Delegasi Lembaga Pers Mahasiswa Nasional bersama Panitia Penyelenggara. Uhuy~ |
Tepat di tanggal 20
November, saya memutuskan untuk mengisi pekan sunyi dengan sejumlah kegiatan
yang menarik perhatian sekalian memperkaya pengalaman saya. Salah satunya
adalah mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut Nasional (PJTLN)—meskipun
saya belum resmi jadi jurnalis betulan.
Ketika itu hari Minggu, dan
saya baru sampai di gedung Student Center Universitas Sriwijaya Indralaya pada
pukul lima sore setelah menempuh satu setengah jam perjalanan dari Palembang.
Suasana gedung terasa bisu dan kosong melompong. Saya sempat kebingungan
mencari lokasi kamar untuk menginap, dan akhirnya bertemu dengan seorang
panitia perempuan yang sepertinya juga LO, dan segera diantar ke ruang 12
(kalau tidak salah).
Sesampainya di kamar, saya
melihat dua perempuan yang sedang tidur-tiduran di atas kasur. Keduanya kontan
terlonjak ketika menyadari keberadaan saya seolah baru saja disatroni maling.
Menyadari bahwa saya juga peserta PJTLN, dua manusia tersebut lantas berebutan menyodorkan
tangan masing-masing. Jelas saya jadi terharu sekaligus bangga—karena siapa
sangka, ternyata masih ada orang yang sudi berkenalan dengan saya.
Dua teman sekamar saya itu
ternyata Falasifah asal LPM Fitrah Universitas Muhammadiyah Palembang dan
Annisa asal LPM Genta Universitas Andalas Padang. Sempat kagok juga mengingat
keadaan memaksa saya buat terus-terusan bicara dalam Bahasa Indonesia which is not my daily language, uh-oh~
Kemudian salah seorang
panitia mengetuk pintu. Mengatakan kalau selesai Maghrib nanti, para peserta
sudah harus bersiap-siap meluncur ke Kantor Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir (OI)
untuk dijamu makan malam.
MAKAN!
Yay.
Kebetulan perut saya sudah
kebelet diisi, jadilah saya berbenah diri duluan, dan keluar duluan. Di sanalah
saya kemudian berkenalan dengan dua LO yang bertugas mendampingi kami—para peserta;
LO cowo bernama Daud J. Filler (barangkali dia keturunan Jerman atau entahlah) sementara
satunya lagi perempuan, yang sesuai dengan ID Line, bernama Devi Permatasari
(yang tampangnya eksotik dan mirip-mirip Eva Celia anaknya Sophia Latjuba~).
Di depan Gedung Student Center dan berasa hunting di Hungaria |
Setelah nyaris satu jam
menunggu, dan bertanya-tanya dengan para panitia dan sempat dijawab dengan
celetukan Filler, “Kita lagi nunggu Ferrari paling canggih se-Indralaya.” Akhirnya
muncullah mobil kuning yang sungguh akrab di mata mahasiswa Unsri Indralaya;
Oplet Kuning!
Oke, then.
Sengaja saya mengambil
posisi di bangku tembak di tepi pintu mobil demi menikmati angin syepoi-syepoi
dan kerlip lampu jalanan. Lalu kami mulai masuk ke sebuah jalan kecil,
melintasi rawa-rawa yang terhampar dan diliputi tumbuhan purun, melewati
jembatan yang menjadi landmark Indralaya;
Tanjung Senai. Kurang lebih tiga kilo dari sana, oplet yang kami tumpangi
memacu ke arah gerbang yang terbuka, dan akhirnya menepi pada sebuah gedung
dengan sejumlah mobil dan motor yang sudah terparkir. Perjalanan itu memakan
waktu sekitar satu jam.
Bersama cacing-cacing perut
yang mulai menggeliat, saya dan kawan-kawan menjejakkan kaki ke dalam gedung
pertemuan Pemkab OI. Disambut dengan beberapa wejangan, lalu ke acara yang
paling inti dan mahapenting pun dimulai:
Makan malam.
Usai makan malam, kami
kembali ke kegiatan berikutnya; pulang menuju Student Center. Mulanya saya
pikir serangkaian acara malam itu sudah selesai. Ternyata, sesampainya di
tempat, para peserta diharuskan kembali melek lebih lama untuk mengikuti forum
nonformal; sharing bersama dan
perkenalan.
