PERKARA HUJAN


Source: Google.com

Kamu mengembalikan dirimu seutuhnya kepada buku-buku, kepada kertas-kertas, kepada tinta-tinta. 

Langit hitam pekat di luar. Dari balik jendela, kupingmu samar-samar mendengar gumaman gemuruh yang seperti akan muntah sebentar lagi. Kamu mendongak, menatap jam dinding kotor yang telah menunjukkan pukul dua belas malam, lalu tersadar bahwa kamu belum ngantuk sama sekali. Sudah lama rasanya tidak seperti ini; kamu yang mirip bejana kosong namun riuh dalam kepalamu mulai berjejalan.

Kamu pikir kamu telah berdamai dan sepenuhnya hidup dalam lembaran baru, kenyataannya semua cuma distraksi. Hari ini kamu resmi kembali pada kehidupan yang tampaknya dirancang khusus untukmu; sunyi, gelap, dan murung.

Kamu ingat beberapa waktu lalu, kamu terbahak-bahak bahagia, sampai nyaris kencing di celana dan air mata geli berlinangan di pelupuk matamu. Kamu pikir kamu tidak akan merasa sedih lagi sampai-sampai kamu lupa bagaimana caranya menggenggam kertas dan menggores tinta. Kamu berhenti menulis, kamu berhenti merasakan tempurung kepalamu penuh dan berisik. Semua penyakit dan penderitaan yang sempat mengiringi setiap langkahmu tiba-tiba terhenti begitu saja.

Kamu menjelma sosok baru yang tidak pernah kaukenal. Sosok yang dulu kauimpikan. Sosok yang kehadirannya hanya sementara.

Sekarang kamu kembali terduduk di ruangan penuh barang bekas, dinding-dindingnya terlihat usang dan berdebu. Alih-alih bersin ketika menyentuh rongsokan itu, kamu malah mendapati kerongkonganmu tiba-tiba menyempit dan ribuan kilo beban seketika berdesakkan memenuhi saluran pernapasan.

Bagaimana bisa aku menyaksikan kedatangan dan kepergian seseorang dengan perasaan yang sungguh berbeda?

Kamu bertanya dalam senyap sementara rongga tenggorokanmu terus bergumpalan.

Sontak kamu menghambur keluar dari ruangan itu, tak sanggup menahan pengapnya udara. Beberapa saat, kamu tepekur di bawah pintu, merenungkan apa-apa yang telah terjadi, dan berpikir;

Apa aku bisa memulai kembali?

Karena kamu tahu, bukan perkara mudah membuka diri kepada orang lain yang tidak kaukenal. Perlu bertahun-tahun menata diri, menyusun kepingan demi kepingan, untuk kemudian kamu serahkan kepada seseorang yang seharusnya bisa kaupercaya. Seseorang yang padanya kamu tidak perlu menerjemahkan apa-apa lagi; dia sudah duluan mengerti. 

Kamu jelas-jelas tahu, itu bukan perkara mudah.

Seraya menghela, kamu memejamkan mata sejenak. Punggungmu melorot pada daun pintu yang telah tertutup, kemudian menengadah menatap langit yang terbentang gelap tanpa pendaran apa pun. 

Apa aku bisa memulai kembali?

Kamu kembali bertanya-tanya, karena kamu sadar bahwa dirimu tak lagi sama. Hal-hal yang tadinya sempat membuatmu terpingkal-pingkal hingga kencing di celana, kini menjelma rangkuman mengerikan yang enggan kamu ulang. 

Betapa kamu harus kembali repot menata ulang segalanya dari awal, dan berharap semuanya tidak berujung dihancurkan. Seperti yang sudah-sudah.

Bisakah aku memulai kembali?

Gemuruh guntur lalu meledak tepat di depan mata, seolah tengah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kaulemparkan. Beberapa jenak kamu terdiam, menyaksikan langit berpusar-pusar, sesekali membiaskan cabang-cabang petir yang menjamah kaki-kaki langit. Dalam sepersekian detik, hujan tahu-tahu menyerbu tanpa ampun.

Dengan penerangan ala kadarnya, pandanganmu meneliti air-air hujan yang mengalir ke segala arah, dan ingatanmu spontan membawamu kembali pada adegan di mana seseorang pernah berujar;

"Pada dasarnya, kehidupan ini terlahir dari satu sumber. Jalannya saja yang kadang tidak sama. Persis hujan, setelah jatuh dari langit, masing-masing alirannya akan bermuara pada tempat yang berbeda-beda."

Kamu tidak berusaha menyela.

Lalu dia melanjutkan, matanya menatapmu serius, "Dan sekarang temukanlah seseorang yang melewati jalan yang sama denganmu - atau setidaknya, seseorang yang mau beriringan denganmu."

Kamu mendengus, mencerna kalimat-kalimat itu laksana menelan buah duku beserta biji-bijinya.

"Kita beda tujuan."

Kamu mengulas senyum meski ludahmu memahit. "Aku tahu."

Hujan pun semakin menderu. [ ]

You Might Also Like

0 komentar