Sanggupkah Tuhan Menerima Musibah?
Google images
Sudah lama aku
tidak bertemu Mbah Maridjan lantaran harus pergi ke luar kota untuk menuntut ilmu. Setelah gempa
di Jogja yang membikin hati miris itu, pesantren tempat aku belajar diliburkan,
semua santri disuruh pulang ke kampung halaman masing-masing. Aku segera
teringat Mbah Maridjan. Bagaimana ya
kabar orang tua yang dulu sering mengajariku filsafat Jawa itu?
Maka,
tergopoh-gopoh aku menemui Mbah Maridjan. Kucari tadi di rumahnya, tetapi
beliau tidak ada. Setengah berlari aku menyusuri pematang sawah yang masih agak
basah sambil sesekali menghirup aroma batang padi yang merasuk. Kata tetangga,
Mbah Maridjan akhir-akhir ini sering menyendiri di gubuk tengah sawah ketika
sore menjelang. Dari kejauhan, terlihat Mbah Maridjan yang menyalakan selinting
rokok. Baunya menyengat, tetapi segar—apalagi ditambah suasana sore yang
semilir.
“Mbah, Mbah!”
sontak aku memanggil seraya menghampiri Mbah Maridjan. “Bagaimana ini… musibah
datang silih berganti. Sepertinya, sudah waktunya kita melakukan tobat
nasional.”
Mbah Maridjan
hanya memandangiku sambil klepas-klepus mengisap rokok.
“Duh, Mbah kok
malah tenang-tenang saja?”
Beliau
terkekeh. “Begini, Le,” Mbah Maridjan mengubah posisi duduk agar menghadap ke wajahku.
“Musibah itu bisa jadi rahmat, sebagaimana rahmat juga bisa menjadi musibah. Ini
hanya kejadian alam biasa.”
Aku
mengembuskan napas berat. “Musibah ini peringatan dari Tuhan, Mbah,” sangkalku
dengan yakin. “Ini akibat dosa-dosa kita, sekaligus untuk menguji apakah kita
tabah menghadapi musibah atau tidak.”
“Tuhan pun tak
sanggup menerima musibah, Le.”
Seperti habis
ditampar, sontak aku terkaget-kaget. Mataku melotot. Berupaya menerka-nerka apa
maksud Mbah Maridjan barusan. “Maaf, Mbah. Saya kok tidak mengerti apa yang—”
“Kamu ini
pancen bodho ya, Le,” potong Mbah Maridjan seketika. “Kamu ingat kisah Adam dan
Hawa dikeluarkan dari surga hanya makan buah khuldi yang terlarang itu. Padahal
itu kan sepele, tapi kok ya Tuhan malah marah besar lalu mengusir Adam dan Hawa
dari surga. Terus kamu ingat kisah Iblis yang tidak mau bersujud di depan Adam?
Padahal Iblis itu pintar karena dia cuma mau bersujud di hadapan Tuhan semata—eh
malah dilaknat sama Tuhan. Gini lho, dari kisah-kisah itu, kelihatan sekali
kalau tuhannya saja kurang dewasa, ya wajar kalau makhluknya juga banyak yang
kekanak-kanakan.”
Aku hanya
bengong, mendengarkan kata-kata Mbah Maridjan yang mengalir seiring kepulan asap
dari rokok kretek di jemari tangannya. Sungguh gila kakek sepuh satu ini.
Berani-beraninya menggoyang tahta diktatur Tuhan.
“Aceh sudah
lebur. Jogja hancur. Merapi njeblug. Kita harus banyak berdoa Mbah, supaya Tuhan
mengampuni dosa-dosa kita,” aku masih bertekad untuk mengajak Mbah Maridjan
tobat.
“Ha-ha-ha…”
Mbah Maridjan justru terbahak sampai jadi terbatuk-batuk. Beliau menatapku
dengan geli. “Kamu ini, Le, produk zaman modern kok pikirannya idiot begitu. Dosa
kita kan kepada alam dan sesama manusia. Minta ampunlah kepada alam, dengan
merawat mereka baik-baik, menjadi bagian dari alam bukan dengan memperkosanya. Minta
ampunlah kepada manusia-manusia, berhenti korupsi, bantulah para fakir miskin,
perhatikanlah yatim piatu, jalankan negara dengan jujur dan bersih. Itu yang
namanya mohon ampun.” Lalu Mbah Maridjan menepuk sebelah pahaku, “Kalau mohon
ampunnya cuma sama Tuhan, kamu yang malah bakal ditertawakan sama Dia, Le.”
Ada perasaan
ingin membenarkan, tapi tetap saja kupikir Mbah Maridjan ini bagian dari aliran
sesat. Maka aku harus cepat-cepat meluruskannya. “Ya tapi, Mbah, kita tetap
perlu pertolongan Tuhan untuk bisa lepas dari penderitaan ini.”