Muka kucel dan ngantuk dan disuruh mendongeng. Hoam... |
Lalu hari berikutnya, Senin
(21/11), Talkshow yang mengangkat topik tentang Kebakaran Hutan dan Lahan
menjadi gerbang pembuka dalam kegiatan PJTLN dan dimulai pada pukul sembilan
pagi di Auditorium Universitas Sriwijaya. Acara itu diselenggarakan sebagai
bentuk pengantar bagi kami para peserta.
Usai menghadiri talkshow
tersebut, para peserta digiring kembali menuju Student Center dan berlanjut
dengan acara klasik yang lazimnya ada dalam sebuah pelatihan; materi.
Selama dua hari kami
dijejali materi-materi yang berkaitan dengan jurnalistik serta lahan gambut. Cukup
terkesan dengan usaha panitia dalam mengenyangkan perut kami—khususnya saya
yang doyan ngunyah. Setiap satu jam sekali, piring di meja-meja diisi ulang,
lalu kopi bergelas-gelas turut disodorkan sebagai pelengkap.
Sore hari, untuk mengisi
waktu luang, para panitia berinisiatif mengajak kami berkeliling kampus
Universitas Sriwijaya dengan sepeda double
saddle. Ketika peserta lain sudah mendapatkan pasangan ngegowes, saya
termangu seorang diri. Cedyh~
Meski nir-pasangan, saya berusaha tetap tersenyum kok:"3 |
Tiba-tiba si Filler
langsung nangkring di saddle belakang.
Cengar-cengir. Lantas, entah bagaimana prosesnya, seketika saya dan Filler
sama-sama ngegowes dan berasa heboh sendiri.
Kalau dalam persepsi saya, “Nggak
ada orang yang nggak bahagia sewaktu bersepeda.”
Kami serombongan
berkeliling kampus. Mengenalkan spot-spot
terkenal dan kebetulan Filler masih bertugas jadi LO, maka dia dituntut
buat cerewet dan berisik.
Matahari semakin redup, dan tubuh saya ikutan menggelap. Huft |
Sampai akhirnya Rabu pun
tiba. Semalam sebelumnya kami telah diingatkan panitia untuk segera berkemas,
dan Rabu pagi, kami sudah harus bersiap untuk berangkat ke Palembang dengan
menggunakan Bus Kampus. Suasana cukup panas dan terik. Atmosfer khas Indralaya.
Kemudian, setelah makan
siang sambil mengemper di bawah pohon rindang, rombongan kami mulai menjelajahi
pusat kota, dan melintasi Benteng Kuto Besak untuk kemudian melangkah menuju
dermaga.
Sesaat para panitia
berkompromi”
“Ada yang mau pipis?”
“Nggak.”
“Sholat?”
“Jamak aja daripada
ketinggalan.”
“Berak?”
“NGGAK!”
Jadilah kami menumpang speedboat yang dicat sewarna zamrud
ketika hendak bertolak ke Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan untuk mengikuti acara inti; menyaksikan
langsung kehidupan di atas tanah gambut.
Memasuki speedboat dengan ceriya~ |
Bagi saya, desing mesin
kapal dan hempasan gelombang sungai menjadi kombinasi paling menarik di
sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih tiga jam. Serombongan
burung melintasi langit yang mulai terik, sesekali berhamburan lalu menyatu
kembali sementara kapal kami terus meluncur dengan meninggalkan riak-riak yang
memecah aliran tenang anak sungai.
Sekitar pukul empat sore,
kapal kami akhirnya menepi di jalur 27. Dari dalam kapal, saya dan teman-teman
dapat melihat serombongan warga desa yang berkumpul di tepian dermaga diiringi
wajah-wajah sumringah, beberapa di antaranya turut membawa kendaraan roda dua.
Saya sempat bertanya-tanya dalam sunyi, dan seakan dapat membaca pikiran saya,
salah seorang warga desa serta-merta berceletuk, “Ayo, dipilih mau naik motor
yang mana. Semuanya memang disediakan buat menjemput kalian.”
Panitia sedang repot menuruni barang-barang dari kapal |
Mendengar itu, barulah saya
tersadar bahwa rombongan tersebut tengah menunggu kedatangan kami—pers mahasiswa—yang
sengaja menyeberangi Sungai Musi dari Palembang demi menyaksikan langsung bagaimana
masyarakat Desa Nusantara sukses bertahan hidup di tengah minimnya
infrastruktur dan lahan gambut yang terhampar bahkan sampai ribuan hektar.
