[CERPEN] Lukisan Cinta dari Denmark

Lukisan Cinta dari Denmark

Cuaca cerah sekali, terik matahari mulai terasa intens merambati bumi. Yesus mengebut motor Supra-nya dengan terburu-buru. Rupanya ia hendak menemui Muhammad. Ada hal penting yang ingin disampaikannya. Yesus segera memarkirkan sepeda motornya di ruas jalan depan rumah Muhammad begitu ia tiba. Selepas menyampirkan helm di kaca spion, Yesus lantas melangkah tergopoh lalu mengetuk pintu berulang kali.

“Assalamualaykum. Assalamualaykum!” ujar Yesus, separuh memekik. Kemudian kepalanya celingak-celinguk, menduga-duga apakah sebetulnya Muhammad ada di rumah atau tidak.

Selang beberapa menit, terdengarlah teriakan dari dalam, “Waalaykumsalam…”

Pintu terbuka, dan terlihatlah Muhammad tengah mengucek-ngucek mata. Ternyata ia baru saja bangun dari tidur. Maklum, panas-panas begini memang enaknya rebahan di bawah kipas angin sekalian tidur siang.

Melihat siapa yang datang, Muhammad seketika mengembangkan senyum. “Eh, Mas Yesus. Monggo, monggo. Silakan masuk. Shalom…”

“Shalom,” balas Yesus seraya mengangguk, lalu membuntuti Muhammad yang telah duluan beringsut ke ruang tamu. Baru ia mendudukkan tubuhnya di kursi, Yesus langsung menceritakan tujuannya menemui Muhammad siang ini. “Begini, Dik Muhammad,” ia berdeham, “ada sesuatu penting yang ingin saya sampaikan.” Kemudian Yesus mengeluarkan lipatan koran dari saku jaketnya, mimik wajahnya mengeras sedikit, dan ia kembali berkata, “Dik Muhammad sudah tahu belum kalau ada gambar karikaturmu di koran? Wah, keterlaluan sekali, Dik. Ini namanya tindakan subversif, pencemaran nama baik, insult, benar-benar tidak bisa diterima!”

Mendengar itu, Muhammad seketika mengekeh pelan. “Terima kasih, Mas Yesus, sudah repot-repot mau mengabari saya, tapi saya sudah tahu itu sejak lama kok.”

“Lah, terus?”

“Saya sih biasa saja, Mas. Malah saya menamakannya ‘Lukisan Cinta’, karena beginilah demokrasi yang sehat; saling mengkritik dan dibumbui dengan sarkasme demi mengadu wacana untuk menambah kedewasaan berpikir dan bertindak. Bukankah itu indah, Mas Yesus?”

Tanggapan Muhammad yang terdengar enteng itu jelas membuat Yesus geleng-geleng kepala. “Dik Muhammad ini bagaimana? Malah kelihatan santai-santai saja sementara umatmu di luar sana sedang protes besar-besaran sampai bakar-bakar bendera segala, bahkan ada yang siap untuk bunuh-bunuhan karena dianggap mati syahid,” Yesus berhenti bicara untuk mengambil napas. “Lagi pula, dalam aturan Islam kan memang tidak diperbolehkan siapa pun menggambar wajahmu?”

“Dulu peraturannya memang begitu, Mas Yesus,” sahut Muhammad sambil angguk-angguk. “Itu dimaksudkan agar tidak terjadi kultus individu, supaya tidak mengulangi pengkultusan seperti yang dialami Mas Yesus dan Mbah Sidharta. Tapi kan sekarang zaman sudah berbeda. Manusia lama-lama jadi pintar dan bisa mengerti sendiri untuk tidak kebanyakan percaya, apalagi menyembah simbol. Ini bukan zaman jahiliyah lagi lho, Mas.” Seperti teringat sesuatu, Muhammad permisi sebentar untuk beranjak ke belakang. Tak lama, ia datang kembali dengan dua gelas kopi Tugu Luwak favorit Yesus dengan nampan berisi kue.

“Monggo disambi, Mas. Ini kue buatan istri saya Aisyah. Dijamin enak.”

Yesus segera menyeruput segelas kopi yang dihidangkan sampai jakunnya kelihatan naik-turun. Dengan wajah puas, ia berujar, “Puji Tuhan. Sampeyan memang pintar milih istri. Kopinya pancen enak!”

Muhammad sontak tersipu-sipu menangkap pujian itu.

Setelah mengunyah satu kue dan menandaskan segelas kopi Tugu Luwak, Yesus kembali memasang ekspresi serius. “Jadi—kamu tidak marah dan tidak mau menuntut mereka untuk minta maaf nih?”

“Tentu saja tidak, Mas,” Muhammad menjawab tegas. “Saya sudah sering mengalami yang lebih parah dari ini. Dilempari kotoran onta, masjid di depan rumah saya dikencingi orang Badui, dihina orang Yahudi buta, dan segala macam. Menghadapi yang beginian memang mesti sabar. Jadi, jujur, saya malah merasa kok semakin ke sini, umat saya semakin tidak dewasa saja.”

Yesus sejenak tercenung. Ia mengusap-usap janggutnya dengan tatapan menerawang. “Betul juga,” barulah Yesus bersuara lagi, “saya juga pernah sih mengalami yang seperti itu. Coba deh pikirkan, baru-baru ini di Belanda ada yang menerbitkan buku berisi cerita kalau saya ini homoseksual, berkali-kali main esek-esek di Taman Gestmani dengan murid-murid saya termasuk Yudas. Tadi malam juga, saya lihat di National Geographic dijelaskan kalau saya pernah menikah dengan Maria Magdalena dan punya satu anak. Menghadapi yang begini memang benar-benar harus sabar ya, Dik.”

