[CERPEN] Hitam si Perempuan

google.images

Kulitnya hitam burik dan bersisik sebab nyaris tiga hari tubuhnya yang kerempeng dan bau tidak sempat tersentuh bulir air apalagi sabun. Dan sekarang dia masih berbaring telentang di atas kasur merah tanpa seprai seperti hendak merangkul keseluruhan plafon beton yang telah dihinggapi serabut sarang laba-laba beserta benda mikroskopik yang kini sudah menggumpal dan kian kasatmata. Sementara dia merentangkan kaki dan tangannya ke arah yang berlawanan, seekor lipas diam-diam menyelinap dari balik nakas dan melintasi susunan lantai ubin yang dipenuhi gumpalan kertas, potongan baju kotor, kemasan kopi instan, lima keping uang receh dua ratusan, dan helai-helai rambut yang bercecer macam jejak yang ditinggalkan seekor kerbau selepas keluar kandang.

Dengan linglung, si hitam lalu mengamati sekeliling dan sepanjang yang dia ingat, ibunya pernah bercerita kalau dia adalah bagian dari kaum perempuan yang harus elok dan menjaga diri untuk tidak melanggar aturan terlebih membiarkan seluruh isi kamar melayang ke mana-mana semisal asteroid yang lupa pada bentuk orbitnya—kalang kabut. Tapi si hitam mencoba melewatkan lanjutan ceramah ibunya sembari bangkit dan beringsut pada cermin butek yang menempel di salah satu pintu lemarinya yang berjamur. Suara Lionel Richie dan Diana Ross dalam lagu Endless Love yang mengayun-ayun nyatanya tidak kunjung mengantarkan si hitam pada kesadaran bahwa dia adalah perempuan, maka dia melucuti seluruh pakaiannya dan segera bertelanjang dada di hadapan kaca. Jelas, terlihatlah sepasang tonjolan dengan dua butir biji cokelat gelap yang entah sejak kapan dan bagaimana bisa terbit di sana. 

Perlahan, dia mulai meraba, dan jemarinya kontan terhenti pada sebuah koreng di dekat dada sebelah kiri, membuat rupanya persis kayu gelam yang telah bertahun-tahun disiram air hujan. Begini, sebetulnya, reaksinya tidaklah berlebihan; hanya kedua alis yang menyatu dalam kombinasi liuk samar di tengah dahi. Namun lambat-laun si hitam berusaha menggali pikirannya kembali. Lebih dalam, dan semakin dalam, dan semakin jauh, dan semakin lama. Mendadak dia jadi pening sendiri. Dia tidak pernah ingat apa pun dan koreng itu seperti melebar menutupi segenap permukaan dadanya seperti membusuk. Lantas dia mulai menerka-nerka.

Mungkinkah dia jelmaan ciranjiwin? Atau dulu jauh sebelum dilahirkan, dialah Aswatama yang membantai habis keturunan Pandawa… atau barangkali dia hanyalah lebah madu jantan yang tak juga memperoleh klimaks maka dia tidak mati-mati. Ngawur! Sambil cengengesan si hitam menggeleng, lalu meraih tabung kecil bertuliskan huruf Cina di atas nakas. Dia menatapi sejenak tulisan itu dan mengerti kalau pengetahuan yang dimilikinya hanya sebatas bagaimana caranya mencatat materi kuliah yang rutin mengisi penuh layar proyektor kelas (bukan dalam Bahasa Cina, tentu saja), atau (pura-pura) menyimak dosen yang bercuap-cuap mengenalkan isi dunia, kemudian tersentak mendapati si dosen tahu-tahu berteriak dan mengusirnya keluar kelas sebab dia kepergok melamun atau justru sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan, sekali lagi, dia tidak pernah tahu bagaimana caranya mengeja tiap lekukan huruf Cina pada tabung kecil itu. Tapi, dia pernah belajar Bahasa Arab sewaktu di Sekolah Menengah dan hafal  huruf Hijaiyah sampai urutan ke-29. Dia paham bahwa dalam Bahasa Arab, ‘babi’ sama artinya dengan ‘pintuku’. 

