[CERPEN] Pertanyaan-Pertanyaan

Image result for time PAINTING ABSTRACT

Ini sudah gelas keempat dan dia kembali memesan segelas espresso single kepada pelayan yang kebetulan lewat. Sudah nyaris tiga jam dia menyudut di tepi jendela kaca raksasa yang membatasi ruangan pembuat donat dengan areal pengunjung yang penuh meja dan kursi kosong.

Pikirannya mulai berkelana sendiri, memikirkan banyak hal, diawali dengan pecahnya blitzkrieg sampai alasan mengapa negeri para dewa seperti Yunani bisa-bisanya mengalami pailit.

Sekilas matanya melirik pada barisan donat-donat yang baru saja dipanggang, perlahan-lahan bergulir melewati mesin panjang beroda yang entah apa namanya. Donat-donat itu kemudian dicelup ke dalam cairan manis yang tampak memuakkan. Berwarna-warni seperti dinding gedung-gedung Playgroup. Lantas perhatiannya melayang ke arah lain, dan tersadar bahwa sore sudah mulai tua. Padahal dia teringat pesan ayahnya yang bilang jangan pulang malam-malam. Anak gadis tidak baik dan tidak boleh keluyuran ketika hari sudah gelap, kata Ayah.

Dia pun tertawa kecil, menandaskan sisa kopinya dan berpikir bagaimana bisa dia bertahan hidup di tengah keluarga yang teramat seksis dan sedikit diskriminatif.

"Itu karena semata Ayah sayang padamu."

Ungkapan itu selalu dilemparkan secara tersirat bahkan terlalu gamblang sehingga dia merasa tidak lebih menyedihkan dari seekor kucing dalam karung.

Tiba-tiba seorang anak berlari-larian, lantas terjatuh tepat di bawah kaki si gadis, tapi sama sekali tidak menangis. Gadis itu kebingungan sendiri dan tak mengerti harus berbuat apa, dan sebelum mulutnya menuntaskan serangkaian abjad, bocah kecil di kakinya keburu kabur tanpa menoleh lagi.

Ketika otaknya mencerna kejadian aneh itu (iya, gadis tersebut kaget karena baru kali ini menemui seorang bocah yang jatuh tanpa menangis), mendadak dia teringat pada keberadaan kunci motornya.

Di mana?

Di mana?

Dengan hati mencelus, dia mulai mengaduk isi tas, dan langsung lega ketika menemui serenceng benda logam yang tersemat di sebuah tali benang berulir. Kondisi itu selalu dialami setiap kali dia beraktivitas sebab belakangan ini kekuatan kognitifnya agak terganggu. Dia menjadi pelupa, terkadang linglung dan tak ingat apa pun. Entah karena umurnya yang semakin tua, atau hanya karena efek obat antidepresan yang sempat dia telan.

Langit kian remang, dan seharusnya dia pulang. Tapi kenyataannya dia masih mengetik tulisan di blog, bercerita panjang tentang segala hal yang dia takutkan. Pertanyaan-pertanyaan yang kerap membuatnya terjaga setiap lewat tengah malam.

Mengapa dia menderita?

Mengapa dia selalu takut?

Mengapa dia selalu curiga?

Bagaimana kalau orang-orang yang sedang menyesap kopi di sebelahnya adalah buronan?

Mengapa laki-laki suka memerhatikan bokong dan belahan dada?

Mengapa dia harus jatuh cinta sementara dia tak pernah berani mengatakannya?

Semua peertanyaan yang tertancap pada dinding pertahanannya itu seakan menjadi hiasan abadi di sana, melahirkan relief dan retakan-retakan yang tak pernah bisa dia tutupi sampai kapan pun.

Waktu pun lambat-lambat menunjukkan pukul enam sore, tangannya menjadi dingin akibat suhu udara yang menurun, dan baterai laptopnya nyaris menemui garis merah.

"Aku harus pulang," desisnya kepada diri sendiri, lalu meraup segala benda yang berserak di atas meja dan bergegas keluar.

You Might Also Like

0 komentar