Menulislah dan Jangan Bunuh Diri

Saya lupa tepatnya kapan mulai mengenal metode ini untuk pertama kalinya. Terlalu banyak khayalan yang hilir mudik silih berganti, dan akhirnya saya memutuskan untuk segera terjun ke lapangan.

Selain musik, saya ternyata punya passion di bidang lain--yang ironisnya baru bisa saya tekuni di tahun ini. 

Menulis.

Alat yang saya pakai untuk mengontrol segenap emosi saya. Dengan menulis, saya merasa kembali waras. Merasa komplit. 

Dan ketika orang-orang menganggap bahwa masalah adalah rintangan untuk melakukan sesuatu, saya tidak. Justru saya menjadikan setiap masalah-masalah yang datang tak kenal waktu itu sebagai manuver dalam menulis. Semacam amunisi yang mampu menguras seluruh perasaan saya, dan pada akhirnya tertuang dalam bentuk tulisan.

Jujur saja. Dengan menulis, saya merasa dihargai, digugu dan didengar. Saya bukan tipikal sanguinis yang cenderung mencintai perhatian orang-orang. Sejatinya saya paling menghindari publik, saya kurang suka menonjolkan diri. Biarkan saja mereka tahu dengan sendirinya tanpa perlu banyak berkoar menjelaskan siapa diri ini sebenarnya.

Entah mengapa, usai saya tumpahkan segala macam perasaan hingga membentuk rangkaian-rangkaian paragraf menjadi sebuah cerita, saya merasa beban-beban yang tadinya menumpuk di kedua pundak, perlahan berkurang.

Menulislah dan jangan bunuh diri. Frasa itu selalu menggantungi benak saya. Ketika kerisauan melanda, hari-hari mendadak jadi kisruh, maka menulislah. 





You Might Also Like

0 komentar