Mengais Sunyi
Telah miliaran kali aku tertahan di sana. Serupa kambing ternak yang menanti
sekerat bayangan penggembala di depan beranda rumah. Namun barangkali
pagi terlalu biru sehingga aku tak perlu buru-buru. Seekor ngengat melintasi
mata dan jarum jam berhenti memanggil. Tak lagi kucium amis kenangan
yang kerap menguap dari dirimu. Menjelma tubuh yang menyerap kesunyian
seperti bangkai-bangkai sisa peperangan. Aku terperangah, sesekali penuh
tanya melawan nyata. Kini tak tersedia perahu-perahu layar dan akulah laut
yang hilang mata angin. Senyap memberangus dan sepi yang membungkam
menjelma satu-satunya riasan pondok tanpa jendela. Nyalakan api, Ra,
nyalakan. Biar dingin itu membakar sampai hangus. Jadi arang. Jadi abu.
Lalu petang melahap awan. Membingkai kupu-kupu yang berganti sayap.
sekerat bayangan penggembala di depan beranda rumah. Namun barangkali
pagi terlalu biru sehingga aku tak perlu buru-buru. Seekor ngengat melintasi
mata dan jarum jam berhenti memanggil. Tak lagi kucium amis kenangan
yang kerap menguap dari dirimu. Menjelma tubuh yang menyerap kesunyian
seperti bangkai-bangkai sisa peperangan. Aku terperangah, sesekali penuh
tanya melawan nyata. Kini tak tersedia perahu-perahu layar dan akulah laut
yang hilang mata angin. Senyap memberangus dan sepi yang membungkam
menjelma satu-satunya riasan pondok tanpa jendela. Nyalakan api, Ra,
nyalakan. Biar dingin itu membakar sampai hangus. Jadi arang. Jadi abu.
Lalu petang melahap awan. Membingkai kupu-kupu yang berganti sayap.
(Autumn, November 2016)
Sein zum Tod
Seekor kucing meringkuk membelakangi fajar. Ayam jago berkokok dan
seruan walang kerik perlahan-lahan luntur seiring bola sebesar uang logam
menyembul lewat kaki-kaki langit. Perjalanan lantas dimulai dengan pertanyaan
sendiri:
bisa dan sanggupkan aku
bertahan sampai batas pilu
yang paling nyeri?
Embun melucuti subuh untuk memperlihatkan luka-luka yang tak kunjung
kering. Jangan bangunkan sebelum racun-racun ungu meluap bersama
pecahan ombak di bibir pantai. Demi sengatan matahari yang ganjil serta
aroma terbakar yang tersibak dari balik kain bajumu. Berkali-kali aku
mendapati tanganku tertanam pada jiwamu laiknya persenggamaan lain.
Pada sebuah lorong becek terdengar mobil-mobil bersuara parau dan aku
berhenti ketika menatap dosa-dosa orang mati. Lalu matamu. Lalu harum
tubuhmu.
kering. Jangan bangunkan sebelum racun-racun ungu meluap bersama
pecahan ombak di bibir pantai. Demi sengatan matahari yang ganjil serta
aroma terbakar yang tersibak dari balik kain bajumu. Berkali-kali aku
mendapati tanganku tertanam pada jiwamu laiknya persenggamaan lain.
Pada sebuah lorong becek terdengar mobil-mobil bersuara parau dan aku
berhenti ketika menatap dosa-dosa orang mati. Lalu matamu. Lalu harum
tubuhmu.
Apa pelayat butuh pakaian baru untuk bergegas ke pemakaman?
Atau akulah yang butuh pakaian baru untuk menjemput kematianku sendiri?
Kelak dalam sehelai foto yang terkoyak-koyak aku melesap ke dalam loteng jiwa
yang sesak oleh kecengengan. Ada celah yang sedikit menganga. Intip saja bila
kau mau. Supaya kau paham prajurit paling tangguh pun tak sanggup melawan
raut durja yang mengancamku. Kuburlah jasadku di antara akar-akar pohon agar
nanti belulangku menjelma kerikil-kerikil kecil menuju perbukitan. Saat semut-
semut berjalan memunguti remah tubuhku. Bahwa kesepian yang jalang adalah
kawan sehidup semati.
kau mau. Supaya kau paham prajurit paling tangguh pun tak sanggup melawan
raut durja yang mengancamku. Kuburlah jasadku di antara akar-akar pohon agar
nanti belulangku menjelma kerikil-kerikil kecil menuju perbukitan. Saat semut-
semut berjalan memunguti remah tubuhku. Bahwa kesepian yang jalang adalah
kawan sehidup semati.
Maka pergilah, Ramon. Temui aku di Pulau Utara bersama para mayat lain.
1 komentar
suka sekali kak baca puisinya
BalasHapuscara beli masa aktif simpati