Dengan menggunakan
motor-motor yang ada, saya dan teman-teman kemudian diantar menuju kediaman Rokhim
(37) yang dalam setahun terakhir diamanahkan sebagai Ketua Forum Petani
Nusantara Bersatu (FPNB) untuk menghadiri upacara penyambutan yang diadakan
oleh warga Desa Nusantara secara bahu-membahu, sesuatu yang sulit ditemukan di
kalangan masyarakat urban.
Jalan yang kami lewati
berupa jalanan berlapis debu dan belum diaspal. Lebarnya pun tak sampai sekian
meter sebab tak cukup menampung dua mobil yang melaju beriringan. Di kiri-kanan
jalan, terdapat permukiman warga yang diselingi tumbuhan sejenis akasia, nanas,
dan rumpun bambu, tak jarang pula pohon kelapa sawit tampak menyembul di antara
deretan pohon rindang di halaman depan rumah-rumah.
Spontan saya terkesima
manakala tatapan saya bertumbuk langsung pada tenda-tenda yang terpancang di
halaman rumah Rokhim beserta hiruk-pikuk percakapan warga yang pecah di antara
deretan kursi plastik. Suguhan kelapa muda dan kudapan kecil khas Jawa yang segera
disodorkan semenit saya mendudukkan diri di salah satu kursi kosong seolah
menggenapi atmosfer hangat kala itu.
Disambut pake gethuk, keripik singkong, tape, dan kelapa muda~ |
Suara kokok ayam dan
pekikan riang anak-anak kecil turut menyemarakkan upacara penyambutan yang
dibuka langsung oleh Usman (37) dan disambung dengan prakata dari Nurhadi,
Sesepuh Desa Nusantara yang kurang-lebih menggambarkan kondisi Desa Nusantara
di masa lampau hingga terkini.
“Dari tahun ’80 sampai ’95,
seribu sembilan ratus sembilan puluh lima, kami hidup di dalam kemiskinan,”
kenang Nurhadi dalam kata sambutannya.
“Karena belum bisa menaklukkan lahan gambut dengan tepat.”
Bersama petinggi Desa Nusantara |
Desa Nusantara menjadi
titik awal penolakan adanya korporasi perkebunan sawit yang menguasai lahan
pertanian yang didominasi oleh tanah gambut. Alihfungsi lahan pertanian menjadi
lahan perkebunan ini, menurut sejumlah warga, tentu sudah sangat menyalahi
aturan dan sama sekali tidak peduli pada kondisi ekologis. Sekitar 1.200 hektar
lahan gambut basah yang terbentang di sepanjang Desa Nusantara merupakan kantong
penyumbang produksi padi terbesar nomor dua di Ogan Komering Ilir (OKI). Lantas
bagaimana jika lahan pertanian ini dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit?
Masyarakat Desa Nusantara sekuat tenaga tetap mempertahankan lahan mereka.
Usai menghadiri upacara
penyambutan, saya kembali digiring menuju kediaman Nursoim (42) dan Husnul
Khotimah (30) untuk menginap di sana dalam beberapa hari. Iseng, saya kembali
memeriksa ponsel dan kaget manakala tak ditemukan satu pun sinyal yang
terpancar ke dalam jaringan internet, dan inilah tantangan terbesar abad ini;
hidup tanpa internet!
Jadilah saya bermain-main
di halaman rumah bersama kedua anak Nursoim, Akbar (9) dan Widya (7). Saya
berkeliling desa sambil bersepeda, mengamati suasana pedesaan yang sederhana
namun memukau. Kendati tak banyak yang dapat diharapkan dari Desa Nusantara,
kehidupan orang-orang di sana justru terasa lebih menyenangkan dan tanpa beban.
Gelak tawa dan interaksi yang guyub seolah menandakan bahwa, meski berada di
desa paling pelosok, warga Desa Nusantara akan selalu baik-baik saja.
Krisis
air bersih menjadi salah satu kendala terbesar dalam kehidupan Desa Nusantara.