Dan benar saja, bila kita tarik mundur arah jarum jam ke pukul dua siang ke belakang, seorang dosen yang per bulannya diberi segepok gaji berikut tunjangan, kini terlihat melangkah keluar dari kabin mobil pribadi mengilap, jalan melewati parkiran, berpapasan dengan balita gelandangan yang keluyuran mengitari gedung kampus. Mengingat dosen adalah orang yang disiplin dan sedang terburu-buru, maka dia terus melangkah kletak-kletuk dalam sepatu tumit seharga setengah juta dan membiarkan si balita ingusan tidak terlihat lagi, sebab si dosen telah memasuki kelas, membuka perangkat komputer jinjingnya, menampilkan beberapa baris kalimat di layar proyektor yang membicarakan sejumlah kebijakan pemerintah. 

Pemerintah sekarang semakin arogan, si dosen menimpali dengan mikrofon di depan mulut. Yang dipedulikan cuma kepentingan sendiri. Malah, rakyat kecil yang disusahkan, ujar dosen itu lagi.

Para pendengar yang duduk di bangku-bangku lipat spontan mengangguk takzim. Sebagian lainnya menanggapi dengan senyum sambil sesekali membubuhkan tulisan dalam buku masing-masing. Tetapi si hitam berbeda. Hari itu dia tidak mencatat. Dia hanya ingin tahu dongeng apa lagi yang akan dosen itu rangkai dan itulah sebabnya mengapa dia ingin memfokuskan matanya alih-alih terpaku pada pena yang menulis.

Semua jadi serba-rumit, si dosen lanjut berkhotbah bersama mimik yang serius, irit senyuman, dan intonasi ucapannya mirip ibu-ibu yang mengomel pada tukang sayur lantaran seluruh harga melonjak tiba-tiba. Lantas tatapan yang senantiasa membuka lebar itu menangkap si hitam tengah berceloteh seperti menertawakan si dosen yang tengah asyik masyuk menyumpahserapahi pemerintah sebagai organisasi lalim, sebagai sistem yang cacat, dan sungutan itu terdengar sampai ke telinga balita gelandangan di luar kelas.

“Dari tadi saya perhatikan Anda ribut sendiri. Ada apa, he?” Materi kuliah seperti jeda sebentar, dan si dosen mendelik pada si hitam yang berusaha keras meredam keterkejutan yang meletus-letus dalam batinnya. “Ayo, apa yang Anda ributkan?”

Secara naluriah, si hitam langsung mengawasi manusia yang mengajaknya bicara. Suhu ruang kelas serta-merta menurun sebab yang terasa hanyalah embusan angin tundra. Si hitam meluncurkan beberapa kata seiring pandangannya yang masih bertemu pada tatapan nyalang si dosen. “Apa, Bu?” Si hitam lalu mengerang dalam hati. Dasar pekok!

 “Saya menerangkan dan Anda malah ribut, dan oh, bagaimana bisa hanya ada ponsel di atas meja sementara saya menjelaskan materi kuliah? Tidak ada catatan, tidak ada alat tulis, Anda ke sini ingin belajar atau…?”

Si hitam menurunkan matanya dan melihat seonggok persegi berwarna kelabu tergeletak di mejanya. Tahu-tahu dia merasa gelisah sehingga mulutnya terdorong untuk berkata,  “Begini…”

“Sudahlah,” si dosen justru memotong dengan raut-jangan-dibantah sebab kali ini dia punya otoritas dan dia bisa melakukan apa pun. “Daripada emosi saya naik, lebih baik Anda keluar saja dari kelas.”

Si hitam mencoba membenahi kupingnya dan ternyata dia tidak salah dengar. Puluhan pasang mata di kanan-kiri-depan-belakang sontak mengarah padanya macam bidikan laser, dan si dosen masih menunggui si hitam untuk bangkit meraih tas dan melenggang keluar. Artinya si hitam telah diusir, dan konon selepas dia meninggalkan kelas, si dosen merasa tersinggung sampai meminta nama si hitam untuk lekas dicoret dari daftar presensi.

