[Jurnal] Sebaskom Cerita

"Sebaskom Cerita"
(Oleh: Amaliah Black)
               
A/N: Sengaja mengambil metafora baskom karena tajuk ‘Sepotong Cerita’ terlalu sempit buat menghimpun keseluruhan isi tulisan ini.
-oOo-


Dulu saya paling jengkel kalau tidur terlalu larut. Paling mangkel kalau saya sendiri yang masih melek sementara yang lainnya pada asyik-masyuk sama kegiatan mengorok masing-masing.

Tapi, sekarang saya nggak sebel lagi. Sebab kisah ini berawal dari ulah saya yang nggak sengaja daftar paket internet tengah malam—alhasil, saya terpaksa begadang cuma buat stalking akun orang doang. Ehehehe.

Tanpa ada niat apa pun, mendadak saya kepikiran buat buka email malam itu juga. Ada pesan baru yang ternyata dikirim ke saya dua hari sebelumnya. Tanggal berapa, ya? 14 atau 16 Oktober? Hm, pokoknya sekitar minggu-minggu itu.

Oh!

Ternyata email dari Kampus Fiksi yang nawarin buat pindah angkatan.

Gini, ya. Sebenernya saya dapat jatah angkatan 17—yang entah kapan bakal diselenggarakan. Katanya, sih, antara pertengahan atau akhir tahun 2016. Huwalah, saya aja sudah kebelet pengin ke Jogja. Kebelet pengin lihat Malioboro. Kebelet pengin bikin novel bareng penerbit mayor sekelas Diva Press. Juga kebelet kepingin ketemu adminnya akun twitter Kampus Fiksi yang songong banget itu. :p

Jadilah saya berkontemplasi sejenak. Heu-heu.

Setelah dapat restu dari Ayah sama Ibu, akhirnya saya memutuskan buat betulan pindah ke angkatan 14. Rencananya saya mau pergi sendiri aja, tapi si Ibu ternyata punya alibi; “Demi memastikan keselamatanmu selama perjalanan, Ibu bakal ikut ke Jogja.”

Halah, padahal si Ibu maunya pelesiran.

Jadi, si Ayah—yang belakangan lebih doyan ongkang-ongkang kaki di depan tivi—memilih untuk tinggal di rumah dengan alasan, “Ah, cuma tiga hari. Nggak seru.”

Ya sudah. Setelah melewati aneka aral rintangan; dimulai dari dosen yang nggak kasih izin buat berangkat—dan saya memutuskan buat tetap bolos mata kuliahnya, sampai UTS Teori Organisasi yang dilaksanakan sedemikian mendadak—untungnya take home, jadi saya bisa kebut semalam ngerjainnya sebelum hari keberangkatan, dan untungnya lagi temen-temen kuliah pada mau bantu buat ngeprint sekalian ngumpulin tugas itu. Jadi seenggaknya, saya nggak lari dari kewajiban. Thanks a lot, hei, Tante-Tante Girang. Saya janji bakal bawa oleh-oleh tiga kardus buat kaliaaan! :”D

Soal transportasi, pertamanya saya pilih naik pesawat buat berangkat ke Jogja. Tapi, ngerinya nanti bandara masih tutup lantaran asap yang gila-gilaan banget menyerbu Palembang. Jadilah kami beralih naik bus eksekutif. Sehari semalam. Bolak-balik ke toilet dalam bus karena nggak kuat duduk di bawah AC. Oke, yang bagian ini banyak menyimpan aib. Mending dilewatin aja, ya.

Kami pun tiba di Terminal Jombor, Jogja pas jam setengah sembilan. Malam Jumat. Dan, ngomong-ngomong, ini juga kebanyakan aibnya. Jadi, ya, terpaksa saya harus memendam perasaan ini seorang diri(?).

Setelah semalaman terdampar di losmen sekitar Malioboro, akhirnya saya ditelepon sama mas-mas ganteng. Sebut saja Kiki. Tapi waktu itu saya lagi di luar, dan hape lagi di-charge. Jadinya nggak saya angkat. Terus dengan nada ngambek, Mas Kiki sms saya; “Angkat dong! Ini saya, Kiki yang mau jemput peserta kampus fiksi.”

Hih, galak bener. Pengin saya usel-usel rasanya.

Lantaran terpengaruh sama kegalakan Mas Kiki, saya terdorong buat langsung beres-beres dan makan siang, lalu pamit sama Ibu. Meninggalkannya seorang diri. Hanya bertemankan sepi dan sunyi. Tapi mau gimana lagi. Ada hal yang harus memisahkan kami. Muehehe.

