[CERPEN] Percakapan dalam Sebuah Kapel

Percakapan dalam Sebuah Kapel
(Oleh: Amaliah Black)

Image result for chapel building
source: google images
“Kau percaya pada Tuhan, Maestro?” Perempuan itu bertanya di sela doa yang dia panjatkan. Kesepuluh jarinya terjalin di atas meja panjang di hadapan, lalu menengadah pada salib raksasa yang menempel tepat di pertengahan pucuk altar gereja kecil. “Apa menurutmu Tuhan itu benar-benar ada?”

Yoon Min-Jun tidak mengalihkan matanya sedikit pun, justru menatap semakin lekat salib yang mematung di sana. Seketika, mengianglah lantunan Ave Maria yang beberapa kali ditangkapnya, gema azan yang sempat dia dengar ketika berkunjung ke Bukhara, bahkan alunan ritmik yang kerap mengeruak dari balik bangunan-bangunan biara. Di dalam benak, kesemuanya saling beradu, berusaha mendominasi satu dari yang lain. Namun, dalam perspektif Yoon Min-Jun, semua tidak lain adalah serangkaian nada yang terkombinasi dalam bingkai  kerohanian. Dan agama, bagi sebagian orang, adalah kebutuhan rohani itu sendiri.

“Ya, kuharap aku bisa percaya.”

Kang Dae-Yun menoleh, sejenak memandangi sisi wajah Yoon Min-Jun. “Jadi, kenapa kau tidak percaya?”

Pertanyaan itu sedikit mengejutkan Min-Jun. Intonasi dan tekanan yang terpancar dalam suara Dae-Yun bahkan lebih memesona daripada pertanyaan yang dilontarkan. Sontak lelaki itu menghela. 

"Bagiku, itu tidak mudah.”

“Tidak—mudah?”

Kepala Min-Jun mengangguk samar, lalu benar-benar balas memandangi Dae-Yun. “Alkitab, Al-Qur’an, kitab Buddha… semuanya memiliki persyaratan dan hukum yang serupa. Jika menurut mereka, aku tidak menaati aturan tertentu, maka aku akan dianggap pendosa, dan nerakalah tempat terakhirku,” sekilas terdengar kekehan kecil dari mulutnya. “Aku tidak bisa membayangkan Tuhan berkuasa dengan cara seperti itu.”

Beberapa saat Dae-Yun tidak bicara. Seolah tengah mencerna sesuatu. “Begini,” tiba-tiba dia berdeham, “sebetulnya aku sedang tidak ingin membicarakan dogma-dogma semacam itu. Mungkin, kau berpikir aku sedang menanyakan penilaianmu tentang literatur-literatur yang membahas ajaran-Nya, tapi bukan itu maksudku.”

Perlahan-lahan kerutan di kening Min-Jun meliuk jelas. “Apa?”

“Maestro, aku bertanya; apakah kau percaya pada kehadiran Tuhan?” Dae-Yun terpaksa mengulangi demi memperjelas semuanya. “Seperti… ketika kau memandangi ombak yang berdesir—yang menurutmu adalah nyanyian alam, apa kau juga merasakan keagungan-Nya? Apakah kau merasa di dalam hatimu… kau sedang menyaksikan karya Tuhan?”

Min-Jun seketika terpaku bungkam. Untuk sesaat dia tampak memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Seperti baru tersadar, dengan menyesal Dae-Yun lalu berujar, “Maaf—kalau aku terlalu ingin tahu.”

Yoon Min-Jun melonggarkan kerah kemeja linen yang dia kenakan, dan menggeser posisi duduknya, memberi Dae-Yun sedikit jarak. “Menurutku…,” Min-Jun kembali bersuara usai mengembuskan napas pelan, “keimanan itu sama halnya pakaian. Tidak peduli apa yang dikatakan orang, segalanya tergantung pada kita; sesuai atau tidak, pas atau tidak, nyaman atau tidak. Dan pada akhirnya kita akan mencari sesuatu yang lebih besar dari kita sendiri.”

