bewildered

Conversation Abstract by artist Siddhesh Rane | ArtZolo.com
artZolo.com

23 Desember 2018.

Masyarakat bilang, tidak ada satu pun yang bisa mengubah sesuatu selain kita sendiri—tapi sekarang saya meragukan petuah itu. Apa benar seseorang bisa berubah karena dirinya sendiri?

Bukankah segala hal dalam segmen-segmen kehidupan ini terjadi lantaran suatu alasan?

Dan berubah karena diri sendiri, menurut saya, adalah sebuah proyek yang egois.

Siang itu saya menemuinya di tempat favorit; McDonald’s. Saya selalu suka berada di sana dan rasanya seperti kehilangan ketika Badut Ronnie tidak ada lagi di ruang parkir. Tahun demi tahun saya amati, bangunan McDonald’s yang dulu bercorak riang dan menggairahkan perlahan menjelma manusia dewasa rawan depresi.

Dan itulah yang saya alami beberapa tahun belakangan.

Saya datang terlambat. Saya selalu terlambat. Seharusnya pukul dua siang saya sudah berada di tempat itu, di bangku paling pojok dan bersebelahan dengan jendela, tetapi saya baru tiba pada pukul dua lewat empat puluh menit.

Tahu-tahu saya tertegun sedetik saya menginjakkan kaki ke dalam ruangan. Luar biasa, sepasang mata saya langsung bisa menemukannya sedang duduk dengan kepala menunduk menatap layar ponsel, kedua lengan kemejanya digulung sampai siku, tampak malas menghiraukan kehadiran orang-orang di sekitar.

Ini bukan kali pertama saya membuat janji temu dengan seorang lelaki, tapi tentu, kali ini sungguh lain. Ada sesuatu yang cukup membiaskan perbedaan dalam dirinya jika dibanding dengan orang-orang yang pernah saya temui sebelumnya. Saya berpikir, dia akan jadi alasan saya untuk kembali menulis; menjadi alasan saya untuk terus mempertahankan hidup.

Dan intuisi saya jarang sekali meleset.

“Halo,” setelah menyusun kata per kata untuk memulai perbincangan, saya benar-benar berdiri di hadapannya dan saya tidak melihat adanya impresi wow ketika kepalanya mendongak untuk menatap saya. Hanya senyum tipis dan anggukan kecil—gestur yang dibangun seprofesional mungkin. Saya pun bertanya, “Aku boleh duduk?”

“Itulah gunanya kursi kosong,” dia terkekeh, meski saya bisa menangkap sedikit gurat kikuk dalam wajahnya. “Naik apa ke sini?”

“Motor.”

Lagi-lagi dia mengangguk, memperhatikan saya yang sedang menggeser kursi lalu duduk di hadapannya. Kedua mata kami saling bertumbukkan.

“Kalo dari dekat kamu kelihatan imut,” dia menceplos dan itu cukup membuat darah saya berdesir. “Sori, aku nggak bermaksud—cuma mengatakan apa yang ada di pikiranku saja.”

Saya ketawa. “No problemo,” saya menanggapi santai. “Baru kamu satu-satunya yang mau memuji.”

“Masa sih?” dia membelalak, kemudian tergelak lagi. “Jangan-jangan kamu baru sekali ini juga makan siang bareng cowok?”

Excuse me,” saya berkilah. “Apa aku kelihatan seperti penghuni asrama cewek yang selalu membatasi diri?”

“Oh, jadi kamu tidak terbatas ya?”

Pembukaan yang cukup aneh. Itu adalah pertemuan kali kesekian setelah sebelumnya kami hanya saling menyapa pendek-pendek dan mengobrol via ponsel. Tidak ada sentuhan fisik, tidak pernah ada tatapan yang dicuri diam-diam. Ini menggelikan mengingat saya dan dirinya punya banyak sekali perbedaan.

Bahkan ketika saya mengetahui usianya cukup jauh berada di atas saya, dia tetap tidak ingin dipanggil ‘Abang’.

Saya pikir itu adalah pertemuan terakhir. Tidak ada sinyal-sinyal spesial manakala dia melakukan percakapan; hanya obrolan kasual dan saya kira, dia tidak akan melanjutkan komunikasi apa-apa lagi. Saya memang jarang sekali berekspektasi banyak, apalagi soal laki-laki.

Namun, di malam-malam setelahnya, intensitas percakapan via platform obrolan di ponsel semakin meninggi. Yang biasanya hanya dua-tiga baris, kali ini bisa puluhan baris hingga berhari-hari. Saya bingung dan jadi bertanya-tanya sendiri.

“Aku sudah baca isi blogmu.”

Roh saya nyaris melayang ketika membaca pesan itu dan rasanya panas dingin menanti pesan-pesan berikutnya yang sedang dia ketik.

I feel you.

You need somebody to talk to?

You’re hurting yourself. Don’t do that again, ok?

Saya bukan manusia yang segampang itu membuka diri. Butuh banyak proses untuk mengupas lapisan demi lapisan, dan itu tidak mudah. Tidak banyak yang mampu melewati tahapan itu. Hampir semuanya menyerah di tengah jalan, dan saya tidak ingin membuat sebuah kesalahan.

Lalu saya juga turut mengetik. “Aku baru akan cerita kalau kita sudah cukup dekat.”

Saya pikir itulah saat yang tepat untuk menutup pintu kembali. Tetapi saya salah. [ ]


You Might Also Like

0 komentar