HUJAN
(Oleh: Amaliah Black)
Hujan begitu deras. Bahkan halilintar yang menyela terbahak seperti
mengirimkan gempa bumi ke sekujur kamarku. Seraya melenguh ngantuk, aku kian meringkuk di atas kasur sembari menarik selimut tebal hingga melingkupi seluruh tubuh. Berharap gelombang hangat akan segera menyusup masuk sampai ke dasar lapisan kulit.
Sebuah ketukan tahu-tahu menggema. Barangkali bunyi
kletak-kletik air hujan di jendela, pikirku.
Namun bunyi itu terdengar bertubi-tubi.
Lagi. Dan lagi.
Aku menyentakkan sepasang mata untuk membuka. Mengutuki
siapa pun yang telah mengganggu ritual sakral yang wajib kulakukan setiap hujan
turun, yakni tidur.
Keadaan ruangan memang gelap. Hanya sabetan kilat yang sesekali
berkelebat di ventilasi jendela kamar, memantulkan siluet tubuhku yang bergerak
bangkit di tiap sisi dinding.
“Ada apa, sih, ketok-ketok?” sungutku seraya mengusap mata,
dan suaraku seolah tertelan begitu saja oleh deru hujan.
“Tolong, buka pintunya dulu, Mas. Di luar dingin.” Anak
kecil itu bernama Gita. Usianya enam tahun. Dan nakalnya minta ampun. Lalu, sore ini dia sudah berdiri di depan jendela kamarku dengan basah kuyup. Memohon-mohon dalam intonasinya yang minta dikasihani. Tangannya pun terus mengetuki kaca
jendela.
Huh. Aku tahu, pasti hari ini ibunya sedang ngamuk besar
sehingga dengan nekatnya dia menembus hujan untuk meminta perlindungan padaku.
“Makanya, jangan bandel.”
Masih dengan sikap tak acuh, aku mengenakan kembali celana panjangku sambil
ngomel-ngomel. Samar-samar, kuperhatikan tubuh Gita yang menggigil hanya bergeming di depan jendela, tidak lagi mengayun-ayunkan kepalan mungilnya.
Belum sempat aku menyalakan lampu dan membuka pintu, sebuah dering seketika menyambar.
Belum sempat aku menyalakan lampu dan membuka pintu, sebuah dering seketika menyambar.
“Mas Olan,” suara berat serta-merta
menguar dari dalam speaker ponsel.
Separuh tergagap. “Barusan… Gita meninggal tersambar petir.”
Jantungku seperti rontok ke bawah. Sepasang mataku spontan
membeliak sempurna seakan sesuatu tengah menonjok perutku. Cepat, kuputar
kepalaku ke arah jendela.
Kosong.
- FIN -
0 komentar