[ESAI(-ESAIAN)] Mencari Surga dengan Menikah

Image result for marriage abstract painting
Master of abstract art: 150th anniversary of Wassily Kandinsky's birth
“Marriage is a wonderful institution. But who wants to live in an institution?” 
—Groucho Marx

Seiring maraknya penggunaan media sosial, topik pernikahan muda di tengah obrolan remaja muslim yang berdesakkan memenuhi news feed, kian mirip hingar bingar musik diskotik menjelang subuh. Memupuk hasrat, menggairahkan, dan contagious.  

Perubahan zaman sepertinya punya andil besar dalam pergeseran perspektif menyoal pernikahan. Dulu, menikah muda cenderung dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan. Tapi lihatlah sekarang? Orang-orang kekinian justru memuja-muja pernikahan di usia dini.

Dari sebuah artikel di magadelene.co, saya mencoba menukil tulisan tersebut, yang—ironisnya—sebuah kebenaran:

“Energi masa muda yang seharusnya didedikasikan untuk perbaikan kualitas hidup diri sendiri dan orang lain, terserap habis dalam pusaran pencarian jodoh yang tak ada habisnya.”

Keresahan saya semakin menjadi manakala teman-teman sebaya, yang seharusnya menjadikan kematangan berpikir sebagai prioritas hidup, justru beranggapan bahwa satu-satunya jalan menuju kebahagiaan adalah menikah secepat mungkin. Terlepas apakah secara finansial mampu atau tidak, yang penting menikah dulu, kan rezeki tuhan yang ngatur, begitu kata mereka.

Saya jadi ingin ketawa.

Sebab konsep perkembangan menegaskan bahwa pernikahan dini akan membawa masalah psikologis yang besar di kemudian hari. Contohnya saja seperti perempuan muda yang hamil bakal lebih rentan terserang anemia, adanya tindakan kekerasan terhadap istri yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang, serta kesulitan ekonomi dalam rumah tangga.

Sejujurnya, saya bukan kaum yang menentang pernikahan. Bagi saya, hal itu jelas mengandung unsur legalitas, terlembaga, dan tidak cuma bisa dijadikan sebagai alat pelarian.

Tapi, beberapa kali saya menemukan pertanyaan tentang kemerdekaan seorang perempuan dalam sebuah lembaga pernikahan. Yang saya lihat, secara subjektif, masyarakat menginginkan seorang perempuan yang menikah sebagai sosok ‘makmum yang shalihah’. Besarnya tekanan terhadap seksualitas dan peranan gender dalam budaya patriarki seolah memberi isyarat bahwa perempuan tidak diciptakan untuk maju. Sehingga banyak sekali perempuan yang akhirnya terpinggirkan setelah menikah. Bahkan tak sedikit yang sengaja ‘menepi’ hanya karena tidak mau menghancurkan pernikahan yang sudah melembaga itu.

Sebelumnya, perlu saya katakan, tulisan ini bukan bermaksud mendiskreditkan kaum laki-laki. Hanya saja, saya berpikir, sudah berapa juta perempuan yang pada ujungnya merasa ‘terjebak’ dalam pernikahan, yang kemudian bertindak curang demi menuntaskan kesenangan dan kebebasan di masa muda yang kadung terhenti lantaran menikah.

Dalam kacamata patriarkal, perempuan adalah makhluk inferior. Saya tidak bisa sepenuhnya mengutuki kenyataan ini karena beberapa perempuan justru turut mendukung pelanggengan sudut pandang tersebut. Banyak dari mereka yang merasa lemah, ringkih, dan tidak berdaya tanpa iringan seorang (atau lebih) lelaki di sampingnya. Bagi saya, tingkah cewek-cewek cengeng ini jauh lebih lucu dari tayangan Srimulat.

Jadi, agaknya pembicaraan ini punya standar ganda dan rada paradoksikal. Sekali lagi, saya tidak bisa ujug-ujug menghujat masyarakat yang kebanyakan punya pola pikir bahwa perempuan adalah sosok yang fragile; rapuh, karena tidak jarang perempuan-perempuan itulah yang membatasi diri, yang secara tidak langsung, memberi pembuktian akan stereotip tersebut.

Sungguh besar jumlah perempuan yang, saya temui, merasa tidak percaya diri lantaran hidup tanpa pacar. Merasa minder ketika jalan sendiri, atau takut, atau merasa hilang harga hanya karena tidak ada lelaki yang mendekati, seolah-olah pencapaian terbesar yang wajib dimiliki seorang perempuan adalah punya pacar… punya suami.

Why, People?

Is this the real tragedy?

Itulah yang belakangan ini mengisi kepala saya sampai nyaris meledak. Segala yang saya lihat, semuanya tak jauh-jauh dari topik pernikahan dan jodoh.

Padahal kata mereka yang beragama, jodoh itu sudah dari awal dipersiapkan oleh tuhan. Lantas kenapa harus gelisah?

Saya pun kerap ngakak ketika mendapati poster atau brosur yang mempromosikan program nikah muda. Seperti contohnya seminar-seminar agamis yang mengusung tema lebih baik menikah ketimbang berzina, seakan menganggap sebuah pernikahan hanya bertujuan untuk memuaskan nafsu seksual belaka.  

Dengan menikah, cowok-cowok nda perlu coli lagi dan cewek-cewek bisa kapan pun minta diewe tanpa takut dosa.

Ugh. I didn’t mean to be rude. I’m just saying the ugly truth.

Tak sedikit, orang-orang dengan noraknya bertanya heran; kenapa perempuan secakep Ira Koesno belum menikah? Kenapa banyak wanita karier memilih melajang bahkan sampai di usia yang tidak lagi muda?

Kenapa?

Karena standar kehidupan tertinggi mereka bukanlah pernikahan. Ada banyak yang lebih esensial.

Ya, oke. Menikah adalah penyempurna agama, tapi sudah berapa banyak orang saling membunuh hanya karena sebuah pernikahan?

Dan di sinilah saya, sebagai saudara, mencoba mengingatkan:

Teruntuk yang bercita-cita menikah muda, think twice. Be not a dumbass when you start dealing with such relationship.

Teruntuk cewek-cewek yang cuma merenung memikirkan siapa imammu kelak, come on, your time is totally wasted. Keluar dan jadilah pahlawan buat dirimu sendiri. Sebab surga itu ditentukan oleh apa yang kamu perbuat, bukan apa yang lelakimu berikan. [ ]

You Might Also Like

0 komentar