“Nah, itu dia,” Muhammad menggoyang-goyangkan telunjuknya. “Kalau dibandingkan dengan sekadar karikatur, apa yang terjadi sama Mas Yesus lebih parah kan? Jadi, untuk menghadapi seseorang yang belum mengerti itu harus pakai strategi; dengan kepala dingin, kasih sayang, tunjukkan cinta kita yang tulus, pasti suatu saat mereka yang belum mengerti akan paham tentang esensi ajaran-ajaran yang kita bawa. Bicara soal orang kafir tidaklah sesederhana itu, Mas.”

Namun riak di wajah Yesus masih menyemburatkan keresahan, maka ia kembali menumpahkan kegelisahannya selama ini. “Hm—tapi, jujur, Dik Muhammad, ada yang terasa mengganjal di pikiran saya. Yakni status saya sebagai tuhan dalam Trinitas, ini sepertinya umat-umat saya sudah salah tafsir. Padahal dalam Injil, sebanyak 82 kali dikatakan bahwa saya ini anak manusia. Sama seperti sampeyan, Dik Muhammad. Saya juga kepingin sekali menuntut Paulus, Konstantin II dan ibunya Konstantin II, juga Helena yang saya pikir adalah cikal bakal penyimpangan dalam ajaran-ajaran saya. Bikin mangkel saja.”

Sayup-sayup terdengar helaan napas dari bibir Muhammad. “Begini lho, Mas Yesus. Walaupun mereka percaya Trinitas, asal mereka mengamalkan ajaranmu tentang cinta dan kasih, menurut saya… menurut saya lho ya, dibiarkan saja, Mas. Toh, paham ketuhanan itu kan sifatnya pribadi, apalagi Konsili Vatikan II yang menurut saya sudah inklusif dan toleran. Ini bisa dinamakan sebagai ‘Great Leap Forward’.”

Meski kegelisahannya belum hilang betul, tapi kali ini Yesus mencoba menerima. “Baiklah, sementara ini saya tidak akan mengungkitnya lagi, tetapi nanti bakal ada saatnya saya akan tuntut. Nah, terus bagaimana strategi untuk memajukan umat ini menurutmu, Dik?”

“Ada tiga pilar utama yang harus dibangun dalam civil society. Pertama dan yang terpenting, iptek, kemudian pilar kesejahteraan, lalu yang tak kalah mendasarnya adalah pilar keamanan. Perang karena apa pun adalah haram untuk saat ini. Pertarungan dunia bukan lagi antara Barat dan Timur, Utara dan Selatan, ataupun Islam dan Kristen. Melainkan pertarungan antara yang lambat dan yang cepat. Siapa yang cepat menguasai ketiga pilar itu, maka dialah yang akan mengukir sejarah.”

Teori Muhammad kembali membuat Yesus termangu-mangu. “Jadi sesungguhnya… musuh kita adalah…”

“Kebodohan dan kemiskinan,” Muhammad langsung menyambung. “Keduanya tentu berderivasi pada siklus kekerasan.”

“Jadi—umat apa pun itu, semuanya harus dibangun supaya pintar, sejahtera dan cinta damai. Begitu menurutmu, Dik Muhammad?”

Yang diajak bicara segera menjentikkan jari pertanda sepakat. “Benar sekali, Mas Yesus. Walaupun rasanya sulit, tapi saya yakin, kemungkinan itu akan selalu ada.”

Kemudian keduanya bercakap-cakap perkara konstelasi politik yang carut marut. Kaum-kaum yang mengaku beragama tetapi menafikan kehadiran kaum lainnya. Terbahak-bahak menertawakan serombongan berjubah dan bersorban tapi  berpikiran seperti tikus. Sampai akhirnya sore menjelang, dan Yesus pamit pulang.

Spontan keduanya kaget bukan kepalang mengetahui motor yang diparkir Yesus tadi telah raib. Yesus dan Muhammad kompak menengok kanan-kiri untuk memastikan, dan barulah mereka tersadar bahwa motor itu sudah dicuri orang.

“Puji Tuhan,” Yesus mengelus dadanya. “Semoga sepeda motor itu lebih berguna bagi pencurinya daripada jadi milik saya.”

Muhammad yang ikut merasa tidak enak lantas menawarkan, “Mau saya antar dengan sepeda kumbang saya, Mas?”

“Oh tidak usah, Dik. Biar saya naik angkot saja. Terima kasih ya. Shalom.”

“Shalom…”

Muhammad memandangi Yesus yang berjalan kaki lalu menghilang ketika melewati belokan jalan. Dalam hati ia berdoa, semoga bumi dipenuhi manusia-manusia berhati lapang dan berjiwa jernih seperti saudara tuanya itu. [ ] 


(Diadaptasi dari cerpen "Lukisan Cinta dari Denmark" karya Muhammad Amin dengan berbagai perubahan)

You Might Also Like

2 komentar

  1. Dan ternyata Yesus lupa membawa uang untuk naik angkot, sehingga ia terpaksa harus berjalan kaki ke Barat untuk mengambil kitab suci bersama Tong Sam Chong dan bertemu Goku yang sedang mengumpulkan ketujuh Dragonball untuk kemudian di-Rasengan-kan oleh Conan.

    BalasHapus
  2. Bhaaak sunggu plot twist yang mengharukan:"DD

    Btw, thanks rey udah mau mampir dan ninggalin jejak!

    BalasHapus