Prisoner

Tulisan ini dibuat dalam rangka terapi psikologis dan tolong, 
saya nggak perlu dikasihani. Bhahah.

Image result for abstract painting sad
google images

Sun is up, i'm a mess

Gotta get out now, gotta run from this

Here comes a shame, here comes a shame...

~oOo~

Saya nggak tau sejak kapan iblis-iblis itu berjejalan dalam kepala. Setiap malam, mereka mulai melakukan serangan telak, dan beberapa kali saya nyaris lepas kontrol. Hanya saja kejadian mengerikan itu berlangsung dalam waktu beberapa jam, tepat ketika saya seorang diri. With nobody to talk to. Iblis itu tertawa, dan terus menertawakan saya, sekaligus menghasut untuk melakukan sesuatu yang berbahaya. Entah sudah malam keberapa saya mengalami kegilaan yang sulit dimengerti.

Sehari-hari, saya menjalani hidup selayaknya manusia normal yang sehat. Ngumpul bareng teman, mengerjakan tugas kuliah, menghadiri undangan dalam acara-acara Ormawa, dan bicara seperti orang biasa. Sampai teman-teman saya pun mengira kalo saya ini sosok yang nggak banyak beban, woles, mampu mengerjakan apa pun seorang diri, dan bisa diandalkan.

Tentu kesemuanya adalah tuntutan sosial. Sedari kecil saya sudah dididik untuk berdiri sendiri dan menjadi risk-taker. Kata Ibu, "Lebih baik memberi ketimbang meminta-minta."

Dan kondisi ini sepertinya terpicu oleh kehidupan saya semasa SMA. Terasingkan, terpojok, dan diludahi. Saya nggak tahu persisnya giman cara saya bertahan bahkan sampai lulus dan masuk predikat siswa lima besar berdasarkan nilai akhir di ijazah. Yang jelas, tekanan-tekanan yang merundung saat itu ternyata mempunyai efek jangka panjang. 

Ketika itu, beberapa teman memilih untuk menjauhi saya yang sedang bermasalah--i was used to it though. Saya yang angkuh ini merasa hebat dan berpikir sanggup menjalani semuanya tanpa bantuan siapa pun. Hanya segelintir orang yang menaruh simpati dan memperlakukan saya sebagai 'manusia'. 

Cz i'm a pig.

Tapi saya nggak pernah merasa separno ini sewaktu SMA yang nyatanya punya stressor lebih tinggi ketimbang sekarang. Padahal ketika itu, saya bisa mendengar orang-orang bergunjing tentang saya, mencampakkan saya, dan puncaknya saya dipermalukan di tengah lapangan ketika Upacara Hari Senin. Dan seharusnya saat itulah saya merasa terpuruk, but otherwise saya justru bertahan ketika peluru-peluru yang dilancarkan mereka tepat mengenai saya. 

Kalo mau bilang, SMA adalah masa paling bejat dan, yah, over dramatic

Celakanya, persis konsumen bakso borax, hal-hal itu baru bisa memberi efek sekitar satu sampai dua tahun ke depan. And here i go...

Ada perubahan yang drastis, yang barangkali membuat saya sedikit terkejut. Amaliah Black di SMA jauh berbeda dari Amaliah Black sekarang.

Setelah bertahun-tahun dianggap hama, akhirnya roda kehidupan berputar ke arah langit. Amaliah Black bukan lagi anak kemarin sore.

Bahkan beberapa senior di SMA, ketika ketemu saya, sedikit menggumamkan sesuatu dan seolah mau bilang, "Black? Black yang kacau itu?"

Yah, i would like to say yes.

Semua berubah dalam satu kedipan mata.

Kalo ada seseorang yang mengetahui jejak masa lalu saya, sudah sewajarnya mereka kaget akan perubahan itu. Nggak ada lagi Black yang diludahi, nggak ada lagi Black yang dicaci maki, seolah memperkuat pernyataan bahwa Black yang dulu sudah lama mati.