Menuju Kampus Fiksi Angkatan 14
Nah, dari babak ini saya mendadak mutung. Saya minta tunggu di Stasiun Tugu aja, karena losmen yang kami sewa nggak jauh dari sana. Dan alhasil komunikasi antara saya dan Mas Kiki jadi berbelit-belit. Saya, kan, buta arah. Saya nggak ngerti sama seluk-beluk Jogja. Untung waktu itu ada mas tukang becak yang dengan kerendahan hatinya mau kasih petunjuk. Saya sempat ngeri, takutnya saya malah nyasar ke Sarkem. Bisa gawat nanti.

Setelah hampir setengah jam celingak-celinguk, akhirnya saya ditegur sama mas-mas pake baju merah sambil bawa kopi dari Indomaret._. Saya pikir itu orang iseng. Eeh… ternyata itu toh yang namanya Mas Kiki. Duh, saya langsung terpesonaaa.

Usai mengenal satu sama lain *eakk*, Mas Kiki ngajak saya buat ke Stasiun Lempuyangan dulu. Sekalian jemput peserta Kampus Fiksi 14 asal Sragen, katanya. Di sinilah saya pertama kalinya ketemu Mbak Fatyana. Lucunya, di antara kami berdua, nggak ada sedikit pun perasaan canggung yang mencuat. Atau atmosfer yang biasa saya rasakan setiap bersama orang asing. Ini bener-bener beda! Di dalam mobil, kami bertiga bisa langsung akrab. Cekakak-cekikik bareng. Kayak keluarga bahagia. *mata berkaca-kaca*

Sesampainya di gedung Kampus Fiksi, saya dan Mbak Fatyana ketemu dua peserta yang sama-sama dari Semarang. Mbak Elsa, dan Mbak Datti—yang aslinya dari Ambarawa, tapi kuliah di Semarang.
Kami berempat kenalan sebentar dan mulai ngalor ngidul. Saya nggak inget persisnya apa yang mengawali percakapan kami sekawan. Yang saya inget cuma satu; fanfiction genre NC. Dan semenjak itulah interaksi kami kian mengalir tanpa adanya paksaan. Wakkss.

Agak sorean, Mbak Latifah—peserta dari Lampung turunan Jawa—nongol dan gabung dalam komplotan kami berempat. Ternyata, oh ternyata… kami berdua punya visi yang sama; pengin ketemu langsung sama admin KF! Muahahahah. *ketawa setan*

Sekitaran pukul 7 ba’da Maghrib, kami keluar dari persembunyian. Membaur sama para alumni Kampus Fiksi dan staff Diva Press yang juga hadir di asrama KF. Ada Mbak Ve, Mbak Ayun, Kak Reza Nufa—sesepuh Kampus Fiksi, Mbak Rara, Mbak Ghyna dan yang lain-lain.

Kak Reza langsung nodong, “Nama kamu siapa?”

“Sri Amalia.”

“Ooh—yang punya akun...…”

“Iya, Amaliah Black.”

Padahal saya maunya pura-pura nggak tahu aja. Soalnya saya juga mangkel sama ini orang-_-

Saya inget banget—dan mungkin dianya yang nggak inget. Suatu hari, saya pernah mention akun twitternya. Minta difollow balik. Eh, tapi dia malah bales, “Maaf, belum tertarik. Lain kali aja, ya.”

Dayumm. Belagu banget—mentang-mentang bukunya sudah banyak dan tulisannya sudah tersebar di mana-mana. Ya sudah. Saya mendadak patah hati jadinya, kan. <//////3

Dan.... satu-satunya cara mengobati luka di hati itu adalah langsung meng-unfollowing itu akun—wuekekek—terus bersumpah, suatu saat nanti saya bakal ikutan Kampus Fiksi juga sekalian pengin lihat orang yang namanya si nufa itu. Dendam kesumat pokoknyaaaa. Grrr.

Ooooh ternyata bentuk aslinya gini._.
Akhirnya cita-cita itu tercapai juga. Hoh. Saya ketemu langsung. Tanpa perantara. Dan seketika, saya membatin; kok ini anak nggak sesuai prediksi saya, sih?-_- Apa jangan-jangan orang di balik akun twitter itu sebetulnya alter ego Kak Reza? Wah, butuh penelitian lebih lanjut, tampaknya.