Bahkan anak-anak sungai yang mengaliri desa tersebut nyaris seluruhnya tercemar
oleh zat asam tinggi sehingga berwarna kekuningan, berbau karat, dan cenderung
getir. Kebanyakan warga menginisiasi pembuatan tong air dari semen di luar
rumah sebagai wadah penampung air hujan, yang kelak dapat digunakan sebagai
sumber air minum atau mandi.
Aliran air yang tercemar |
Hal itu
disebabkan oleh kayu-kayu gelam yang tumbuh secara membabibuta sehingga
mengontaminasi daerah resapan air. Begitu pula dengan servis kanal yang berada
di areal persawahan turut menyumbang permasalahan lain; kekeringan. Gagal panen
sudah menjadi rutinitas para petani Desa Nusantara mengingat minimnya air
bersih dan kondisi tanah yang dipenuhi gambut dan agak gersang.
Awalnya
tanah itu hanya berupa sarang hama dan binatang pengerat seperti gajah, babi
hutan, dan tikus-tikus. Pada 1980, imigran yang berasal dari Jawa mulai
bercocok tanam di areal itu sampai pada tahun 2005 upaya mereka menyulap ladang
gersang menjadi subur akhirnya terwujud dan menjanjikan kesejahteraan bagi Desa
Nusantara. Belum puas menikmati hasil jerih payah tersebut, pada tahun 2007,
beberapa orang yang mengaku dari sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit
seketika mendatangi desa tersebut dengan dalih meminjam lahan warga dalam
rangka pengelolaan perkebunan kelapa sawi t. Dengan berpegang pada izin prinsip
yang diberikan pemerintah kabupaten (Pemkab) Ogan Komering Ilir (OKI), mereka
datang membawa sejumlah alat berat, siap mengalihfungsikan sawah milik para
petani Desa Nusantara menjadi ladang sawit dengan iming-iming hasil yang instan
dan berjumlah besar.
Kanal air yang keruh |
Berbagai
upaya dilakukan perusahaan untuk menggusur tanah masyarakat. Beberapa kali
perusahaan mengusik ketenangan warga dengan menurunkan alat berat untuk menggusur
lahan kelola kehidupan masyarakat. Selain itu penduduk Desa Nusantara juga
mendapatkan intimidasi baik oleh aparat keamanan maupun oleh orang-orang yang
diperintah perusahaan. Dari pihak perusahaan pun melakukan berbagai macam cara
untuk memecah belah warga dengan mengimingi–imingi warga jika mau melepas lahan
yang mereka kelola dan tidak ikut dengan Forum Petani Nusantara Bersatu, maka
perusahaan akan memberi masyarakat uang dan pekerjaan di perusahaan.
Demikianlah
yang diceritakan para warga soal polemik yang hingga kini masih menggantung di
Desa Nusantara.
Ada lagi yang menarik, yakni tumbuhan kopi yang ternyata bisa hidup di dataran rendah bahkan di tanah penuh gambut. Berjenis kopi Liberika (jenis selain Arabika dan Robusta). Meski tidak seharum aroma Robusta atau Arabika, kopi Liberika ini memiliki citarasa unik. Jika disesap, akan terasa sedikit asam seperti buah nangka. Dikenal juga sebagai kopi gambut oleh masyarakat setempat.
Dikemas dalam bungkus seperempat kilo dan seharga 12ribu. Jadi per kilo dihargai 48ribu. Wuiih~ |
Yah. Kendati kehidupan
di sana sangat sederhana, saya betul-betul menikmati dua hari itu. Jamuan makan
yang seperti limitless dan sanggup
saya habiskan dan cukup membuat para panitia berdecak salut lantaran kemampuan
saya yang selalu makan banyak tapi tetap kurus.
Permainan voli antar ibu-ibu yang menjadi rutinitas agar tali silahturahim semakin erat~ |
Selama satu
minggu, saya seolah memperoleh keluarga baru. Dan hal yang paling intens
membekas di ingatan saya adalah ketika saya terjun langsung di tengah-tengah
warga Desa Nusantara, menyaksikan mereka tertawa dan bergurau, yang seolah
sudah terbiasa hidup dalam binaan alam dan tekanan penguasa.
THANKS FOR THE EXPERIENCE AND THE MEALS, CREWS! |
1 komentar
tulisan kenangan yang manis, serta keluar baru yang akan dikenang seumur hidup... ^_^
BalasHapus