Harper's Bazaar |
Belakangan ini saya sedang
terobsesi dengan bedah kelamin, berharap ada semacam teknologi yang bisa mewujudkan
impian itu semudah memasang bulu mata tambahan di salon. Yang bisa
dilepas-pasang kapan pun saya mau. Sebab, beberapa kali saya berpikir, apa
rasanya punya batang penis di selangkangan yang tiap hari harus disekap di
balik ritsleting? Bagaimana rasanya harus berjuang menghadapi burung yang
tiba-tiba menegang ketika bangun tidur? Ngganjel,
nggak?
Kedengaran konyol, tapi saya
ingin tahu. He-he.
Usia saya genap 21 tahun pada
September lalu dan, bahkan sampai saat ini, saya belum pernah melakukan hal-hal
yang seharusnya sudah legal di umur segitu. Saya nggak pernah minum minuman beralkohol, saya nggak pernah pakai narkoba (karena nakalnya masih batas wajar), saya nggak pernah pacaran, saya nggak pernah ciuman, saya
nggak pernah mengeksplor adegan ranjang kecuali menggelundung di bawah selimut
sepanjang hari dan mengabaikan pesan-pesan yang masuk ke ponsel.
Saya cupu?
Atau saya sedang menerapkan
kehidupan yang syar’ie?
Halah, mb…
Apa pun istilahnya, secara
teoretik, saya tampak mahir dan banyak omong soal ini-itu-anu-ene, tapi
kenyataannya malah bullshit. Mirip
politikus yang sedang menggelar kampanye, dan sekarang saya sadar kenapa saya
tersesat di Fakultas Ilmu Sok Sial dan Ilmu Politik karena memang cocok—Tuhan Maha Tahu.
Pernah, ketika mengikuti basic training sebuah perhimpunan agama
Islam, seorang pembicara bertanya, “Di sini siapa cewek yang kepingin jadi
cowok?”
Saya tunjuk tangan.
Di antara sebelas perempuan yang
hadir, saya, yang tanpa sungkan-sungkan, mengangkat tangan. Orang-orang
seketika bengong—entah terkesima, entah mereka mengumpat dalam hati.
“Kamu kenapa mau jadi cowok?”
Saya jawab dengan enteng, “Pingin
aja.”
Pembicaranya ketawa. Sama-sama
perempuan, tapi di mata saya, dia tampak arogan. “Sesungguhnya, menjadi
perempuan itu mulia.”
LAH, TERUS KALO JADI LAKI-LAKI
ITU NGGAK MULIA, TAH?
Sejak itu saya terus menebak-nebak;
apakah Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan hanya untuk saling
mendominasi? Atau berlomba-lomba siapa yang lebih kuat? Atau soal siapa
mengalahkan siapa?
Bahkan saya sendiri pun
bingung, kenapa sih repot-repot mikirin itu?
Lalu, ada saatnya ketika hati
saya benar-benar tersentil dan sempat bikin saya overthinking karena ucapan seseorang yang bilang, “Ngobrol sama
kamu tuh nggak kayak ngobrol sama cewek.”
Saya nggak bisa memastikan apakah
itu pujian atau justru makian, yang jelas, yang ada dalam benak saya ketika itu
adalah; apa setelah ini dia merasa jadi homo hanya karena habis ngedate bareng Black-Yang-Enggak-Cewek ini?
Nggak ada yang tahu.
Saya pun tetap nggak ngerti,
bagaimana menjadi cewek yang baik dan benar itu? Saya sudah belajar pakai
gincu, pensil alis, maskara dan segala macam produk kapitalis lain hanya untuk
merasakan gimana rasanya jadi perempuan yang paripurna. Keadaan delinkuensi ini
sering bikin saya resah dan mulai mengkritik diri sendiri.
Tapi tetap saja, saya selalu merasa
gagal karena ujung-ujungnya saya tetap nggak bisa duduk lama-lama menunggu
dengan gaya lemah gemulai dan suara halus selembut sutra. Dari situ saya
berpikir; mungkin saya memang nggak ditakdirkan jadi istri siapa pun.
Saya mencoba menerima nasib itu,
dan sesuai kata Wilhelm Wundt, bahwa hubungan erat antara dua tanggapan
menyebabkan terseretnya tanggapan yang satu oleh tanggapan lainnya di dalam pemikiran
itu, jadi saya berpikir kalau eksistensi saya sebagai cewek ini, bisa dikatakan, cukup
eksperimental. Saya, secara nggak sadar, mulai menjelajah ke wilayah yang
jarang disentuh cewek-cewek kebanyakan.
