[CERPEN] des ponts plutôt que des murs

Autumn Covered Bridge Abstract Painting by Dan Sproul
pixels.com

I don’t wanna be sad anymore,” aku bisa merasakan napasku yang bergetar ketika membisikkan itu, dan dia mendekapku semakin erat, seakan berusaha merekatkan kembali kepingan-kepingan diriku yang sudah remuk berantakan.


Sampai kapan pun, aku tak akan pernah tahu bagaimana caranya merespons—bagaimana caranya menanggapi fakta bahwa ada seseorang yang menginginkanku; ada seseorang yang membutuhkanku, sebab aku akan menangis sejadi-jadinya. Kesedihan yang mengendap dalam diriku seakan sudah melampaui kapasitas dan kadangkala meledak begitu saja tanpa peringatan.

Aku benci mengatakan ini, tetapi aku harus terima kenyataan kalau aku memang tumbuh dan  besar dalam penolakan. Aku bertahan dalam keterasingan, seorang diri, dan orang-orang terus menganggapku sebagai sosok aneh yang tak biasa. Ada energi ganjil yang menguar sebagaimana aku bicara atau sekadar berjalan melintasi mereka. Aku kerap berpikir, barangkali aku memang sudah salah terlahir dan hidup di dimensi ini. Tuhan mungkin sedang mabuk, atau ada sistem yang kebetulan sedang rusak ketika aku diciptakan.

Sekeras apa pun aku berusaha terlihat sama, orang-orang tetap menatapku dengan janggal.

Tetapi yang aku tahu, satu-satunya orang yang mencintaiku tanpa batas hanyalah Ibu. Aku tidak terlalu ingat, namun aku sadar telah menghabiskan sembilan bulan lebih bersembunyi di balik selaputnya—saling berbagi makanan, keresahan, dan penderitaan. Hidup di badan yang sama, jelas membuat aku dan Ibu terkoneksi lebih dari siapa pun.

Namun kenyataannya, kasih sayang Ibu tak lantas membuatku lancar dalam menafsirkan cinta. Aku kerap gagap. Aku sulit percaya jika orang-orang betul menaruh perhatian—yang kukira sekadar basa-basi antarmanusia. Terbiasa mengalami penolakan membuatku sedikitnya berpikir, barangkali aku lebih baik mencintai diri sendiri; barangkali aku memang tidak pantas hidup seperti orang lain; barangkali selamanya aku akan jadi orang aneh yang sulit bahagia, dan banyak sekali barangkali-barangkali yang akhirnya menyeretku ke dalam koridor gelap.

Sebab, tiap kali aku mengalami kebahagiaan, semua terasa seperti mimpi. Berlalu begitu saja tanpa sempat kugenggam. Kemudian aku akan kembali terperosok ke koridor yang sama di mana yang kutemukan hanyalah kosong dan ketiadaan.

Semua itu  menuntunku untuk terjaga setiap jam tiga pagi, menyingkap kabut yang menyelubungi amigdala dan menggapai kenangan-kenangan yang mungkin bisa kuhargai, dan tentu aku akan menangis diam-diam, entah sedih, entah bahagia—aku sulit membedakannya.

Dan menemukan seseorang lain yang mencintaiku bukan perkara mudah. Aku tidak bisa langsung percaya dan menelan bulat-bulat ucapannya. Tidak segampang mencerna bubur nasi atau telur ikan. Ada derum menyakitkan yang lambat-lambat bergema di belakang kepalaku. Seperti denting metronome yang tiada habisnya. Aku tidak terbiasa, dan entah sampai kapan aku akan terbiasa dengan kondisi ini.

Cinta adalah materi berbahaya, setidaknya begitu bagiku. Aku pemberani tapi juga pengecut. Aku terbiasa menahan sakit sendirian tetapi tak kuat manakala seseorang datang dan berkata akan membantuku menanggung semuanya.

Apa itu omong kosong?

Namun, dia terus mendekapku. Tanpa bicara. Hanya embusan napas yang menyapu telinga. Aku tak mengerti kenapa aku membiarkan ini terjadi. Pukul tiga pagi seperti membangunkan jiwaku yang lain. Jiwa yang tak pernah kuperlihatkan pada siapa pun sebelumnya. Cuma aku yang mengetahuinya, betapa derik tonggaret dan gemersik gugusan pinang yang saling bergesekan ditiup angin menjadi musik latar belakang.

“Kamu terlalu mencintai kesedihan itu,” demikianlah yang diutarakannya usai mendekapku, menatap begitu dalam sampai-sampai aku bisa merasakan tubuhku memaku beberapa jenak. “Kamu diberkahi banyak kebahagiaan, but instead, kamu memilih merangkul kesedihan itu.”

Dia betul. Lelaki itu selalu betul.

Aku memang gemar meletakkan kesedihan itu di balik punggung, membawanya turut serta ke mana pun aku pergi, seakan telah mengakar kuat dan merasuk ke bagian paling dasar. Karena rasanya sulit sekali melepaskan itu—aku sudah terbiasa diliputi kesedihan, dan butuh proses panjang untuk menggantikannya dengan kebahagiaan permanen.

Bahkan ketika memikirkan itu saja, dadaku seakan terbakar. Sesungguhnya aku hanya ingin lepas dari keterikatan apa pun, pada siapa pun—telah kukatakan pada lelaki itu. Aku tidak terlalu paham jenis hidup apa yang kupilih, tapi aku cuma ingin bebas. Mengenang yang sudah-sudah; bernapas seperti tawanan orang lain membuatku semakin menderita.

Aku tahu ini sinting. Ketika orang-orang menjadi bersemangat karena cinta, atau bahagia karena cinta, aku merasakan sebaliknya. Sebab cinta yang orang-orang berikan padaku rasanya tak pernah sama sebagaimana aku memberikan cinta pada diriku sendiri.

Bagaimana bisa seseorang dengan percaya dirinya mengklaim jatuh cinta padaku untuk kemudian memperlakukanku seperti tahanan?

Tidak masuk akal.

Lalu aku mendengus, dan dia menggeser tubuhnya menjauh, menyisakan aroma musky yang menempel di wajahku.

“Apa kita akan menikah?”

Aku menggeleng. Aku tidak yakin meski aku tahu, ini adalah kebahagiaan yang semestinya dirayakan, tetapi aku sama sekali tak siap. “Untuk saat ini, jangan mendesakku.”

Dia tersenyum. Itukah wujud cinta? Tetapi matanya bersinar sedih. Mungkin aku telah menjadi sumber penderitaannya.

Sebab aku memang tidak terbiasa hidup sebagaimana yang dijalani orang-orang kebanyakan. Cinta, pernikahan, kasih sayang—semua punya definisi lain di dalam bayanganku, di mana kesemuanya tentu akan berakhir menyakitkan.

Seperti pertemuan, selalu ada perpisahan.

Aku tahu, kita tidak seharusnya bertemu lagi. [ ]

You Might Also Like

0 komentar