Kilat
(Oleh: Amaliah Black)
Deretan bangsal rumah sakit yang kulewati tampak lengang. Seakan-akan tak pernah ada kehidupan sebelumnya di sana. Kedua tumit sepatuku terdengar mengetuk dalam ritme teratur, menggema ke setiap permukaan dinding dan susunan lantai marmer di sepanjang lorong itu. Lalu langkahku terhenti tepat di hadapan pintu berukir nomor 15 yang masih mengatup. Kuhela napasku sedalam mungkin sebelum akhirnya buku-buku jariku beradu dengan muka pintu, mengetuk sebanyak tiga kali.
“Raka,” suaraku memanggil,
setengah berteriak, “ini Mama, Sayang.”
Tidak ada sahutan, namun tetap saja
kubuka pintu yang tidak dikunci itu sampai akhirnya sepasang mataku bertumbuk
pada seorang bocah laki-laki yang duduk mengungkung di atas kasur.
“Hai,” aku menyapa begitu
tatapannya beralih ke wajahku.
“Kenapa datang lagi?” Raka
bertanya, ringkas—sekaligus dingin.
Untuk kesekian kalinya aku
menarik napas panjang. Sebisa mungkin kuulas selengkung senyum hangat,
mengaburkan segenap kenyataan yang terasa pedas di mata. “Mama punya kabar
baik,” aku berujar seraya beringsut ke dekatnya, “seminggu lagi setelah
perawatan, kamu sudah boleh pulang ke rumah.”
“Nggak,” serta merta Raka
menjawab, menepiskan tanganku yang hendak menyentuh puncak kepalanya, “aku
sudah betah di sini. Tempatku memang seharusnya di sini.”
Keningku kontan mengernyit. Bocah
empat belas tahun itu memang terlalu keras kepala. Demi mendistraksi keresahan
yang terasa menggunung di hati, kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Mataku
mendadak terpaku pada gambar-gambar serupa coretan anak TK yang ditempel
sembarang di samping jendela ruangan. “Raka, mulai sekarang... kamu jangan
gambar yang aneh-aneh lagi. Oke?”
Raka bangkit dari tempat tidurnya
lalu berjongkok, memasang kaos kakinya yang terserak di lantai. “Jangan
sekali-kali bersikap seolah-olah kamu adalah mamaku,” ujarnya, separuh
bergumam.
Aku tertawa, berharap bocah itu sekadar
berguyon. “Jangan ketus seperti itu, ah. Anak Mama jadi kelihatan jelek, tahu!”
“Aku bilang, kamu bukan mamaku!”
suara Raka meninggi, matanya pun kontan membeliak. “Mama sudah mati dan
itu sebabnya Papa mengirimku ke sini!”
Ucapan Raka meluncur bagai gembok
yang mengunci mulutku. Tubuhku memaku di tempat, mendadak kehilangan ide untuk
berbuat apa lagi. Cepat-cepat kucegah bulir yang terasa menggantung di ujung
mata. “Dengar, Raka,” aku melangkah menghampiri. Kutatap sepasang matanya
yang masih membundar, “Sekarang, aku sudah menjadi mamamu. Nggak ada yang perlu
kamu cemaskan lagi, karena—Mama... ada di sini...”
Perkataanku kontan terputus
ketika gelegar petir menyambar garang bersamaan cahaya kilat bagai aliran
listrik yang menyetrum bumi. Raka terlonjak, refleks memelukku. Kendati rinai
hujan deras terasa memenuhi indra pendengaran, tetap saja aku sanggup menangkap
bisikan yang keluar dari bibir Raka, “Mama... aku takut kilat.”
-oOo-
Nyaris satu jam aku membicarakan
keadaan Raka bersama psikiater yang tiga bulan terakhir merawatnya dengan
telaten. “Kondisinya sudah stabil. Sepertinya anak itu sudah mulai bisa menerima
keadaan. Dia hanya butuh waktu, pelan-pelan saja,” begitulah kira-kira yang
disampaikan sang psikiater padaku tadi.