Dae-Yun menyingkirkan helaian rambut yang sedikit menutupi wajahnya. Mungkin dia sudah selesai berdoa. “Seingatku, kau pernah bercerita kalau kau terlahir dari keluarga Katolik yang taat.”

Lagi-lagi Min-Jun tertawa pelan, namun sorot matanya perlahan-lahan membiaskan kenangan yang tak pernah ingin dia ingat. Kemudian tatapannya terangkat sedikit, menatap lengkungan kubah yang menudungi kapel, yang di tengahnya tergantung lampu-lampu kristal raksasa. Entah bagaimana, pikirannya seolah tersedot mundur melintasi lorong waktu.

Pria itu kini melihat dirinya sudah terduduk di depan sebuah piano. Dirinya yang lain. Dirinya yang berwujud bocah delapan tahun, berambut hitam cepak dengan tubuh dibalut stelan jas hitam kebesaran. Min-Jun merasakan dadanya ditinju manakala dia bersitatap dengan wajah dingin itu, binar mata yang dipenuhi kemarahan, dan gerak-gerak tangan di atas tuts piano yang seperti kesetanan. Bebunyian yang lahir dari jemari anak kecil itu serta-merta menyusupi telinga Min-Jun, memukul-mukul seperti ledakan petir dan gemuruh badai.  

Dasar anak sialan, pergi dari sini!

Sebuah suara seketika menghardik Min-Jun. Suara yang kembali membangkitkan dendam dan kebencian. Suara yang seharusnya tidak pernah dia dengar.

Ayah

Yoon Min-Jun hampir tidak memercayai matanya. Ingatan itu kembali mengilas di benak, memancar dan bergerak dalam bingkai-bingkai utuh laksana potongan film. Dia menyaksikan ayahnya bermain biola sementara ibunya yang jelita begitu hikmat menyenandungkan doa dalam nada sopran. Min-Jun sangat membenci bagian itu.

“Kenapa aku harus berdoa pada patung yang Ayah beli dari pasar?”

Sekonyong-konyong tamparan keras menghantam pipi bocah itu, mengucurkan sealiran darah dari ujung bibir yang pecah. Bocah itu kemudian menatap patung porselen yang masih berdiri di depannya, dipahat dalam bentuk seorang perempuan cantik yang dilingkupi kerudung dan baju longgar. Kenapa aku harus berdoa kepadamu? Bukankah kau juga seorang manusia, Bunda?

Sebelum semuanya jadi berlarut-larut, spontan Min-Jun menyadarkan diri sendiri, mengaburkan segalanya dan kembali memusatkan perhatian pada Kang Dae-Yun yang sudah duluan bangkit.  Barusan aku memikirkan apa? Min-Jun bertanya-tanya.

“Maestro,” terdengar Dae-Yun memanggil. Perempuan itu berdiri di ujung kursi, sekilas memandangi barisan bangku di belakangnya, dan kembali memandangi Min-Jun. “Jika kau berpikir kalau iman adalah pakaian, maka aku berpendapat bahwa agama sama seperti bahasa.”

“Bahasa?”

Dae-Yun mengangguk sedikit. “Kita terpengaruh oleh ritus agama tertentu yang diajarkan kepada kita semenjak kecil. Tapi, pada akhirnya, kita pasti akan menyetujui hal yang sama; hidup memiliki arti, dan kita merasa harus berterima kasih pada kekuatan yang sudah menciptakan kita.”

“Jadi,” Min-Jun menyusul Dae-Yun, dan balas tersenyum, “bisa kita bicarakan hal yang ringan-ringan saja?”

Kontan Dae-Yun tergelak. “Maaf, aku jadi terbawa,” dia berkata seraya meredam tawa. “Tapi, sepulang ini, tolong… aku ingin mendengar permainan pianomu. Credo.”

“Ugh.” [ ]



You Might Also Like

1 komentar