Alexythimia

Sebetulnya ada banyak yang ingin saya ceritakan. Soal betapa memuakkannya suasana kampus akhir-akhir ini. Tentang bagaimana saya merasa, "Oh, ini bukanlah tempat saya." Sebab sejak awal saya sudah menduga kalau apa yang saya teruskan ini bukan gagasan menarik. Dan memang betul. Semakin saya mencoba untuk lebih banyak berkelindan ke dalamnya, justru saya merasa jijik sendiri. Saya seakan melihat orang-orang bertelanjang dalam balutan yang serba-tertutup, dan ribuan belatung tampak menggeliat menandai tiap jengkal borok yang membusuk bersama nanah. Mereka hilir-mudik mengitari saya persis lalat hijau yang mengerumuni potongan nanas yang terkapar berhari-hari.


Lucu sekali rasanya ketika saya diseret ke mana-mana. Dijejali ragam dalil yang bahkan saya pun ogah buat peduli. Banyak orang yang menilai bahwa keapatisan saya sudah kelewat batas. Dan saya pikir semuanya memang telah melampaui kulminasi. Hingga ujungnya ketidakpedulian itu membuat saya kian malas untuk lebih banyak berinteraksi. Terdengar menyedihkan, tetapi tidak bisa diingkari, kesendirian justru menjadi satu-satunya teman yang mengantarkan saya pada rumah. Bersama senyap dan hening, saya merasa pulang. Tanpa suara lain yang menyusupi kapiler-kapiler darah.

Sebelumnya saya sudah pernah belajar memahami isi otak orang lain, menelusuri sejumlah motif yang mendasari perilaku mereka, lalu merangkainya bagai kerangka bangunan utuh, tetapi saya malah menemukan jalinan per jalinan itu semakin kompleks. Kemudian kusut. Kemudian keruh.

Saya selalu gagal dalam pencarian benang merah, sebab apa yang terekam dalam mata saya hanyalah hitam dan putih. Bagaimana tidak, saya seperti hidup di tengah orang-orang yang buta arah. Atau lebih baiknya, saya dikelilingi oleh manusia berkacamata kuda. Mereka terlalu khusyuk melihat jauh ke depan, sampai-sampai lupa pada lubang yang sudah menanti di bawah kaki. Dan begitu saya berpapasan dengan salah satu dari ordo tersebut, mereka akan meringkik, menukik ke udara sebagai isyarat hendak memberi serangan... sebab secara tidak sengaja  saya sudah menyentuh lahan mereka.

Sebetulnya, saya diharapkan untuk ikut andil dalam melebarkan teritorial mereka, tetapi saya memilih untuk membentuk ordo sendiri. Wajar jika mereka berang, lalu menyuruh saya minggir atau saya bakal ditendang atau dipenggal hidup-hidup dengan pisau guillotine. 

Boleh sebut saya pengkhianat, karena saya bukan tipe manusia yang begitu mudah menjadi fanatis-loyalis yang membela mati-matian tanpa mempertimbangkan mana yang benar dan mana yang bathil. Sulit rasanya untuk mengabaikan nilai-nilai yang kadung menjadi prinsip saya. 

Dan sikap apatis itu kian kronis saja. Karena tidak masalah seberapa banyak tetesan darah yang saya peras untuk membangkitkan rasa, semuanya justru sepercuma menulis pesan di permukaan air. Sehingga tidak sedikit orang yang bertanya-tanya tentang apa yang saya mau. 

Padahal sepanjang saya bicara, saya selalu berterus terang bahwa saya cuma haus kebenaran. Kebenaran yang bugil.

Namun nyatanya tidak ada yang betul-betul paham perkara kebenaran itu. Demikian juga saya. Selalu ada silang persepsi yang menjerumuskan beberapa golongan ke dalam magma yang meletup-letup seperti miniatur neraka. Sehingga kebenaran itu semakin kabur dan menjadi sulit terdefinisi.

Alih-alih memperoleh titik temu, semuanya justru bubrah. Acak sana-sini. 

Dan ujung-ujungnya saya akan menyepi. Mengakrabi perseteruan antara kepala dan hati. Sampai salah satu dari mereka memilih kalah. Tetapi itu semacam peluang nisbi. Sebab tidak semuanya sanggup... atau mau menerima kekalahan. Akui saja. [ ]

You Might Also Like

0 komentar