"Punya prinsip itu boleh, tapi jangan terlalu fanatik."
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser : Raam Punjabi
Penulis : Hanung Bramantyo
Pemeran : Lukman Sardi
Yati Surachman
Slamet Rahardjo
Giring Ganesha
Ikranagara
Muhammad Ihsan Tarore
Zaskia Adya Mecca
Sujiwo Tejo
Dennis Adhiswara
Agus Kuncoro
Musik : Tya Subiyakto Satrio
Sinematografi: Faozan Rizal
Penyunting : Wawan I. Wibowo
Distributor : Multivision Plus
Tanggal rilis : 8 September 2010
Negara : Indonesia
Sepulang dari Mekah, Darwis muda (Muhammad Ihsan Tarore) mengubah namanya menjadi Ahmad Dahlan. Seorang pemuda usia 21 tahun yang gelisah atas pelaksanaan syariat Islam yang melenceng ke arah sesat, Syirik dan Bid'ah.
Dengan sebuah kompas, dia menunjukkan arah kiblat di Masjid Besar Kauman yang selama ini diyakini ke barat ternyata bukan menghadap ke Ka'bah di Mekah, melainkan ke Afrika. Usul itu kontan membuat para kiai, termasuk penghulu Masjid Agung Kauman, Kyai Penghulu Cholil Kamaludiningrat (Slamet Rahardjo), meradang. Ahmad Dahlan, anak muda yang lima tahun menimba ilmu di Kota Mekah, dianggap membangkang aturan yang sudah berjalan selama berabad-abad lampau.
Walaupun usul perubahan arah kiblat ini ditolak, melalui suraunya Ahmad Dahlan (Lukman Sardi) mengawali pergerakan dengan mengubah arah kiblat yang salah. Ahmad Dahlan dianggap mengajarkan aliran sesat, menghasut dan merusak kewibawaan Keraton dan Masjid Besar.
Bukan sekali ini Ahmad Dahlan membuat para kyai naik darah. Dalam khotbah pertamanya sebagai khatib, dia menyindir kebiasaan penduduk di kampungnya, Kampung Kauman, Yogyakarta. "Dalam berdoa itu cuma ikhlas dan sabar yang dibutuhkan, tak perlu kiai, ketip, apalagi sesajen," katanya. Walhasil, Dahlan dimusuhi.
Langgar kidul di samping rumahnya, tempat dia salat berjemaah dan mengajar mengaji, bahkan sempat hancur diamuk massa lantaran dianggap menyebarkan aliran sesat[3].
Dahlan, yang piawai bermain biola, dianggap kontroversial. Ahmad Dahlan juga di tuduh sebagai kyai Kafir karena membuka sekolah yang menempatkan muridnya duduk di kursi seperti sekolah modern Belanda, serta mengajar agama Islam di Kweekschool atau sekolah para bangsawan di Jetis, Yogyakarta.
Ahmad Dahlan juga dituduh sebagai kyai Kejawen hanya karena dekat dengan lingkungan cendekiawan priyayi Jawa di Budi Utomo. Tapi tuduhan tersebut tidak membuat pemuda Kauman itu surut. Dengan ditemani isteri tercinta, Siti Walidah (Zaskia Adya Mecca) dan lima murid murid setianya : Sudja (Giring Ganesha), Sangidu (Ricky Perdana), Fahrudin (Mario Irwinsyah), Hisyam (Dennis Adhiswara) dan Dirjo (Abdurrahman Arif), Ahmad Dahlan membentuk organisasi Muhammadiyah dengan tujuan mendidik umat Islam agar berpikiran maju sesuai dengan perkembangan zaman. (Wikipedia)
Jadi, akhir-akhir ini saya lagi suka nonton film yang berbau sejarah. Awalnya saya mau cari film Soekarno yang diperanin sama Ario Bayu yang baru dirilis tahun 2013 kemarin, tapi saya ketipu... saya malah dikasih film Merah Putih -_- *jadi curhat* dan untungnya film itu bagus, jadi saya ga murka-murka amat.
