Agama dalam Kontestasi Politik

Oleh: Sri Amalia Kusuma Wardani

Suksesi kepemimpinan yang belakangan ini berlangsung ramai, penuh polemik dan intrik, semakin menyedot perhatian khalayak yang awalnya cenderung acuh tak acuh. Berita-berita yang sengaja dibingkai demi memengaruhi persepsi publik kini semakin gencar diluncurkan. Opini, ide, gagasan dan segala hal yang bersifat narsistik seolah-olah menjelma menjadi sebuah substansi yang sulit dilepaskan. Nyaris semua aspek disangkut-pautkan, terlebih bagi para pelaku yang secara laten hendak mencapai kepentingan pribadi. Ras, etnis dan agama pun tak luput menjadi sorotan. Secara pragmatis, hal ini jelas memicu berbagai konfrontasi di tengah-tengah masyarakat yang hakikatnya masih menggunakan cara pikir yang konservatif. 

Khususnya bagi para pemuka agama yang mulai mengekor kegiatan politik praktis. Mereka dengan pongah mengombinasikan ayat-ayat kitab dan ayat-ayat konstitusi menjadi sebuah sabda tak terbantahkan. Etnisitas dan primordialisme menjadi laku, tanpa tahu bahwa situasi semacam ini dapat menimbulkan dikotomi yang sulit untuk dielakkan. Agama tidak lagi berperan sebagai landasan hidup, namun juga berangsur-angsur menjadi sebuah komoditas politik demi memperoleh kedudukan tertinggi. Kentalnya keyakinan para aktor politik tentang kuatnya pengaruh ikatan emosional dalam membuat keputusan semakin mendorong mereka dalam mempolitisasi agama. Siasat ini dilancarkan dan cenderung mengabaikan risiko yang berkemungkinan besar akan terjadi di kalangan grass root. Stigmasasi muncul, bangkit, dan pada akhirnya menepi pada prasangka serta kecemburuan sosial.


Memang, secara konseptual, politik seharusnya dilandasi oleh nilai-nilai agama. Melihat kilas balik sejarah yang mengatakan bahwa penyebaran agama tak lepas dari pengaruh politik, sesungguhnya kedua hal ini memang tak dapat dipisahkan. Agama tercipta untuk memberi arahan dan pedoman dalam melakukan kegiatan apa pun. Politik, tak terkecuali. Dapat dikatakan bahwa politik berbuah dari hasil pemikiran agama agar tercipta kehidupan yang menyatu, harmonis dan tenteram, termasuk dalam kehidupan bernegara. Akan tetapi, jaman berkembang dinamis. Pemikiran seperti itu kini tak lagi dihiraukan, justru dipelintir hingga sedemikian rupa.

Banyakanya politisi berpayung agama memilih strategi ini untuk memperebutkan kekuasaan. Menyebar luaskan berbagai agitasi yang mengatasnamakan agama demi menjatuhkan kubu pesaing. Partai politik dianggap sebagai wakil tuhan. Dan dalil-dalil dipaparkan sedemikian diplomatis.

Agama tak ubahnya sebuah objek yang diperalat. Elit politik dengan tangkasnya berlomba-lomba menonjolkan simbol keagamaan demi merebut simpatik. Kalau rezim Soeharto dulu menggunakan ABRI beserta kebrutalannya sebagai pilar utama dalam mengukuhkan kekuasaan, kali ini agama yang menggantikannya. Namun tampaknya orang-orang masih buta dalam menelaah fenomena ini, justru di antaranya malah ikut -ikutan menari dalam gendang yang sedang ditabuh.

Maraknya kebenaran yang dipelintir, penyimpangan yang diolah menjadi sebuah pembenaran, semakin memperkeruh proses polarisasi akhir-akhir ini. Isu agama dan sara pun terasa kian seksi untuk diperdebatkan. Integritas dan orientasi masa depan tak lagi menjadi unsur utama dalam meraih tampuk kepemimpinan. Primordial-etnosentris nyatanya masih menguar kental membekap atmosfer kepemimpinan di Indonesia. Golongan minoritas pada akhirnya dimarjinalkan, menjadi kelompok yang terisolir. Bukan hal yang lazim, mengingat Indonesia adalah negara plural yang di dalamnya dihuni ratusan suku bangsa. Bagaimanapun, paradigma seperti ini telah lama mengakar kuat dalam pola pikir. Proses politik yang mulanya dianggap sebagai kegiatan universal, kini menjelma menjadi kegiatan golongan (sektarian).

You Might Also Like

0 komentar