatan tentang masa kecil. Dan Srikandi mulai merasakan kepahitan sejarah
hidupnya sebagai anak dari sosok perempuan dan orang tua tunggal. Juga
seorang anak dari seorang pendusta.
Setelah menempuh jarak
antara tenda pernikahan anak Wak Damar dan rumah Srikandi yang memakan waktu sepuluh
menit menggunakan motor, tukang ojek itu berhenti di sepetak halaman sebuah
rumah berdinding batako. Cahaya bohlam dari dalam mengeruak lewat ventilasi
pintu dan jendela. Pertanda ada seseorang di sana.
“Mamakmu ada di dalam,”
ujar tukang ojek itu ketika Srikandi turun dari tunggangannya. “Lain kali
jangan suka pulang sore-sore. Nanti kena culik orang jahat.”
Srikandi mengangguk,
menyunggingkan senyum tipis seakan-akan tidak takut pada peringatan itu. Lantas
ia segera berbalik, berlari menghambur ke arah pintu, dan bingung ketika mendapati
kenopnya sama sekali tidak dikunci.
Sekonyong-konyong
Srikandi merasa bulu tengkuknya meremang. Hatinya berkata ada yang tidak beres.
Lalu ia memasuki rumah dengan hati-hati, dan melihat televisi di ruang depan
dibiarkan menyala tanpa ada yang menonton. Sebuah puntung rokok pun terjatuh di
dekat kaki meja, hingga abunya mengotori lantai.
Seumur-umur, Srikandi
tak pernah merasa seasing ini. Posisi barang yang memenuhi rumahnya tetap sama,
tetapi suasananya terasa amat berbeda. Biasanya, setiap pulang sekolah, ibunya
akan menyambut dengan tergopoh-gopoh. Dan Srikandi akan mencium aroma bumbu
dapur dari daster perempuan itu. Namun, ia tahu, kewajaran yang sudah menjadi
kebiasaan seolah tidak berlaku lagi untuk saat ini.
Dengan jantung yang
seperti rontok ke bawah perut, Srikandi akhirnya menangkap biang kejanggalan
itu. Pintu kamar Mamak menganga selebar-lebarnya, membiarkan orang yang
bergumul di atas ranjang sama-sama asyik dengan dunia mereka sendiri. Ada
tangan dan kaki yang beradu, desah yang saling balas membalas, bulir-bulir
keringat dan kulit yang bergesekan, dan pekik-pekik tertahan yang seolah takut
terdengar orang lain.
Srikandi meneguk ludah.
Sebuah dunia kecil telah lama berakhir dan kini tinggal remahnya. Sosok yang
terlihat tentu tetaplah Mamak—bersama lelaki yang entah siapa. Godam seperti
mengguncang pertahanannya dan akal budi Srikandi seperti hilang bagai ilalang
kering dilahap api.
“Mamak?!”
Sunyi. Mencekam. Bulu
kuduk merinding. Adakalanya orang menjadi teramat ngeri bila tiba-tiba
berhadapan dengan seorang penyusup yang berupaya mengambilalih seluruh
kehidupan. Srikandi spontan terhenyak sewaktu sosok tak dikenal itu berubah panik,
dan Mamak yang telanjang bulat turut terkesiap. Namun sebelum semuanya dapat
dihindari, sosok itu mengeluarkan pisau dan mendekatkannya ke leher Mamak.
Pisau yang seketika terayun dengan cermat, lalu menyayat seperti pisau bedah.
Untuk kali ini, teriakan
Mamak tidak lagi tertahan. Justru teramat melengking sampai menelusup masuk ke
bagian otak besar Srikandi, membangunkan saraf-sarafnya untuk segera bertindak.
Dengan persendian yang nyaris luruh, gadis kecil itu kontan berlari keluar
rumah, terbirit-birit dengan mulut yang menjerit-jerit.
“Ada apa, Sri? Ada
apa?”
Srikandi menangis di
hadapan Bik Ainah, tetangga yang letak rumahnya kurang dari seratus meter. Di
antara sedu-sedan, gadis itu tergesa-gesa berujar, “Mamak diperkosa, Mamak
dibunuh! Tolong Mamak, Bik!”
-oOo-
Aku
perempuan. Aku laki-laki. Aku bisa jadi kedua-duanya.
Baru saja api dari pemantik
menyulut rokok yang terapit di kedua belah bibirnya, seseorang kembali menegur
agar ia kembali melanjutkan cerita, “Jadi… pembunuh mamakmu itu sebetulnya
siapa?”
Gadis kencur tadi sudah
menjelma seorang dewasa. Rambutnya ikal sepunggung, berbadan sintal dengan paha
yang tebal. Namun garis-garis yang berpadu dalam wajahnya sama sekali
tidak mirip dengan biduan organ tunggal yang mati digorok itu. Ia tidak punya lesung
pipit. Dan bentuk matanya tidak bundar, justru cenderung sayu. Namun, yang
membuat keduanya terlihat serupa adalah citra yang sama-sama menggambarkan
kekosongan. Juga perjalanan hidup yang seperti melewati antah-berantah.
“Kata orang…,” barulah perempuan
itu bersuara usai mengembuskan asap dari celah bibir. Terdengar parau. Sepasang matanya pun sembab akibat tangis yang tak
mampu ia cegah. Karenanya, cepat-cepat ia meraup sebatang rokok dari kotak di
atas meja sebelah ranjang. “Kata orang, pembunuh itulah yang menghamili Mamak
dulu.”
Lelaki yang berbaring
di atas ranjang yang sama spontan melonjak bangun. “Ayahmu?!” Mau tidak mau ia
melotot, “Kau serius, Sri?” Suaranya yang baritone terdengar kesulitan
mengucapkan huruf R.
Perempuan itu malah
duduk membelakangi si lelaki sambil mengangkat bahu, seakan tak acuh. Rasanya
ia sudah malas untuk peduli lagi pada tragedi itu. Bahkan di umur yang sudah
tiga puluh enam, hidupnya masih luntang-lantung tanpa pernikahan, dan tentu saja
ia juga malas untuk terus menggubris cemooh orang yang bicara tentang perawan
tua.
Lagipula siapa sih yang bisa betul-betul menjamin bahwa yang digunjingkan sesungguhnya masihlah seorang perawan? [ ]
[1]
Ibu
Cerpen ini pernah diterbitkan dalam antologi bersama #KampusFiksiEmas3: Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya (Diva Press, 2016) dengan judul yang berbeda.
Celia dan Gelas-Gelas di Kepalanya (Diva Press, 2016)
0 komentar