Agama dalam Fitrah
Manusia
(Oleh: Amaliah Black)
"Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tataplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Q.S. Ar-Ruum (30) ayat 30]
Google Images |
Fitrah tidak
lain merupakan dasar penciptaan manusia yang tidak dapat berubah. Hukumnya
mutlak dan tak bisa diganggu gugat. Hakikatnya, eksistensi seorang manusia baru
akan diakui apabila fitrah itu sudah dimiliki secara utuh. Fitrah tersebut
telah diberikan kepada manusia jauh sebelum menjadi segumpal daging, salah
satunya yakni fitrah keagamaan.
Melihat dari
evolusi sejarah, agama sebetulnya telah ada dan sama tuanya dengan umur planet
Bumi. Seperti yang tersirat dalam firman-firman Allah di Al-Qur’an,
sesungguhnya Adam diciptakan sebagai pembuktian bahwa Tuhan itu wujud dan Maha
Kuasa. Sudah dijelaskan dalam ayat berikut;
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan.)" [Q.S. Al-A’raf
(7) ayat 172]
Maka, atas
tuntunan kewahyuan itulah agama kemudian diperkenalkan seiring Adam dan Hawa
yang diturunkan ke Bumi—beberapa saat pasca-terbentuknya semesta alam.
Secara
kontekstual, agama didefinisikan sebagai sebuah koleksi terorganisir dari
kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan
tatanan perintah kehidupan. (Wikipedia.id)
Sebagai sistem
yang mengorganisir perilaku, etika, dan orientasi kehidupan, bisa dikatakan
bahwa agama tidak berbeda dari sebuah ideologi. Aliran yang menjadi panduan, instruksi,
dan fondasi beserta tiang-tiangnya yang harus ada dalam diri manusia selaku
bangunan pokok. Dan pada akhirnya, agama lantas diartikan sebagai jalan hidup,
yaitu dengan cara menghambakan diri kepada sesuatu yang dianggap luar biasa. Sesuatu
yang luar biasa inilah yang kerap kita sebut Tuhan.
Bicara soal
agama, akan selalu ada pergesekan yang sanggup melahirkan sentimen-sentimen dari
berbagai lapisan. Padahal, apabila diperhatikan melalui aspek teologis, agama
merupakan wadah yang menjadi pemersatu umat manusia di seluruh dunia. Sebagai
sumber kedamaian yang tentunya mengajarkan kebajikan. Juga sebagai bentuk
fitrah manusia dalam menafsirkan makna kehidupan yang hakiki.
Berangkat dari
gagasan di atas, Emile Durkheim pun hadir dengan menyumbangkan pemikirannya
yang menegaskan bahwa agama dapat memunculkan moralitas.
Lalu, satu
pertanyaan fundamental yang sudah seharusnya kita renungkan;
Sudah
berhasilkah agama dalam menjalankan perannya?
Sebagai sesuatu
yang menjanjikan keharmonisan, agama kini justru dipelintir. Bahkan tak sedikit
orang-orang mulai menyalahkan agama atas kekacauan yang terjadi di muka bumi.
Sehingga doktrin yang mengatakan bahwa agamalah penyebab utama atas tindakan
kekerasan sukses melahirkan ateis lebih banyak
dari aliran pemikiran filsafat mana pun.
Ingersoll,
ateis Amerika yang terkenal itu pun menjelaskan, “That one word, ‘religion’ covers all the horizon of memory with
visions of war, of outrage, of persecution, of tyranny, and death.” –satu
kata, ‘agama’ mencakup cakrawala memori dengan pandangan akan perang,
kebiadaban, penganiayaan, tirani, dan kematian.
Setelahnya, para ateis internasional mulai mengumpulkan
setumpuk data tentang keterlibatan agama dalam berbagai peperangan dalam
sejarah. Richard Dawkins membagi bab-bab dalam bukunya, god is not great
(semuanya dengan huruf kecil) berdasarkan kontribusi setiap agama pada
pembunuhan, peperangan, dan kekejaman.
Pemikiran-pemikiran
itu malah terdengar lucu di telinga. Sebab, sejatinya manusia berjalan di muka
bumi dengan beragam bentuk. Beragam watak. Serta beragam kepentingan. Apabila hanya
agama yang menjadi satu-satunya kambinghitam lantas komponen-komponen lain
dinafikan begitu saja, tentu ini naïf sekali.
