Ketika Krisis Mendera Sampai ke Tulang

pamono.eu

Belakangan ini saya perlahan menyadari hal-hal yang sebelumnya tak pernah mengilas di balik kepala; tentang betapa naifnya pemikiran saya sewaktu dulu yang mengira masa depan akan berjalan sesuai keinginan jika saya mati-matian bekerja keras; menyusun rencana ini dan itu dan ini dan itu. Sampai suatu ketika saya terbangun dan segera dihadapkan dengan sebuah fakta besar; masa depan hanyalah konsep. Dia tidak benar-benar ada; dia bukan sesuatu yang nyata dan tak akan pernah tiba meski bertahun-tahun saya duduk menunggu.

Seketika saya merasa goblok.

Kenyataannya, kini, gagasan indah perkara masa dewasa hanyalah ide-ide usang yang tak lagi relevan bagi saya. Justru rasanya konyol mengingat umur saya nyaris menyentuh seperempat abad tapi hidup tetap begini-begini saja. Kadang, di setiap malam menjelang tidur, saya membayangkan diri saya sebagai putri Hary Tanoe atau anak Chairul Tanjung yang sudah sukses di usia muda. Bisa mondar-mandir naik Mercedez sambil scrolling layar iPhone seharga kontrakan setahun. Waduh, halu ternyata menyenangkan juga.

Sebab, sebagai penulis serabutan semi pengangguran seperti saya, untuk menambah jumlah saldo rekening saja rasanya seperti pekerja kuburan; gali-tutup lubang. Itu pun lubangnya sering kebocoran.

Saya memang sempat mengutuk hidup, merasakan banyak sekali ketidakadilan yang mendera bertubi-tubi. Rasanya tidak adil melihat teman satu sekolah yang, dulu bebalnya minta ampun, sekarang - setelah stalking media sosialnya - berhasil menduduki posisi penting di sebuah perusahaan prestisius. Tapi, oalah, ketika diselidiki sampai ke bagian dasar informasi, ternyata teman saya itu punya internal power alias kekuatan orang dalam.

Metode klasik khas budaya Indonesia.

Bagaimanapun, ketika beranjak dewasa, saya mulai memandang “masa dewasa” tak lebih dari sebuah konstruksi sosial. Dalam buku Adolescence: Perkembangan Remaja (John. W Santrock, 2003:27), dikatakan bahwa pendewasaan bukan sebatas proses dalam tubuh yang natural terjadi begitu saja, tetapi juga dilatarbelakangi oleh pengalaman-pengalaman emosi, peran-peran sosial, dan pengetahuan-pengetahuan yang dipelajari manusia. Beberapa ahli pun menekankan bahwa lingkungan ekstrem - yang secara psikologis hampa dan bermusuhan - dapat mengganggu perkembangan seseorang, dan seperti itulah fenomena yang sedang dihadapi para generasi kekinian, terutama di masa pandemi yang membuat semuanya terasa kian berat.

Mengacu pada standar masyarakat, menjadi dewasa berarti sudah harus memiliki kematangan kepribadian sekaligus kemapanan dalam hampir segala aspek; emosional, relasi, dan finansial. Pada usia 20-an, manusia digenjot agar bisa memiliki segalanya dan berakhir sebagai pemenang. Tetapi, nyatanya, mewujudkan tuntutan-tuntutan tersebut bukan perkara mudah.

Harapan demi harapan yang terus membebani kedua pundak membuat saya kembali mempertanyakan kredibilitas diri sebagai manusia; apakah saya sudah berhasil? Apakah pencapaian-pencapaian yang saya peroleh selama ini sudah cukup? Apakah saya sudah memenuhi ekspektasi orang-orang sekitar?

Dan pertanyaan-pertanyaan itu semacam meninggalkan lubang entah di mana, yang semakin hari terasa semakin menyedot.

Saya pun mulai membandingkan diri dengan orang lain, yang jelas-jelas hanya memperparah keadaan. Seperti di luar kendali, setiap malam saya selalu kesulitan tidur karena sibuk memikirkan kekhawatiran-kekhawatiran yang belum tentu terjadi, memicu perasaan ansietas yang tak terbendung sehingga saya terpaksa menghubungi terapi mental.

Beberapa kali saya bercerita soal cita-cita saya yang ngawur, yakni mati muda. Saya kepingin mati muda. Dan beberapa kali pula, orang-orang terdekat—termasuk Ibu saya, menepis pemikiran saya yang ngelantur itu dengan bilang bahwa kematian adalah mutlak. Itu bukan cita-cita. Semua manusia—dan makhluk yang hidup akan menemui kematian. Jadi, jangan diharap. Itu sudah barang tentu.

Lagi-lagi benak saya dipenuhi pertanyaan baru; jika seluruh makhluk hidup akan mati, lalu apa gunanya bertahan hidup?

Untuk apa manusia dituntut punya ini dan itu kalau ujung-ujungnya dia akan mati?

Pertanyaan tersebut sedikitnya mengubah pandangan saya soal hidup. Saya berhenti berusaha memenuhi pengharapan tidak realistis dari orang-orang, dan semakin percaya bahwa tidak ada yang betul-betul permanen dalam hidup ini sebab siapa saja, di mana saja, kapan saja, sama-sama sedang berjalan menuju kematian. Mau tajir, miskin, ansos, populer, setiap manusia sesungguhnya cuma punya satu destinasi; alam baka.

Maka dari itu, dapat saya katakan, kedamaian tidak akan pernah ditemukan apabila seseorang terus hidup dalam kemelekatan, seperti itulah yang sedang saya rasakan; gelisah, galau, dan takut. Padahal semua mengerti bahwa setiap hal memiliki akhir; penderitaan, krisis, apa pun yang terjadi di hari ini akan berlalu; berganti ke dalam fase yang baru, yang mungkin berbeda.

Persis seperti yang diajarkan Ajahn Brahm, “Semakin kita memusatkan perhatian pada masalah dan kesalahan, masalah itu semakin bertumbuh dan tidak dapat dikendalikan, maka lepaskan. Hiduplah di masa sekarang.

Pelan-pelan saya memahami konteks tersebut. Di usia menjelang 25, saya mulai memaknai hidup sebagai proses pembebasan, tanpa ikatan masa lalu dan masa depan. Satu-satunya yang saya punya hanyalah masa kini; yang harus saya jalani sebaik-baiknya. Meski perasaan kemelekatan itu suka muncul tiba-tiba dan menciptakan keresahan luar biasa, tapi saya yakin, itulah tantangannya. Saya harus belajar menekan ego serendah-rendahnya dan mulai berpikir bahwa saya bukanlah pusat semesta. Saya pun harus sadari, kehilangan dan kegagalan adalah bagian dari proses, dan itu normal karena tiap-tiap manusia pasti pernah menghadapinya.

Dan berkali-kali pula saya mengingatkan diri sendiri sepanjang proses pendewasaan ini; jangan menelan apa yang tidak mampu dikunyah, dan jangan mengukur diri menggunakan standar orang lain.

Bukankah Tuhan sudah menjamin bahwa hamba-Nya telah memiliki takdir dan jalannya masing-masing?

Jadi, ya sudah, percaya saja. All is well. [ ]

You Might Also Like

0 komentar