Bicara tentang film Sang Pencerah, sejujurnya saya baru tahu kalo ada film yang mengangkat sejarah tentang K.H Ahmad Dahlan kayak begini. Berhubung saya ini manusia pecinta sejarah dan masa lalu, jadilah saya download film ini. Pas dilihat, tokoh utamanya alias K.H Ahmad Dahlan ternyata diperanin sama Om Lukman Sardi. Secara fisik sih nggak begitu mirip sama versi aslinya, tapi saya kagum sama aktingnya Om Lukman yang emang keren banget dan sangat natural, membuat saya jadi terhanyut dan kebawa suasana di sepanjang film tersebut.
Usai menonton film ini, saya jadi semakin haus akan tontonan yang mendidik semacam ini. Rasanya di era millenium ini, sangat susah buat menemukan film-film Indonesia yang mengajarkan tentang kehidupan ini, tentang bagaimana realitas mengambil peran selagi kita hidup. Jujur, saya bukan tipikal penikmat film yang gampang terpikat dengan cerita-cerita yang disajikan dalam sebuah film, tapi untuk satu ini, Sang Pencerah memang benar-benar mencerahkan pikiran saya. Banyak pembelajaran yang saya dapat setelah menyaksikannya hingga detik terakhir, dan tak jarang pula saya menangis lantaran menyadari betapa hinanya saya selaku manusia yang nyatanya jauh jauh jauh jauh lebih rendah kedudukannya jika dihadapkan pada Sang Maha Kuasa.
Ada banyak kutipan-kutipan dialog dan adegan yang amat saya sukai di sini. Salah satunya, ketika seorang kyai dari Magelang datang menyambangi madrasah yang dibangun KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Saat itu, muslim di Indonesia menganggap sekolah-sekolah yang menggunakan meja, kursi dan papan tulis itu adalah sekolah-sekolah yang menganut ideologi orang kafir, namun KH. Ahmad Dahlan yang notabene adalah salah satu pemuka Islam terbesar malah mendirikan sebuah sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas tersebut. Kenyataan itu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat yang masih memegang prinsip Islam radikal, Islam kuno. Hingga terdengarlah berita itu sampai ke telinga sang kyai dari Magelang itu. Ia mengumpat-umpat, mengatakan kalau KH. Ahmad Dahlan adalah kyai kafir lantaran menggunakan sistem yang diterapkan oleh orang Eropa, terlebih ketika sang kyai mengetahui kalau KH. Ahmad dahlan gemar bermain biola, yang menurutnya adalah barang-barang orang kafir. Lantas, inilah dialog yang sangat menggelitik, sekaligus menyentil saya...
Kyai: ...dan ini! *mengangkat biola yang tergeletak di atas meja* ini semuanya dibuat oleh orang-orang kafir.
Dahlan: Pangapunten, Kyai. Boleh saya bertanya?
Kyai: Oh, silahkan.
Dahlan: Kyai... datang dari Magelang ke Kauman ini naik apa? Jalan kaki?
Kyai: *terbahak* Saya tidak mau menyiksa tubuh saya dari Magelang ke Jogja jalan kaki.
Dahlan: Kalau begitu naik apa, Kyai?
Kyai: Ya naik kereta! Wong, saya itu tidak bodoh. Hanya orang yang bodoh saja yang mau ke Jogja dari Magelang... jalan kaki.
Dahlan: Jadi, hanya orang-orang bodoh yang menganggap sekolah ini sekolah kafir.
Kyai: Hah?
Dahlan: ...karena kereta api perlengkapannya dibuat oleh orang kafir.