Geniusnya, karena si dosen adalah seorang profesional, jadilah dia memulihkan suasana dan lanjut menggunjingkan pemerintahan yang hipokrit, yang arogan, yang sewenang-wenang, yang mengandalkan kekuasaan atau otoritas atau diskresi atau apa pun untuk melakukan apa saja. Barangkali si dosen lupa bahwa beberapa waktu silam dia telah mengusir si hitam di tengah perkuliahan tanpa pernah tahu apa motivasi si hitam hingga berani berbuat demikian. Dan bisa saja si hitam merasa sudah diperlakukan secara tidak hormat (sementara si dosen ingin segenap mahasiswa menghormatinya), tetapi si hitam tidak marah. Sebab banyak yang berujar bahwasanya seorang dosen berperan selayaknya pintu menuju gudang ilmu. Sebuah pintu. Dan bagi si hitam, si dosen tadi memanglah pintunya. Sambil terus menapaki jalanan, si hitam berseru, “Pintuku!” Dan mesin penerjemah Bahasa Arab balas menyahuti, “Babi!”

Maka, setelah hampir empat jam mendekam di kamar kosan pasca-pengusiran itu, si hitam memusatkan benaknya kembali pada koreng yang melekat di tubuh sebab dia bosan mengingat-ingat adegan itu berikut dengan rupa si dosen yang diganduli sepasang kantong mata dan kerutan yang bercumpuk-cumpuk seperti koran lecek. Si hitam menghela, dan melihat tangannya masihlah menggenggam tabung kecil bertuliskan huruf Cina. Lalu secara cermat jemarinya memutar tutup tabung. Sampai akhirnya terbuka semua, dan ujung telunjuknya mengeruk sejumput salep seputih susu dan mengoleskan ke sekujur luka yang lebih mirip bekas lepuhan neraka. Sesekali dia meringis lantaran tak sengaja menyentuh daging merah muda yang menganga yang tidak sempat tertutup kulit ari, tapi kesakitan itu tidak lebih parah dari apa yang diingatnya. Tapi si hitam tidak akan marah. Untuk apa juga, sih?

Setelah baluran salep sukses melapisi koreng itu, dengan hati-hati si hitam memasang behanya kembali agar tidak menimbulkan gesekan kuat, lalu mengenakan kaos oblongnya lagi dan melangkahi kabel stopkontak yang menjulur berliku dan tersambung pada colokan listrik di dinding dekat lemari. Jarak si hitam dengan tungku kompor semakin tipis, dan ternyata dia tengah menyeduh satu sachet kopi instan bersama pemikiran yang menebak-nebak apakah dia adalah seorang durhaka atau sebaliknya, karena setidaknya dia telah berani memerdekakan diri. Setidaknya begitu. Sebab dia bisa paham soal semiotika dan si dosen yang mengkritik arogansi pemerintah, bagi si hitam, adalah bentuk semiosis yang tak kalah menariknya dari pesan-pesan di balik lukisan Perjamuan Terakhir.

Maka ketika kopi yang direguk sudah menjelang tetes kesekian, si hitam langsung meraih ponselnya yang berwarna kelabu di atas nakas. Menekan-nekan sedikit layarnya hingga sebuah bunyi berkerisik mulai merayap dari sana. Lalu diteruskan dengan geremengan, bunyi barang terjatuh, udara yang saling bergesekan, juga suara wanita tua yang tak hentinya mengurai kata:

Pemerintah sekarang semakin arogan // Yang dipedulikan cuma kepentingan sendiri / Malah, rakyat kecil yang disusahkan // Semua jadi serba-rumit //… // … // Dari tadi saya perhatikan Anda ribut sendiri. Ada apa, he? / Saya menerangkan dan Anda malah ribut, dan oh, bagaimana bisa hanya ada ponsel di atas meja sementara saya menjelaskan materi kuliah? / Tidak ada catatan, tidak ada alat tulis, Anda ke sini ingin belajar atau…? // Sudahlah, daripada emosi saya naik, lebih baik Anda keluar saja dari kelas //

“Cih,” si hitam mematikan rekaman itu dan cepat-cepat menghapusnya. “Teknologi memang bangsat. Kupikir dengan merekam ceramah dosen adalah teknik cerdas, tapi lucu, sih…,” si hitam tiba-tiba merasa mual sekaligus geli. 

Karena berani taruhan, tak peduli secerdas apa pun dunia beranjak, akan selalu ada orang yang dipenuhi syak dan melihat semuanya tidak lebih dari rongsokan tempat para cecurut bersarang. Maka dari itu si hitam butuh diperingatkan secara berkala; dia perempuan, dan patuh pada tatanan sosial adalah tugasnya. Jadi tidak usah macam-macam. 

Setidaknya begitu. [ ]


Indralaya, Maret 2016


You Might Also Like

0 komentar