Percakapan dalam Bus

Google images
Harusnya saya menceritakan ini dari awal, tapi keburu terdistraksi sama hal lainnya, dan jadilah adegan ini sempat terlupakan. 

Tadi pagi, ketika saya berangkat untuk kemudian menyambung dengan bus menuju Indralaya, saya sempat ngobrol sedikit dengan seorang ibu-ibu yang kebetulan duduk di sebelah saya. Dengan jok bus yang bantalannya sudah bolong sana-sini dan nyaris ambrol, kami duduk di baris ketiga dari bangku kemudi.

Ibu-ibu tersebut punya tubuh yang kecil, kurus cenderung ringkih, dengan rambut sepanjang telinga dan keriting ikal.

Awalnya saya cuek bebek, lebih memilih untuk khusyuk mendengarkan lagu lewat headset yang saya pasang, dan seketika saya merasa seseorang menyinggung lengan saya.

Ternyata ibu-ibu itu hendak mengajak saya bicara. Sambil melepas satu sumpalan headset, saya mendekatkan kuping ke arah wajahnya. Berhubung deru mesin bus yang sudah rongsokan itu melebihi bisingnya teriakan M. Shadows di Unholy Confessions, terpaksa saya menerapkan metode pendekatan telinga ke mulut supaya suara ibu tersebut bisa didengar.

Jadi kira-kira beliau bertanya begini, "Berangkat sekolah ya, Dek?"

Saya bingung sebentar, dan tersadar kalau saya sedang mengenakan kemeja angkatan yang lebih mirip seragam anak SMK. Maka saya menjawab, "Enggak, Bu. Kuliah."

Seraya memanjangkan leher untuk melihat ke arah depan, ibu itu mengangguk-angguk, dan kembali bicara sama saya, "Bina Darma, ya?"

Saya tersenyum. Mengingat yang tengah saya tumpangi adalah bus kota jurusan Kilometer 12 - Kertapati, jadi maklum saja kalau ibu itu menyangka saya mahasisiwi Bina Darma yang letaknya di perempatan Ampera-Plaju-Jakabaring-Kertapati. Sambil mengecilkan volume di pemutar lagu hape, saya menggeleng. "Unsri kok, Bu."

"Oh. Unsri itu... swasta atau negeri?"

"Negeri."

Sejenak ibu itu termangu, seperti sedang memikirkan sesuatu. Saya kira ibu tersebut sudah kehilangan minat untuk terus mengobrol dengan saya, tapi ternyata dia masih ingin melanjutkan topik pembicaraan. "Maklum ya, Dek, anak saya masih SMP. Badannya saja yang gede macam awak, tapi masih kecil. Masih sekolah di SMP 10 itu."

Karena bingung mau membalas apa, praktis saya cuma bisa tersenyum sebagai respons kalau saya mendengar ucapannya.

"Unsri itu negeri, ya. Hm, dulu awak SMA-nya negeri atau swasta?"

"Negeri, Bu."

"Nah, berarti awak pintar. Pasti rajin belajar."

Lagi-lagi saya tersenyum, tapi kali ini rasanya lain. Justru senyum yang saya ulas adalah senyum mengejek untuk diri sendiri. Pujian itu berulangkali dilontarkan kepada saya. Orang-orang di sekitar selalu melihat saya dengan wajah bangga terlebih ketika saya diterima di salah satu SMA negeri favorit lima tahun silam, melalui tes dengan ribuan pesaing yang bahkan berasal dari luar provinsi. Dan pujian itu kembali membumbung manakala saya dinyatakan lulus undangan dan diterima oleh satu-satunya universitas negeri di Sumatera Selatan. 

Padahal, jauh di benak saya, itu cuma beban. Pujian yang mengharuskan saya untuk memenuhi harapan mereka. Bahwa saya adalah anak pintar. Anak penurut. Anak yang selalu mendapat nilai tertinggi. Anak yang menonjol. Anak yang cemerlang. Anak yang selalu dilibatkan dalam sejumlah kegiatan. Anak yang pandai bicara dan selalu dikelilingi keramaian. Dengan anggapan seperti itu, perlahan, saya merasa semakin misunderstood. Seseorang yang terus disalahpahami.

Entah. Saya justru merasa sejauh ini, yang saya tempuh bukanlah hal yang disengaja. Saya tidak benar-benar ingin masuk ke sekolah favorit yang biayanya melebihi sekolah negeri biasa. Saya tidak benar-benar berniat untuk ngoyo berjuang melewati masa krisis begini agar kemudian cepat jadi sarjana. Tapi, lagi-lagi, ada sesuatu yang lain yang mendorong saya untuk terus melangkah ke depan. Siapa lagi kalau bukan himpunan manusia yang rela jor-joran menekan saya untuk senantiasa memenuhi ekspektasi mereka.

Di sela renungan tersebut, akhirnya ibu di samping saya itu berujar lagi, "Awak punya berapa saudara?"

"Lima."

Ibu itu tidak langsung menanggapi, malah sibuk memandangi saya yang seketika menghadap ke depan lantaran bus yang berhenti secara tiba-tiba. 