Dan saya merasa geli mendengar sindiran itu. Curhat sedikit nih, dulu saya hidup di lingkungan yang semuanya serba Islam, semua hal yang nggak ada sangkut pautnya sama Islam disebut kafir. Itu kafir, ini kafir. Itu haram dan ini haram. Sedikit sama dengan keadaan di mana KH. Ahmad Dahlan menghadapi umat Islam yang cenderung kuno dan radikal. Menganggap semua yang nggak sesuai dengan mereka adalah kafir. Honestly, orang-orang itu membuat saya muak. Mereka nggak mikir, motor yang dipake mereka itu buatan siapa, mereka nelepon itu pake alat yang diciptain siapa, teknologi-teknologi yang mereka gunakan setiap harinya itu buatan siapa. Tidakkah mereka sadar kalau itu semua adalah rancangan para kapitalis yang tidak lain juga orang kafir? Seharusnya mereka berpikir realistis, agama itu diciptakan bukan untuk mengatur, mengekang, melainkan untuk membuat keindahan yang melahirkan ketenteraman dan kedamaian. Saya tahu film ini secara tidak langsung bertujuan untuk menyindir para umat Islam yang hidupnya hanya berdasarkan isi Al-Qur'an tanpa menyaringnya terlebih dahulu, tanpa menganalisis dan menyesuaikan antara jaman diturunkannya Al-Qur'an dan jaman sekarang.
Saya akui, saya terharu ketika melihat ketulusan hati KH. Ahmad Dahlan saat berusaha meluruskan para muslim Jawa yang masih kental dengan adat kejawennya. Yang kalau berdoa harus pake sesajen dan melakukan ritual-ritual dulu. Sejujurnya, sampai sekarang tradisi itu masih berlangsung turun temurun. Terlepas dari itu, di sana juga diceritakan bahwa agama juga dimanfaatkan utuk kepentingan yang salah serta rasa fanatisme yang berlebihan semakin membutakan cara pandang dari berbagai kelompok agama.
Dalam segi jalan cerita, saya sangat berkesan akan karya besutan Mas Hanung Bramantyo ini. Betul-betul keren dan punya jiwa. Tutur kata yang dilakukan oleh para pemeran yang terlibat amat berkarakter dan ngena di hati. Banyaknya pesan moral semakin menambah nilai plus dalam Sang Pencerah. Sekali lagi, film ini memang betul-betul mencerahkan~~
Selain itu, sinematografi dan pencitraan yang tampil dalam Sang Pencerah bisa dibilang sangat apik dan tampak hidup, sehingga ketika menontonnya, saya merasa seperti dibawa kembali ke masa Hindia-Belanda, sekitar akhir tahun 1800 dan awal 1900-an. Meski sebagian setting yang digunakan adalah hasil rekaan semata, tapi cukup mewakili keadaan di masa itu. Ditambah, para pemain yang terlibat, rata-rata merupakan aktor kawakan yang kualitas aktingnya tidak akan diragukan lagi. Seperti Lukman Sardi, Slamet Rahardjo, Sujiwo Tedjo dan Agus Kuncoro. Kombinasi yang dihasilkan dari perpaduan para aktor-aktor tersebut membuat film ini bukan sekadar film biografi biasa, namun juga kisah kehidupan yang kalau ditilik lebih dalam akan menyadarkan kita tentang bagaimana situasi sosial yang tengah dihadapi sekarang. Epic!
Andai saja sineas mau menciptakan film-film bertema sejarah yang epik seperti Sang Pencerah ini, saya yakin pasti para penikmat film, khususnya anak abege kayak saya, bakal tergugah untuk hidup dengan orientasi masa depan yang maksimal. Banyak sekali tayangan jaman sekarang yang kebanyakan dibumbui dengan adegan yang cenderung merusak moral bangsa ini, salah satu hal yang memprihatinkan di negeri ini. Anak-anak muda merupakan kaum rentan yang sangat sensitif akan situasi sosial. Jika orang-orang yang jauh lebih berumur - yang seharusnya bersikap bijak dan menjadi teladan - tertawa-tawa sambil menghambur-hamburkan tepung ke wajah orang lain sambil mengucapkan semacam kata umpatan, jangan salahkan para anak muda yang kerap bertindak kurang ajar. Jangan sepenuhnya menyalahkan anak-anak yang sering berbuat onar, kalau insan yang seharusnya memberi contoh malah turut berlaku amoral.
4.8/5 bintang ^^ rekomen banget buat mencerahkan kehidupan kalian!
0 komentar