Peristiwa itu mengubah warna saya yang semula cuma abu-abu menjadi lebih gelap.

Jujur, masa kuliah adalah masa paling menyenangkan mengingat saya nggak perlu kena teror dan hidup dalam kewaspadaan seperti sebelumnya. Semestinya saya bersyukur karena saya berhasil keluar dari balik jeruji. Menjelma Black yang selalu jadi pusat, yang tampak outgoing, hiperaktif dan penuh empati. Saya tertawa ketika orang-orang menilai saya begitu.

You know nothing, but thanks anyway.

Saya lega mendengar tanggapan-tanggapan mereka. Saya senang ketika orang mulai berasumsi dan menarik kesimpulan sendiri.

Karena pada dasarnya, mereka hanya melihat seperlima bagian dari diri saya secara keseluruhan. Saya sengaja memperalat keunggulan itu demi merawat lingkaran pertemanan. Saya juga nggak suka mengeluhkan sesuatu yang menyiksa saya, sebab saya mengerti, semua orang juga punya masalah. Dan nggak semua orang bisa bertoleransi pada tipe manusia pengeluh. Iya, kan?

Kemudian, di suatu malam, saya terjaga seorang diri di dalam kos yang sepi. Jantung saya berdebar kencang sampai saya pikir bakal meletus malam itu juga. Kaki saya gemetar dan seluruh saraf di tubuh menjadi kebas. Di situlah saya merasakan agitasi yang cukup berbahaya. Lalu saya mencoba menahan napas sepanjang lima menit, dan saya nggak cukup tangguh untuk bertahan di menit selanjutnya.

Mendadak perut saya mual. 

Pukul dua pagi, dan saya berharap matahari cepat datang agar saya bisa selamat dari kegilaan di malam itu.

Dengan tubuh bergetar, saya mengemasi pakaian, buru-buru bersalin pakaian tanpa sempat mandi, lalu duduk meringkuk di depan jam weker yang bergerak sangat lamban.

"Bertahanlah, bertahanlah, bertahanlah..."

Saya nggak bisa menelepon siapa pun. Saya nggak mau ketidakwarasan ini menjadi kekhawatiran yang baru. Biar saya aja yang menyelesaikan. Saya bisa, dan saya kuat.

Sampai akhirnya saya nggak tidur semalam suntuk, dan ketika langit sudah mulai cerah meski udara tetap terasa dingin, buru-buru saya mengambil backpack yang berisi pakaian dan mencari kendaraan yang sekiranya bisa membawa saya pulang.

Nyaris saja saya kehilangan kontrol.

Dengan nekat, subuh-subuh saya memanjat pintu gerbang belakang yang masih tutup, dan segera menyetop bus yang kebetulan lewat. 

Saat itu, satu-satunya yang sanggup menjadi distraksi adalah lampu jalanan yang masih menyala. Saya menyukai sinar-sinar lampu yang menyembul di balik kegelapan. Seperti bintang. Seperti purnama.

Sejak itu, saya mengalami kesulitan untuk percaya. Beberapa orang mengatakan saya trauma, mungkin ya mungkin enggak. Yang jelas saya selalu menaruh curiga pada mereka yang baik terhadap saya. Bukan sesuatu yang bagus, dan semakin saya menampik kecurigaan itu, saya merasa semakin tersudut. Saya nggak cukup kuat bertarung melawan iblis dalam kepala. Saya benci ketika iblis itu mengorek-ngorek isi otak.

Untuk itu, perlahan saya memberi jarak pada siapa pun, dan saya semakin depresif. Ketakutan-ketakutan akan sesuatu yang belum tentu terjadi itu semakin merongrong. Serangan panik dan keinginan untuk lompat dari balkon menjadi semacam dorongan yang mengerikan. Saya harus berjuang sendiri, sebab nggak ada seorang pun yang tahu.

Sebab nggak ada orang yang bisa mengerti.

Sebab saya sudah terpenjara dalam pikiran saya.

