wallpaperflare |
Harum lemon yang manis langsung melintasi penciuman manakala bibirnya berhasil menggapai kulit leherku. Diam-diam aku
mempelajari pola dan pergerakannya; tidak mudah, lelaki itu terlalu sulit
ditebak. Aku ingat, aku tumbuh mengutuki laki-laki egois yang cuma mau menang
sendiri, tetapi entah mengapa, pada bagian ini, aku menyukai sikapnya yang
tergesa dan tanpa kompromi. Tak ada yang betul-betul bisa kubenci, dan aku tak
punya alasan kuat untuk menghancurkannya.
Aku mengeluh, hendak menyudahi
kegiatan itu, tetapi dia membungkamku dengan ciuman yang amat tiba-tiba. Sial. Sensasi
yang sebelumnya ringan dan lembut perlahan merayap seperti api panas yang
rakus. Entah fase penyembuhan macam apa ini; tetapi aku betul-betul
menikmatinya, menginginkannya, memuja setiap hela napasnya yang mengandung
kegelisahan dan rasa tidak sabar. Apakah kita bisa saling menyelamatkan?
Kepalaku bertanya-tanya selagi aku membiarkan tangannya merangkak-rangkak,
menyelinap ke bagian yang hampir tak pernah disentuh, seolah hendak membuktikan
seberapa bergairahnya aku. Mana kutahu—aku tak punya ukuran untuk membuat
penilaian. Aku hanya tumpahan bejana yang mengalir begitu saja, lepas dan tidak
punya tujuan. Tetapi lelaki itu sungguh cekatan, dia punya kemampuan hebat
ketika menangkapku, ketika meraih keping-keping yang berserak dalam diriku.
Apa kita akan baik-baik saja?
Dunia tak perlu tahu. Cuma kita.
Dia mengulangi, berbisik, cuma kita.
Aku bisa merasakan kulitnya yang lembap bergesek, mengirimkan gelenyar hangat menyenangkan
laksana candu. Aku menengadah, dan sepasang matanya segera memaku wajahku,
dan yang kudapati saat itu adalah lengkung bibir cemerlang dan helai-helai
rambut yang terjatuh menutupi keningnya. Indah
sekali. Aku tertawa sambil menangis, dan lagi-lagi dia mencuri bibirku—dia sangat suka
melihatku terkesiap.
Apa kita akan aman di sini?
Lelaki itu bergerak dengan irama dan
aku mengimbangi. Seperti berdansa, kami meliuk berayun mematuhi tempo-tempo
harmonis. Harum lemon itu semacam membungkus diriku yang kosong, membawaku jauh
ke suatu tempat yang sebelumnya tak pernah kukunjungi, perlahan aku merasakan darahku mengalir berdesakkan. Gemetar yang menyiksa, jantung
yang berteriak, paru-paru yang berimpitan.
Tak pernah kubayangkan diriku
yang menjadi haus akan petualangan-petualangan ini. Aku terus merengek,
menuntut, berubah ganas, dan demi Tuhan Semesta Alam, siksaan itu terasa kian pekat dan sesak. Laki-laki itu seakan menggiringku naik menuju gelombang-gelombang
riuh yang menggetarkan. Aku tak yakin, tapi laki-laki itu terus memaksa dan aku meledak saat itu
juga—seperti meriam yang memuntahkan isinya. Aku melonjak, benakku berputar
melingkar seperti spiral, dan sejauh yang bisa kuingat, laki-laki itu menyebut
namaku seperti merapal doa; berulang-ulang, dan luapan didih yang merambat lurus
menuju puncak kepalanya bersemburan seperti magma.
Melegakan, itu yang dapat kucatat, mengetahui bahwa kami sama-sama saling menginginkan. Punggung yang bidang dan
dada yang kokoh; apa yang bisa kuperbuat?
Perjalanan itu lambat-laun reda, surut detik demi detik, dan pada tiap-tiap celah yang kurasakan, harum lemon
itu tetap berembusan mendominasi ruangan.
Harum lemon. Aroma mint. Laki-laki sitrun. Kombinasi yang tak akan kulupakan
seumur hidup. [ ]