Kali ini tawa
Mbah Maridjan semakin menyembur. “Percayalah, Le, Tuhan itu egois,” usai beliau
tergelak, mulutnya kembali bicara. “Kita harus membantu diri kita sendiri. Kamu
boleh minta tolong sampai air matamu habis, tapi kalau kamu tidak memperbaiki
diri, ya percuma saja. Lihat itu… orang Jepang, kena gempa, mereka langsung
belajar dan bisa bikin gedung sama rumah yang tahan gempa. Orang Belanda, kena
banjir bandang, mereka segera bangkit dan buru-buru membangun dam-dam raksasa,”
Mbah Maridjan menahan ucapannya untuk meneguk ludah sejenak. “Bencana itu untuk
dipelajari… bukan untuk disesali.”
Lama-kelamaan
aku jadi dongkol sendiri. Dari dulu, Mbah Maridjan memang paling bisa
membolak-balikkan perspektif. Dan beliau sudah berani memainkan syaraf di
otakku, tapi aku berusaha untuk menguasai diri. “Mbah,” kataku dengan lugas, “kita
ini sebetulnya yang egois—manusia. Tuhan telah menciptakan alam dengan
sempurna, menitahkan kita sebagai khalifah-nya di dunia ini. Kitalah yang
sebetulnya tidak sanggup memegang amanat itu.”
Mbah Maridjan
kembali meringis. Seolah mengejek. Matanya yang kecil dan bulat itu menatap
jauh ke hamparan sawah di depannya. “Kalau mau jujur sih, karena konsep Tuhan
yang diejawantahkan oleh manusia egosentris, akhirnya manusia tambah kelihatan
egois. Seharusnya, kamu yang sekolah itu tahu hal-hal begini, dan itu pandangan
antroposentrismu… kuno sekali cara berpikirmu, Le. Manusia itu kan bagian dari
alam, ini malah sok-sokan mau jadi penguasa alam.”
Aku kian geram
dibuatnya. “Ya biarin, Mbah!” aku berujar dengan nada meninggi, “Pandangan
antroposentris kan lebih baik ketimbang percaya takhayul dan mistis kayak
sampeyan. Ada Nyi Roro Kidul-lah, Tombak Kiai Plered-lah, Kebo Kiai Slamet—ha-ha-ha
kebo kok dianggap kiai…”
“Lhooo siapa
bilang Mbah percaya sama Nyi Roro Kidul.
Nyi Roro Kidul kan cuma mitos, Le,” Mbah Maridjan mengerling. “Dulu, para
kawulo cilik seperti kita ini kan sering ditipu penggede-penggede istana.
Raja-raja Mataram zaman dulu malu karena di Segoro Lor—Laut Jawa, mereka kalah
dengan tentara Kumpeni Walanda dan tentara Portugis, jadi mereka menghibur diri
dengan menciptakan mitos Nyi Roro Kidul seolah-olah mereka masih menguasai
Segoro Kidul—Samudera Hindia. Memperistri penguasa Segoro Kidul. Cilokone, kita
semua percaya adanya Nyi Roro Kidul, kekuatan pusaka-pusaka. Kita ini memang
bodho kok, le. Wis bodho, mbodhoni wong
mesisan.”
Sungguh,
kejengkelanku pada Mbah Maridjan semakin sukar dibendung. Tapi aku tidak boleh
menyerah, “Mbah… musibah demi musibah ini sudah menyelimuti kita. Bagaimana
kalau kita bergerak saja, Mbah?”
“Simbah di sini
saja, Le,” Mbah Maridjan tidak terpengaruh denganku yang sudah beranjak dari
pondok. “Mbah mau mengabdikan diri untuk penduduk Merapi. Kamu yang masih muda
yang kudu bergerak. Sadarkan orang dari tidurnya, sadarkan orang dari sikap
fatalis menghadapi musibah. Sudah, sana… belajar yang benar. Santri kalau
kerjaannya main PS terus ya kayak kamu. Ilmune
nggedabus, pangertene mbladhus. Belajar sana bagaimana mengatur bantuan
yang tepat guna dan tepat sasaran. Jangan hanya belajar kitab kuning, kitab
putih pun juga harus dipahami.”
Sambil
menggerakkan tangannya menyuruhku pergi, Mbah Maridjan merogoh saku.
Dikeluarkan selembar duit lima puluh ribu dari sana.
“Ini,” ucap
Mbah Maridjan sambil menyerahkan uang tersebut kepadaku. “Cuma lembaran lima
puluh. Tapi duit ini akan benar-benar jadi milikmu kalau kamu memberikannya pada
yang membutuhkan. Banyak itu di sepanjang kaki Merapi.”
Aku mengernyit
bingung. Ketika uang itu berpindah ke tanganku, dan aku mulai melangkah pergi,
masih terpikir apa maksud dari kata-kata Mbah Maridjan yang terakhir tadi. [ ]
Cerpen
ini diadaptasi dari cerpen berjudul sama karya Muhammad Amin yang terbit
melalui kumcer Ziarah ke Makam Tuhan.
Sangat
suka dengan substansi yang disampaikan. Mungkin ini fiksi, tapi setidaknya, apa yang
diungkapkan Mbah Maridjan adalah permasalahan yang kerap mengungkung pemikiran
banyak manusia di bumi. :)
1 komentar
https://amaliah-black.blogspot.com/2016/05/cerpen-sanggupkan-tuhan-menerima-musibah.html
BalasHapus