Karena dari kecil, saya cukup
sering bergaul bareng cowok dan kebanyakan yang naksir saya juga berasal dari
cowok-cowok yang butuh perlindungan. Sampai-sampai saya sering bilang, “Panggil
aku Ayah!”
Apakah tingkah laku ini
mengintimidasi para laki-laki ‘maskulin’ di luar sana?
Because I’m NOT everyone’s favorite gal.
Bahkan ketika ada yang menyenggol
sisi feminine saya lalu memuji, “Kamu cantik. Kamu manis. Dan lain-lain,” saya
justru heran. Itu ledekan? Sindiran?
Dan.. oh. Akhir-akhir ini saya
sedang mempelajari kasus pemerkosaan lewat perspektif pelaku. Pemerkosaan,
nyatanya, nggak cuma dilakukan oleh laki-laki. Ada banyak perempuan yang senang
bermain liar dan, secara agresif, memaksa laki-lakinya untuk melayani mereka
(tapi, sayangnya, keadaan ini nggak pernah dianggap pemerkosaan).
Pada suatu wawancara, Aileen
Wuornos, seorang pelacur merangkap pembunuh berantai mengatakan pada media, “I robbed them, and I killed them as cold as
ice, and I would do it again, and I know I would kill another person because I’ve
hated humans for a long time.”
Ungkapan itu mewakili kenyataan
bahwa perempuan, secara biologis, bukanlah makhluk inferior yang gampang
ditindas. Mereka bisa menjadi setajam pisau cukur atau semematikan revolver kaliber
44. Tetapi, entah kenapa, seorang peneliti Amsterdam malah mengatakan
sebaliknya; perempuan sering menjadi korban dan pihak laki-laki kebanyakan
berpikir bahwa mereka bisa memiliki perempuan dan bebas melakukan apa saja untuk
memenuhi nafsu seksualnya.
Padahal sebetulnya, pemerkosaan
bukan soal seks, bukan soal kelamin. Pemerkosaan adalah tentang superioritas
dan dominasi. Orang-orang memperkosa karena mereka merasa gagah dan berada di
atas korbannya. Mereka gembira ketika melihat mangsanya meringkuk takut dan
pasrah serupa kodok yang berhadapan dengan piton. Kelamin hanyalah senjata
pilihan, ketika kata-kata nggak mampu menundukkan lawannya, maka batang penis
menjadi andalan.
Beberapa kali saya berdiskusi
dengan cowok-cowok tentang bagaimana mereka menaklukkan cewek, mereka lantas
bilang, “First make her HA HA HA, then
make her AH AH AH.” Lelucon seksis, yang sayangnya, nggak bisa disangkal.
Banyak dari teman cewek yang terjebak dalam cengkeraman cowok hanya karena
mereka pernah berhubungan badan.
Dan kenyataan itu semakin bikin
saya jijik.
Segampang itu menjadi perempuan?
Sejago itukah menjadi laki-laki?
Lagi-lagi saya pikir,
sesungguhnya permasalahan ini bukan cuma menyangkut organ reproduksi belaka,
melainkan tentang betapa piciknya persepsi masyarakat terhadap perilaku seksual itu sendiri. Apa
yang berkaitan dengan alat kelamin hanya identik dengan kumpulan cowok-cowok.
Wajar cowok nonton bokep.
Wajar cowok masturbasi.
Wajar cowok memperkosa.
Kewajaran-kewajaran yang
diskriminatif itulah yang justru memperbesar angka pemerkosaan atau bentuk
superioritas apa pun. Perempuan dilarang mengumpat, perempuan dilarang
mendiskusikan alat kelamin, perempuan dituntut menjaga sikap, perempuan diharuskan
berpakaian tertutup sementara cowok-cowok bisa berkeliaran dan membebaskan
penis mereka untuk memilih vagina mana yang enak dimasukin.
Taik banget, kan?
Jujur, saya kesal. Saya mangkel
sama dunia ini. Saya nggak bisa keluar pakai g-string doang karena katanya bisa
memancing pemerkosaan. Saya nggak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam kepala
saya secara verbal karena kerap dikomentarin, “Kamu tuh cewek. Kamu tuh nggak
boleh gini dan gini…”
Apa masalahnya?
Apa karena saya nggak punya titit
jadi saya dilarang bicara?
Apa karena saya punya vagina jadi
saya harus dituntut patuh macam kebo dicocok hidungnya?
Sejujurnya, permintaan saya nggak banyak; cukup perlakukan seorang manusia selayaknya manusia. Mau perempuan
atau laki-laki, kalau mereka berengsek, ya nggak usah dibela. Dunia ini sudah
kelewat rumit untuk diisi orang-orang jahat. Toh, katanya, di mata Tuhan, semua
sama.
Tapi di mata dia, kamu bukan
cewek, Black!
Fuq.