Dan btw, kemarin saya coba follow dia (lagi) dan mention minta difollow balik (lagi). Kalau misalkan nggak difollow juga, bakal saya block beneran, nih. Saya mendeklarasikan sumpah itu sepulangnya dari asrama KF. :"V

Eeh—syukur Alhamdulillah, ternyata Kak Reza sudah sadar, dan memfollow saya juga pada akhirnya. Hurrayy!:’) *tumpengan*

Aktivitas Kampus Fiksi Dimulaaai!
Pukul setengah delapan malam. Ternyata masih ada peserta yang belum tiba di asrama. Septian asal Madiun dan Pak Firman asal Padang.

Saya sontak terkesima pas tahu ada dedek ganteng ikutan Kampus Fiksi juga. Namanya Iqbal. Objek hiburan para peserta cewek yang dominan sudah pada bangkotan. Ngahahaha.


Ahh~ siluetnya aja cakep begini~~~
Nah… yang paling spesial, angkatan 14 ini nyatanya diikutin sama salah satu artis Indonesia yang tersohor itu. Mas Agus Mulyadi namanya. Cowok dengan ideologi nasionalisme itu sudah menelurkan satu judul buku; “Jomblo tapi Hafal Pancasila”. Wah pokoknya cocok diangkat jadi Pahlawan Revolusioner sebagai pembela kaum jomblois!

Hai, Mas Gusmuuulll!*-*)/
Yak. Materi pertama pun dibuka tepat pada Jumat malam (30 Oktober). Diawali dengan brainstorming yang  dipandu oleh Mbak Rina, dan diikuti dengan presentasi ide-ide buat pelatihan menulis esok harinya.

Tema yang diambil yakni  ‘Adaptasi Babak dalam Novel yang Pernah Dibaca’ dengan beberapa perubahan di bagian endingnya. Bebas, apa pun itu. Yang penting penulisnya terkenal.

Lalu dengan gobloknya saya menyebutkan Empat Besar karya Agatha Christie. Huwalah.

Kemudian, susunan acara di hari Sabtu (31 Oktober) dibuka oleh Pak Bos Edi. Teknik-teknik menulis pun dipaparkan yang sesekali di sana terselip beberapa wejangan yang ngena banget!

Pak Bos Edi lagi menjelaskan bagaimana caranya agar bisa jadi penulis yang bojoable. :D
Lanjut ke materi berikutnya, saya mendadak kelabakan sendiri. Mengubah ending dari susunan plot-plot misteri bukan perkara gampang. Pakai ceritanya Agatha Christie pula! Asal tahu aja, waktu tiga jam bahkan nggak bisa bikin saya tenang. Justru semakin frustasi. Untung sudah disediakan banyak camilan, jadi seenggaknya emosi saya teredam ke dalam perut.

Muka lelah:"
Sesuai dugaan. Saya nggak bisa menuntaskan tulisan saya sendiri. Tepat ketika saya mencapai ke bagian klimaks, eh waktunya habis. Duh, gimana nggak senewen sayanya.

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Proses Interaksi yang Singkat
Entah lantaran punya passion yang sama, atau Tuhan memang mengirimkan mereka buat masuk ke dalam hidup ini, saya praktis merasa nyambung sama orang-orang yang hadir di sana. Tanpa perlu lama-lama beradaptasi. Tanpa perlu malu-malu bicara soal apa pun. Incredibly awesome!

Hubungan saya bersama peserta lain bisa langsung terjalin sedemikian cepat. Padahal, saya tipe orang yang sedikit kikuk kalau sudah bertemu sama orang yang belum dikenal, dan butuh banyak waktu untuk bisa akrab sama orang tersebut. Tapi, hal itu nggak berlaku sesampainya saya di gedung Kampus Fiksi. Serta-merta saya merasakan kenyamanan saat ngobrol dan curhat-curhatan bareng mereka. Nggak ada istilah rikuh atau apa pun. They’re like blood in my veins.

Dan kami pun akraaabb~
Seperti sahabat lama yang dipertemukan kembali. Dengan bebasnya saya bisa menuangkan pikiran, keluhan juga selorohan-selorohan garing ke mereka. Sekali lagi; tanpa perlu malu-malu. Sesuatu yang paling malas saya lakukan ketika berada dalam sistem perkuliahan selama ini. Karena di kampus formal, nggak ada manusia yang bisa menimpali apa yang saya bicarakan. Semuanya pada sibuk ngurusin Farhat Abbas sama Regina. ;__;


Saling buka-bukaan aib. *lho
Nggak ada aturan ketat. Norma yang mengintimidasi. Atau tekanan-tekanan mental di Kampus Fiksi. Semuanya bergerak dinamis. Saling menyesuaikan. Saling menghargai. Nggak ada istilah kaum marjinal maupun periferal.  Semuanya selaras.