Sebab saya tahu, ada banyak stigma yang telah dirancang untuk membunuh saya.

Seperti yang saya duga, "Nobody is really being a normal. Some are good at hiding."

Jadi katakanlah saya munafik, hipokrit dan tinggi hati, karena saya berhasil mengelabui siapa pun. Bahkan keluarga terdekat saya percaya kalau saya baik-baik aja.

That's perfectly fine so i don't owe you anything.

Saya berjuang setiap malam, menyeret tubuh yang kelelahan sehabis bertengkar dengan iblis itu, dan baru bisa tertidur menjelang Subuh.

Sudah banyak yang saya lakukan seperti apa yang disarankan orang-orang; olahraga, ibadah, meditasi, keluar jalan-jalan. Kesemuanya memang ampuh mengatasi kegilaan itu, tapi sifatnya hanya sementara, karena di malam berikut saya harus kembali mempersiapkan kekuatan yang baru untuk melawan musuh-musuh tak kasat mata.

Saya benci untuk menjelaskan panjang lebar kepada orang, kepada teman-teman, kepada ayah atau ibu, karena saya yakin tanggapan yang diberikan mereka hanya akan memperburuk keadaan.

Ketidakpercayaan itulah yang semakin menggerogoti jiwa. Saya nggak bisa berdamai dengan isi kepala dan hati. Mereka selalu bersitegang dan mendadak saya kehilangan minat untuk melakukan apa pun, and it disgusts me. Mendadak saya membenci diri sendiri karena selalu kalah dalam perseteruan itu.

Hari-hari berlanjut, menit demi menit terlewati, dan buntutnya menjadi kacau.

Saya nggak pernah tahu bahwa simtom ini bisa diperiksa lewat cara medis. Saya pikir, penderitaan yang saya alami dua tahun belakangan ini hanya sebentuk depresi yang biasa dialami manusia, terutama dalam masa-masa reses.

Saya pikir hanya depresi biasa.

Saya nggak mengerti, kenapa saya selalu dihantui oleh perasaan menyedihkan. Nggak berharga dan nggak layak hidup. Saya nggak tahu apa motivasi saya berpikir seperti itu. Saya nggak tahu siapa sebenarnya yang mengatur kepala saya. Saya merasa ada sesuatu yang lain, yang justru bertolak belakang dengan saya di tengah keramaian.

Saya selalu cemas, khawatir, dan kadang hilang kendali.

Kondisi kejiwaan yang seperti itu kerap membuat saya jadi target kejahatan. Entah bagaimana, saya baru sadar ketika tahu saya sedang kecopetan, dan mendadak linglung. Padahal sejauh yang saya kira, saya cukup pandai memperhatikan detail, tapi kala itu saya tiba-tiba hilang konsentrasi dan nggak pernah tahu bagaimana caranya copet itu beraksi.

Begitu pun saya ketika berinteraksi. Suatu saat saya akan muncul dan bicara terus menerus, suatu saat yang lain, saya akan menarik diri, menghilang dan merasakan kebencian yang kian menumpuk. Itu sebabnya mengapa hubungan-hubungan yang coba saya jalin pada akhirnya akan kusut dan berantakan.

Saya nggak pernah bisa memahami diri sendiri.

Setelah sekian lama menimbang-nimbang dan hari Rabu kemarin yang cuma diisi dengan lesu dan sedih, saya berusaha mencari jalan keluar. Seenggaknya saya bisa tahu bagaimana keadaan psikis saya selama ini.

Sampai di malam itu, saya kembali terjaga. Saya merasa hati saya sudah melesak ke lubang hitam dan terasa menyakitkan. Saya nggak tahu apa yang saya takutkan, saya nggak ngerti apa yang bikin saya repot-repot cemas. Saya nggak paham dan hilang ide untuk mencari benang merahnya,

Meski saya tahu saya nggak punya masalah serius, dada saya menjadi penuh dan sesak. Saya terpaksa menangis tanpa alasan jelas dan seketika saya merasa nggak lebih menyedihkan dari keledai yang disembelih tuannya,

Kantong mata yang semakin membengkak, bibir yang kering dan pecah-pecah, semuanya membuat saya ngeri ketika menghadap cermin.