Bisa dikatakan,
kerancuan konseptual akan agama inilah yang menjadi akar permasalahannya. Pernyataan
“agama menyebabkan kekerasan” sesungguhnya
bukanlah wacana ilmiah yang dapat diverifikasi. Pernyataan ini adalah wacana
ideologis. Wacana yang memposisikan Barat sebagai lawan dari bukan-Barat,
antara “the West and the rest”. Seperti kata Samuel Huntington; antara
rasionalitas dan irasionalitas, antara modernitas dan pramodernitas, antara
sekular dan religius, antara perdamaian dan kekerasan.
Ideologi, dalam
bentuk apa pun, selalu mendistorsi realitas. Pertanyaan “Apakah agama
menimbulkan kekerasan?” adalah pertanyaan masalah ideologis dan… retoris. Untuk
mengubahnya menjadi pertanyaan ilmiah, kita harus meninggalkan konsep agama
yang elusif. Seperti yang disebutkan secara implisit di atas, konsep “agama”
terlalu abstrak sehingga tidak bisa dioperasionalisasikan.
Hingga pada
akhirnya, beberapa penganut agama yang merasa ‘menang’ kelak berduyun-duyun
menyimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi bukanlah soal agama. Melainkan
tentang manusia yang goyah iman. Yang rentan akan hasutan setan. Maka, paradigma
versi lain perlahan didengungkan; setan adalah sumber teror. Bukan lagi Islam,
ataupun agama lainnya. Tapi, setan.
Sungguh.
Arogansi yang melekat dalam pribadi umat manusia telah berada di ambang batas.
Dengan hipokrit, semua kehancuran yang terjadi serta-merta dilemparkan kepada
sesuatu selain dirinya. Kalau bukan akibat agama, ya setan. Padahal sudah
sering kita mendengar para ulama bicara tentang ayat-ayat Allah, dan salah
satunya adalah:
“Tidaklah Kuciptakan jin dan manusia kecuali
supaya mereka beribadah kepada-Ku.” [QS.
adz-Dzariyat: 56]
Maka dari itu, ketika
manusia mulai menyalahkan setan, bukankah artinya secara tidak langsung mereka
juga telah menyalahkan ciptaan Tuhan?
Dari sinilah
dapat dijumpai titik temu; fenomena yang sesungguhnya sedang berlangsung adalah
manusia yang masih setengah-setengah memahami fitrahnya. Kesucian, kepandaian, kesempurnaan, dan kemuliaan.
Keempat hal itu
bersumber dari pemikiran yang diciptakan Tuhan sebagai bekal manusia dalam
menjalani kehidupan. Seperti yang tertera dalam firman Allah berikut;
“Maka
apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta ialah hati yang ada di dalam dada.” [Qs. al-Ḥajj (22): 46]
Inilah
kesalahan besar yang menjadi biang dari segala kekisruhan. Manusia beragama
hanya untuk mengejar surga. Untuk mengejar pahala. Sebab manusia memeluk agama
lantaran takut dicap sebagai penghuni neraka, bukan karena mengerti akan esensi
utama dari penjalanan ritus-ritus agama itu sendiri—sholat, puasa, zakat dan
dzikir.
Manusia
cenderung berpendapat bahwa kebenaran yang mereka yakini itulah yang dianggap
agama—tanpa pernah berusaha mencari lewat sisi lain, tanpa pernah mencerna
lewat sistem yang lain, juga tanpa pernah berusaha menguaknya lewat tabir yang
lain. Padahal, sejatinya agama tidak melulu soal ayat-ayat kitab. Tidak selalu
tentang sabda-sabda rasul. Agama sesungguhnya adalah bentuk dari keterbukaan
hati dan pikiran. Agama adalah wujud dari kemanusiaan. Maka ketika manusia
mulai mengkafirkan eksistensi ideologi yang menurutnya tidak selaras, di
situlah peran agama patut dipertanyakan.
Khususnya Islam—yang
kerap disebut-sebut sebagai agama universal. Fleksibel. Dan tidak mengekang.
Tetapi, tak sedikit pula para penganutnya justru bersikap ekstrem sampai kemudian
timbullah stigma bahwa Islam adalah agama penuh teror.
Maka dari itu,
seperti yang pernah dikatakan R.A Kartini; “Agama memang menjauhkan kita dari
dosa. Tapi, berapa banya dosa yang kita perbuat atas nama agama?” [ ]
0 komentar