Pagi itu, kembali aku mengunjungi
kamar rawat Raka, dan ternyata bocah itu tengah menekuri komik yang sampulnya
sudah mulai lusuh.
“Halo, Pangeran. Bagaimana tidur
malam tadi? Nyenyak?”
Bocah itu menatapku beberapa
jenak. “Aku melihat kilat,” desisnya dengan ekor mata terarah ke jendela, “di
sana.”
Aku turut mengalihkan perhatianku
ke kaca jendela yang masih berembun. “Apa semalam turun hujan?”
Raka menggeleng.
Pasti akibat sambaran petir siang kemarin, aku membatin,
beranggapan bahwa sejatinya Raka masih rentan terhadap hal-hal yang menakutkan.
“Kamu nggak percaya kalau semalam
ada kilat di jendela itu? Berkali-kali kilat itu terlihat dari sana, dan kamu
nggak percaya?” Raka bertanya, seolah mampu membaca pikiranku.
Aku tersenyum. “Bukan nggak percaya.
Tapi, memang semalam nggak ada hujan kan? Masa ada kilat?”
“Baik, aku memang gila,” Raka
berkata sembari memalingkan kepalanya ke arah lain, kembali dingin seperti
sediakala. “Semua yang kukatakan pasti bohong. Delusional, halusinasi,
irasional. Hah!”
“Cukup, Raka!” tak sengaja aku
membentak, membuat anak itu seketika diam. Baru saja aku hendak melanjutkan
ucapan, seorang suster dengan nampan berisi mangkuk-mangkuk memasuki ruangan.
Menginterupsi ketegangan yang sempat mengambang di udara.
-oOo-
Tak ada yang berubah pada
hari-hari berikutnya. Menjelang kepulangannya dari rumah sakit jiwa, Raka justru
tampak kukuh menceritakan kilat-kilat yang ia lihat melalui jendela. Aku mulai
muak, bosan. Kurasa anak itu butuh banyak obat anti-depresan untuk
menanggulangi semuanya.
Dengan kantung mata yang terasa
berat mengganduli sepasang mataku, kuhirup kopi yang kupesan di kantin rumah
sakit. Dua orang suster melewatiku, terdengar bercakap-cakap. Dan terasa cuping
telingaku menegak begitu kutangkap topik pembicaraan yang terdengar menarik.
“Ada satu pasien yang katanya
berhasil kabur dari kamarnya. Padahal kata dokter, dia sudah dipasung,” ujar
suster pertama dengan mimik serius.
“Pasien? Kamar nomor berapa?”
“Nomor tiga belas. Pedofil yang
dulunya suka diam-diam memotret anak-anak kecil lewat jendela kamar.”
Degup jantungku serasa dibekuk. Nyaris
saja gelas di tanganku luruh ke bawah. Kontan cerita yang dilontarkan Raka
sebelumnya terkilas balik dalam otakku. Kilat,
jendela—kilat... lampu blitz kamera...
Fakta yang tak sengaja menggumpal
dalam logikaku seolah membuat aliran darahku berdesir hebat. Cepat-cepat aku berlari
menuju kamar rawat Raka, menembus para pegawai yang memakai seragam serbaputih
yang beberapa di antaranya tampak mengiringi orang-orang berpakaian hijau yang
menatap kosong ke depan koridor.
“RAKA!” Aku membuka pintu dalam
sekali sentakan, membuat bocah yang tadinya masih berdiri di hadapan jendela
bergerak setengah melompat. Raka berbalik, menatapku yang masih terengah-engah.
Tampak bingung.
“Ada apa?”
Kuteguk ludahku dengan susah
payah. “Apa semalam kamu melihat kilat itu lagi di jendela?”
Raka tak segera menjawab.
Tatapannya sempat terjatuh, namun akhirnya ia menggeleng sebagai jawabannya.
Sontak aku menghela lega.
Setidaknya Raka belum menjadi korban pelaku pedofilia itu.
“...tapi, aku melihat kilat itu
sudah berpindah ke dalam lemari.”
-TAMAT-
0 komentar