"Kamu butuh berobat, Black."

Kembali lagi saya di persimpangan jalan, membuat keputusan; berobat atau tetap membiarkan gelombang itu menenggelamkan saya sampai penghabisan.

Waham itu makin menjadi. Saya merasa benci dengan manusia-manusia yang lewat di depan mata. Tak terkecuali ibu. Saya ingin membunuh hanya untuk membuat saya lega, tetapi ada sesuatu yang lain yang justru menahan saya untuk nggak bertindak ceroboh.

"Oke, kamu butuh berobat, Black."

And i managed to do such things.

Awalnya saya hanya berniat minta konseling di klinik terdekat, tetapi yang didapat adalah surat rujukan ke rumah sakit jiwa untuk ditindaklanjuti. Segitu parahkah? saya bertanya pada dokter itu, lalu selembar surat disodorkan ke arah saya.

Bipolar Affective Disorder

Saya tertegun ketika mengetahui hasil diagnosanya. Ada perasaan geli sekaligus miris. Masa sih? tanya saya separuh nggak percaya. Jadi yang selama ini saya rasakan adalah gangguan jiwa?

Saya berharap diagnosa itu bercanda, dan yakin kalau psikiater di rumah sakit lebih jeli dalam mendiagnosis keadaan saya.

Nggak.

Semua itu kenyataan dan bukan produk imajinasi seperti tokoh-tokoh yang saya ciptakan. Saya yang mengalaminya langsung, dan saya yang melihat psikiater itu menulis Skizoafektif 1 dan beliau memberi saya resep antidepressan dan mood stabilizer supaya bisa lebih terkendali.

"Bisa sembuh," kata dokter itu dengan wajah ragu. "Tapi... lama."

Saya nggak pernah menyangka akan divonis penyakit itu. Penyakit yang jelas-jelas nggak banyak diketahui orang dan nggak bisa dimengerti karena memang bukan menyoal fisiologis. Saya nggak tahu harus ngapain selain menerima resep obat yang disodorkan.

Kendati pun, saya bersyukur karena semasa hidup ini, saya nggak pernah berusaha membahayakan hidup orang lain. Penyakit yang saya derita ini memang kambuhan, tapi dia akan datang ketika saya sendiri lalu melesap menjadi pengecut ketika saya mulai dikelilingi banyak orang. Sudah beberapa kali saya terselamatkan karena kehadiran orang-orang, meski saya sebetulnya benci manusia.

Setelah tahu apa yang saya derita, satu beban seolah lebur. Saya merasa sedikit lega karena sudah tahu dan masih diberi waktu untuk mengantisipasi gejala yang akan terjadi.

Sungguh, nggak ada seorang pun yang mau terpenjara dalam otaknya. Nggak ada satu pun yang ingin dilanda penyakit seperti ini, termasuk saya.

Dan beruntung pula saya bisa menyimpan cela itu, sehingga orang-orang tetap berpikir kalau saya memang baik-baik saja. Saya nggak berminat buat menarik simpati, dan saya nggak butuh dikasihani.

Saya hanya butuh orang-orang untuk diam dan menyaksikan sejenak. 

Saya cuma ingin manusia-manusia di luar sana belajar mencerna sebelum memberi komentar, 

Saya cuma perlu orang-orang berhenti menatap saya dengan iba dan;

Saya bisa pastikan bahwa saya akan tetap baik-baik, nggak peduli seberat apa keadaan yang harus saya kalahkan setiap malam. Dan sekali lagi saya ingatkan that i have a normal life. Yah, yah, saya tahu saya langka dan uniq~ jadi mengertilah, saya menulis ini bukan untuk membikin orang-orang bersimpati.


But yes, thank you for your concern anyway~


Amaliah Black

You Might Also Like

0 komentar