[REVIEW] MONSTER (2023)

 

(google images)

Setiap orang bisa menjadi monster dalam cerita orang lain.

Sebelum mengupas segala aspek mengenai film satu ini, perlu saya kasih disclaimer bahwa genre film ini bukanlah genre favorit saya, AKAN TETAPI, Monster (2023) berhasil membuat saya termangu dan tenggelam dalam sunyi setelah menonton tiap-tiap adegannya hingga detik terakhir. 

Kore-eda Berengsek! 

(x.com)

Ketika film ini pertama kali tayang di bioskop, gaungnya cukup semarak memenuhi linimasa sosial media lantaran kemenangannya dalam Festival Cannes tahun 2023. Tadinya saya nggak tertarik karena, sekali lagi, film ini mengusung tema yang ada dalam list terakhir saya ketika memilih jenis tontonan. Lalu, prinsip tersebut goyah seketika akibat algoritma sosial media yang terus menjejali saya konten-konten gemassssh tentang akting dua bocil bau kencur arahan Hirokazu Kore-eda.

Saya nggak sanggup menahan. Akhirnya saya tergiur untuk segera nonton.


Adegan pembukanya adalah kebakaran gedung yang disaksikan secara kasual oleh Saori Mugino (Sakura Ando) dan anak laki-laki semata wayangnya - Minato Mugino (Soya Kurokawa) dari balkon lantai dua hunian mereka. Saori adalah seorang single mom yang bekerja di binatu. 

"Jika manusia ditransplantasikan otak babi, apakah dia tetap manusia atau babi?" 

Minato tahu-tahu bertanya ke ibunya ketika menontoni kobaran api itu, yang kemudian dijawab oleh Saori dengan kalimat, "Ya jadi babi laaaah." Seperti itulah kurang lebihnya.

Saya yang nggak sempat baca spoiler, jelas merasa clueless dan kebingungan sendiri ketika mengikuti adegan-adegan awal, termasuk memahami pertanyaan Minato yang saya kira cuma pertanyaan iseng khas anak kecil.

Di satu jam pertama, saya harus berjibaku dengan ????????? dalam kepala saya karena banyak sekali adegan misterius dan sedikit mengganggu, yang saya belum tahu motifnya apa. Dari Minato yang tahu-tahu berubah dan jadi pemurung. Lalu kepala sekolah yang seperti menutup-nutupi sesuatu. Lalu Hori-sensei (Eita Nagayama) yang tampak seperti guru tengil. Saya tahu, film ini bukan genre kesukaan saya, tapi entah mengapa, seolah ada satu hal yang bikin saya enggan beranjak dari bangku.

Semacam ada lapisan demi lapisan yang perlu dikuak satu per satu, dan saya nggak akan bisa tidur nyenyak kalau belum membongkar lapisan-lapisan tersebut.


Kenyataannya, film ini menggunakan tiga sudut pandang yang memiliki narasi masing-masing: Saori Mugino, Hori-sensei, dan Minato Mugino.

Pada satu jam pertama, jelas saya seperti terlibat dalam perasaan Saori yang frustrasi melihat perubahan anaknya yang sangat drastis. Apakah pubertas membuat seorang anak menjadi janggal? Atau jangan-jangan ada yang nggak beres selama di sekolah? Meski saya pribadi belum menikah dan belum pernah membesarkan anak, tapi saya paham bagaimana ikatan emosional antara ibu dan anaknya. Ketika si anak menjadi tertutup, di situlah sang ibu mempertanyakan perannya.

Apakah aku seorang ibu yang gagal?

Yang pada akhirnya, keresahan tersebut dilampiaskan kepada orang lain yang dianggap menjadi pengaruh atas perubahan anaknya, yakni Hori-sensei, seorang guru muda yang dianggap melakukan perundungan terhadap Minato.

Lalu di lapisan kedua, sudut pandang beralih pada Hori-sensei yang terus mengelak akan tuduhan perundungan tersebut dan berusaha sekuat mungkin membuktikan bahwa dia nggak bersalah. Bertindak agresif cenderung defensif, Hori-sensei justru membuat Minato semakin takut dan terpojok, seakan menguatkan keyakinan orang-orang satu sekolah bahwa Hori-sensei memang bukan guru yang baik.

Adegan-adegan tersebut disusun maju-mundur laksana benang kusut nan morat-marit yang belum tahu muaranya ke mana.

Sampai tibalah pada sudut pandang Minato, protagonis utama dalam cerita, satu lapisan demi lapisan perlahan-lahan dibuka, kemudian dikorek, dan semua akhirnya menjadi masuk akal. Alasan-alasan mengapa Minato seketika berubah. Mengapa banyak sekali kegelisahan yang memayungi wajahnya setiap pulang sekolah. Mengapa dia harus pergi ke terowongan malam-malam seorang diri, lalu memilih nekat melompat dari mobil yang sedang disetir ibunya.

Tidak lain dan tidak bukan adalah Yori Hoshikawa (Hinata Hiiragi), teman satu kelas Minato yang sering jadi bulan-bulanan sirkel tukang bully karena dianggap cowo klemar-klemer.



Ketika mengetahui kenyataan itu, saya langsung wadidawww siapa yang naro bawang di sini??? Saya nggak kuat. Terlalu tragis. Terlalu menyedihkan jika memang terjadi di dunia nyata.

Untuk kali pertama saya nggak menyesal telah menonton sebuah film yang genrenya bukan kesukaan saya. Kore-eda sangat cerdas dalam menyusun petak-petak cerita yang akhirnya meledak seperti bom waktu. Meski saya sudah menduga akan ada plot twist, but i did not see that coming. Saya takjub bagaimana sang sutradara menyulap adegan-adegan yang awalnya kelihatan nggak begitu penting menjadi suatu kunci yang harus diperhatikan baik-baik. 

Seperti pertanyaan Minato pada adegan pembuka, "Kalo otak manusia diganti jadi otak babi, bakal tetap jadi manusia atau babi?"

Pertanyaan yang tadinya saya anggap "apa sih???!" ternyata adalah sebuah ironi yang menjadi garis besar film ini.

Strategi yang sangat bagus, Tuan! Saya jadi nangis nggak kelar-kelar. Nyesek, euy!


Setelah film usai, meski ending-nya diasumsikan sebagai akhir yang bahagia, saya justru menemukan kehampaan tanpa ujung. Ini nggak aman. Tiba-tiba saja saya kepikiran sama nasib Yori dan Minato setelah hujan badai. Saya kepikiran bagaimana Saori harus menerima kondisi anaknya yang kemungkinan di masa depan akan menjadi sulit. Saya terus tepekur. Bagaimana, ya?

Sebab film ini sungguh kompleks walaupun dikemas seperti film-film coming of age pada umumnya. Rasa sakit dan derita yang dialami Yori cukup membuat saya emosional. 

Anak sekecil itu harus berkelahi dengan pandangan masyarakat.


Secara visual, sudut pengambilan gambar, scoring dan dialog-dialognya - semua aspek dalam film ini sukses memperkuat bangunan cerita. Jika diinterpretasikan lebih dalam, ada banyak isu sensitif yang kerap ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, secara sadar maupun nggak disadari.


Lima miliar jempol ke atas buat akting para pemainnya, terutama buat Soya dan Hinata yang kemistrinya berhasil menjangkau another level. Meski masih muda dan hijau, keduanya punya potensi jadi aktor besar legendaris yang tak lekang oleh jaman. Terima kasih, dik, kalian sudah berhasil bikin saya patah hati sepatah-patahnya.



5/5 because THIS IS PERFECTTTTTTT! [ ]



You Might Also Like

0 komentar