[PUISI] Sein zum Tod

Mengais Sunyi

Telah miliaran kali aku tertahan di sana. Serupa kambing ternak yang menanti 
sekerat bayangan penggembala di depan beranda rumah. Namun barangkali 
pagi terlalu biru sehingga aku tak perlu buru-buru. Seekor ngengat melintasi 
mata dan jarum jam berhenti memanggil. Tak lagi kucium amis kenangan 
yang kerap menguap dari dirimu. Menjelma tubuh yang menyerap kesunyian 
seperti bangkai-bangkai sisa peperangan. Aku terperangah, sesekali penuh 
tanya melawan nyata. Kini tak tersedia perahu-perahu layar dan akulah laut 
yang hilang mata angin. Senyap memberangus dan sepi yang membungkam 
menjelma  satu-satunya riasan pondok tanpa jendela. Nyalakan api, Ra, 
nyalakan. Biar dingin itu membakar sampai hangus. Jadi arang. Jadi abu.
Lalu petang melahap awan. Membingkai kupu-kupu yang berganti sayap.

(Autumn, November 2016)

Related image

Sein zum Tod

Seekor kucing meringkuk membelakangi fajar. Ayam jago berkokok dan
seruan walang kerik perlahan-lahan luntur seiring bola sebesar uang logam
menyembul lewat kaki-kaki langit. Perjalanan lantas dimulai dengan pertanyaan
sendiri:

bisa dan sanggupkan aku
bertahan sampai batas pilu
yang paling nyeri?

Embun melucuti subuh untuk memperlihatkan luka-luka yang tak kunjung 
kering. Jangan bangunkan sebelum racun-racun ungu meluap bersama 
pecahan ombak di bibir pantai. Demi sengatan matahari yang ganjil serta 
aroma terbakar yang tersibak dari balik kain bajumu. Berkali-kali aku 
mendapati tanganku tertanam pada jiwamu laiknya  persenggamaan lain. 
Pada sebuah lorong becek terdengar mobil-mobil bersuara parau dan aku 
berhenti ketika menatap dosa-dosa orang mati. Lalu matamu. Lalu harum 
tubuhmu.

Apa pelayat butuh pakaian baru untuk bergegas ke pemakaman?

Atau akulah yang butuh pakaian baru untuk menjemput kematianku sendiri?

Kelak dalam sehelai foto yang terkoyak-koyak aku melesap ke dalam loteng jiwa
yang sesak oleh kecengengan. Ada celah yang sedikit menganga. Intip saja bila 
kau mau. Supaya kau paham prajurit paling tangguh pun tak sanggup melawan 
raut durja yang mengancamku. Kuburlah jasadku di antara akar-akar pohon agar 
nanti belulangku menjelma kerikil-kerikil kecil menuju perbukitan. Saat semut-
semut berjalan memunguti remah tubuhku. Bahwa kesepian yang jalang adalah 
kawan sehidup semati.

Maka pergilah, Ramon. Temui aku di Pulau Utara bersama para mayat lain.

(Autumn, November 2016)




You Might Also Like

1 komentar