I found family, i found hope, i found love!

Dalam waktu tiga hari saya sanggup berinteraksi dengan santai bareng peserta lainnya tanpa perlu menimbang-nimbang; Mas Agus, Mas Tarom, Annisa, Mbak Dwi, Mbak Elsa, Mbak Erin, Mbak Fatyana, Pak Firman, Mbak Frilla, Mas Ibnu, Mas Getar, Mbak Latifah, Mei, Mbak Tika, Septian, Mbak Riri, Mas Syaiful, Mas Triher dan Mbak Datti. Bukan hanya sama mereka, alumni-alumni yang lain pun seakan berlapang dada menerima saya sebagai bagian dari mereka. Eaaak.

Hai. Mas Fahriiii"-")/

Terus ada Mas Fahri, alumnus Kampus Fiksi yang kuliah di Undip. Rada tersanjunglah pas dia ngaku suka sama tulisan saya di blog. Sering-sering kepoin blog saya, ya, Maaas. :D

Sempet-sempetin keluar untuk bertualang menembus rimba(?)
Materi-materi yang dipaparkan pun nggak membosankan, karena orang di kanan-kiri saya sama-sama sableng. Jadi bawaannya pengin ketawa mulu. Septian yang dewasa sebelum waktunya, dan Mbak Riri yang mejanya sudah kayak toserba._.

Diapit oleh dua orang yang sama depresinya. xD
Walaupun disuruh berjam-jam duduk mendengarkan materi, saya nggak pernah sampai ketiduran. Itu makhluk kanan-kiri bisa aja bikin saya melek lagi. Septian yang curhatannya suka aneh-aneh, sama Mbak Riri yang hobinya ngunyah terus.

Dan… yang mahapenting adalah; camilan di Kampus Fiksi yang nggak ada habisnya. Benar-benar surga duniaaaa. Apalah jadinya daku tanpa makanan:””

 Oh, ya. Selama interaksi itu juga, banyak yang nanya, “Kenapa, sih, dipanggil Black?”

Saya suka jawab, “Karena kulitku item.”

Eh mereka malah bilang, “Ih perasaan enggak, kok.”

-_-

Maunya tak ceritain asal-usul nama Black, tapi enggak jadi, deh. Nggak misterius lagi nantinya. He-he.

Fyi, peserta di angkatan 14 ini ternyata kebanyakan mahasiswa/mahasiswi semester atas, fresh graduate, bahkan ada yang sudah berumah tangga. Bayangkan!!._.

Jadi, pas mereka lagi sibuk ngomong masalah KKN, studi tur, skripsi dan proposal, saya cuma bisa diam menyimak. Mendadak saya merasa jadi anak bawang di sana. ;_; 

Tapi, fakta-fakta tersebut bikin saya bersyukur, sebab saya bisa banyak belajar dari mereka. Punya vision gimana supaya bisa melewati tahap-tahap tersebut. Menata langkah-langkah yang bakal saya pakai untuk menghadapi semuanya. I love those dudes, that’s why!

Yaaa—sulit rasanya buat memaparkan seluruh kisah dan adegan yang saya alami selama berada di Kampus Fiksi angkatan 14 dalam tulisan kayak gini.

Pokoknya; worth the wait - worth the risk.

Kampus Fiksi Pasti Kenyaaaaang! :9 


Jogja, 04 November 2015
-oOo-

-Kemungkinan Bersambung-



You Might Also Like

8 komentar

  1. Sukaaaa deh. Aku belum nulis. Dan masih penasaran kenapa 'Black'?

    BalasHapus
  2. Waduh._. panjang ceritanya, mbak. Latar belakangnya tragis banget. Semacam kenangan pahit itu. Muahaha.

    BalasHapus
  3. luwar biyassaahh, black!
    aku belom nulis, pas habis baca ini jadi langsung pengen nulis. Doakan cepat kelar. hahaha. btw, sampe tgl 4 Nov ini masih di Jogjes neng? nginep di mane? wah...

    BalasHapus
  4. @Mbak Farrah: Akunya nggak disapa, mbak?:"""

    @Mas Ibnu: Ini udah otw balik, kok:" Mas Ibnu bikin juga doooonggg!

    @Mas Wawan sama Mbak Devy: Buka akun souncloud punyaku aja, Mas-Mbak. Kali aja kan kangen denger suaraku. :p

    BalasHapus