"Awak cantik, ya."

Saya ga menghitung sudah berapa kali saya dibuat bengong sekaligus heran oleh ungkapan yang sebenarnya sedikit aneh untuk seukuran orang yang sama-sama asing. Alih-alih merasa bungah karena dipuji demikian, saya justru bingung sendiri. Dan celakanya, ibu itu seperti ga menghiraukan kebingungan saya dengan terus membicarakan banyak hal. Sesekali saya terpaksa menimpali dengan pertanyaan-pertanyaan kecil, seperti; Ibu mau ke mana? Rumah Ibu di mana?

Hingga akhirnya sebuah pertanyaan yang menohok dipecutkan langsung ke arah wajah saya. "Cita-cita awak apa?"

Jujur. Saya ingin menangis. Barangkali dulu, ketika saya masih berusia sekitar empat-lima tahun, pertanyaan ini dianggap sebagai angan-angan yang menyenangkan. Dengan ceria saya akan menjawab, “Ingin jadi polwan!” atau “Ingin jadi pedagang kaki lima yang punya duit banyak!” tanpa tahu juntrungan dan orang-orang akan menciumi pipi saya, menimang-nimang tubuh saya, sebab jawaban saya kala itu adalah salah satu hal paling menggemaskan bagi mereka.

Tapi seiring perjalanan yang saya susuri, pertanyaan soal cita-cita tidak lagi terasa lucu. Malah menggelikan, dan apa yang saya dengar justru seperti ungkapan retoris yang tidak memerlukan penjelasan lebih mendalam.

Jadi, ketika saya ingin menjawab; “Jadi penulis”, jelas Ibu itu akan banyak bertanya, seperti “Mengapa?” dan berbagai pertanyaan lanjutan yang makin lama menyudutkan pilihan saya itu. Nyari makan dengan cara menulis memang belum bisa dianggap sebagai cita-cita. Itu hanyalah impian para idealis yang tidak terlalu mengagungkan kehidupan mapan.

Setelah menimbang sepersekian detik, saya lantas menceplos, “Masuk ke dinas pariwisata—barangkali.”

Dan ibu itu hanya bilang, “Oh iya iya.” Sebab dia tahu kalau itu adalah pekerjaan kantoran yang dibekali dengan sejumlah jaminan dan tunjangan dan seseran dari sana dan sini. Mungkin dia merasakan hal itu wajar jika saya mencita-citakan kehidupan yang stabil—dan tentunya realistis.

Sayangnya, setelah percakapan itu usai, saya mendadak seperti habis ditampar. Seketika saya merasa kosong. Hilang arah dan spontan kembali bertanya-tanya pada diri sendiri; “Apakah kehidupan seperti ini yang saya inginkan? Apa saya memang benar-benar sudah bebas?”

Dan selepas saya turun dari bus, air mata saya nyaris tumpah. Rasa sesak yang saya tanggung selama satu jam perjalanan seakan berdesakan sampai pangkal tenggorokan. Ini bodoh, mengingat apa yang terlintas hanyalah pertanyaan-pertanyaan sederhana cenderung sepele. Tapi begitulah. Segala hal yang ga sengaja lewat di benak kian membuat saya muntab. Dan ketika keresahan itu memuncak, ingin sekali rasanya untuk lekas menceburkan diri ke danau penuh biawak atau membiarkan babi hutan mencabik-cabik isi perut saya.

Beberapa kali saya bercerita soal cita-cita saya yang ngawur, yakni mati muda. Saya kepingin mati muda. Dan beberapa kali pula, orang terdekat saya—termasuk Ibu saya menepis pemikiran saya yang ngelantur itu dengan bilang bahwa kematian adalah mutlak. Itu bukan cita-cita. Semua manusia—dan makhluk yang hidup akan menemui kematian. Jadi, jangan diharap. Itu sudah barang tentu.

Dan di umur yang bahkan belum mencapai seperempat abad, saya merasa semua sudah cukup. Pujian-pujian yang diucapkan mendadak terasa amat menjengahkan dan semakin ga enak di kuping, sebab sejauh ini, saya sempat merasa ga membutuhkan apa-apa lagi. Bahwa sembilan belas tahun adalah cukup, dan saya lelah untuk disuruh ini dan itu, dan diharapkan untuk menjadi ini dan itu.

Namun, di sela-sela keletihan yang mendera, ada sesuatu yang diam-diam menyusupi. Ketika saya dipertemukan kembali dengan orang-orang yang punya binar wajah cemerlang, penuh senyum dan bercanda atas nama kebaikan dan kebahagiaan, secara tidak langsung, mereka berhasil membuat semangat saya bersemi. Betapa kehadiran mereka membantu saya untuk menyadari kalau hidup ini  sebetulnya worth fighting for. Pantas diperjuangkan.

Hence, saya pun akhirnya punya cita-cita yang baru dan tampaknya lebih bijak; 

Menjadi orang baik.

Indralaya, 10 Mei 2016

You Might Also Like

0 komentar