Adam dan Hawa
(Oleh: Amaliah Black)
Matanya
merambat ke segala arah, merangkak-rangkak, dan membara seperti tungku api. Dia
telanjang dengan punggung membelakangi saya. Di tengah temaram ruangan, saya
mencoba menerjemahkan setiap kilan kurva yang membentuk tubuhnya. Berlekuk-lekuk,
semacam kombinasi antiklinal dan sinklinal yang merebah di sepanjang perbukitan.
Saya
bergumam. Dia berdiri seperti pohon palma, dan sepasang dada itu adalah
gugusannya. Saya ingin lari lalu memanjatnya dengan cepat, tetapi saya yakin,
dia akan meremukkan kepala saya hanya dalam sekali sentak.
“Kamu
pernah dengar kisah tentang Adam dan Hawa?”
Jantung
saya berhenti sedetak ketika dia betul-betul membalikkan badan, dan keringat
melelehi pelipis manakala pinggulnya mulai memantul-mantul seiring langkahnya
yang mendekat. “Maksudmu… err—dua manusia yang pernah bercinta di Taman Eden?”
tanya saya. Sesekali mencuri pandang pada garis perutnya yang rata.
Perempuan
itu lantas terkikik, menggema seperti ledakan peluru yang keburu diredam. Dia
menatapku lagi dengan sepasang gingsul menyembul di balik bibirnya yang penuh dan
ranum. “Kamu percaya Tuhan, eh?”
“Bangsat,”
saya lelah untuk terus menahan. “Jangan pernah membicarakan tuhan di saat-saat
begini.”
Angin
menelusup, diam-diam menguping pembicaraan kami. Saya terengah sampai akhirnya
terduduk di tepi ranjang, masih dalam pakaian lengkap, tetapi sesuatu dalam
diri saya seolah menggeliat—memohon dibebaskan. Bangsat, bangsat, bangsat. Saya
memekik dalam sunyi.
Diamlah.
“Allah
menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki,” dia kembali berkata,
sedikit parau. Mungkin sadar pada gulungan angin di lehernya yang jenjang dan
rambutnya yang panjang, perempuan itu akhirnya beralih menutup bingkai-bingkai jendela.
“Kenapa bukan tulang kaki? Kenapa bukan tulang tengkorak? Kenapa?”
Jalang
ini membuat saya muak. Dia selalu bicara soal agama, mengoceh tentang beratus-ratus
aliran filsafat yang bahkan tak pernah saya pedulikan. Saya benci, tapi juga
cinta. “Aku ingin keluar.”
“Aku
ingin masturbasi.”
source: google images |
Ucapan
perempuan itu serta-merta menjelma biji duku yang tak sengaja saya telan. “Kamu
ingin—apa? Heh, untuk apa aku ada di sini?” saya melonjak dari ranjang, balas
memandanginya nyalang. “Kamu menghinaku? Meremehkanku?”
Perempuan
itu lalu mengusap-usap lengannya sendiri. “Kalau kamu percaya Tuhan, seharusnya
kamu nggak menurutiku.”
Meski
saya tidak sedang bercermin, tetapi saya yakin, kernyitan di dahi saya semakin
dalam. “Tapi, mau bagaimana? Aku bersedia… apa pun… semuanya. Percayalah.”
Dia
melihat saya sampai ke bawah lantai. Wajahnya tampak baik-baik sebab saya
memang tidak pernah mencintai perempuan yang tidak baik-baik. Tapi saya tahu,
dia tidak suka sentuhan. Saya ingin menciumnya, menghabiskan seluruh
keindahannya, namun dia hadir bagai kastil yang terkurung dalam jeruji berkarat.
Perempuan itu kelihatan usang. Dan menyedihkan. Dan tolol.
Saya
laki-laki. Dan saya ingin tenggelam di dalam matanya. “Baiklah,” sekuat mungkin
saya berdiri tegap, menunduk sedikit agar tatapan saya sejajar dengan sorotnya
yang perlahan-lahan redup. “Katakan apa yang ingin kamu katakan.”
“Aku
cinta kamu.”
Wah,
anjing. “Apa?”
“Terima
kasih,” dia lagi-lagi berbicara seperti orang ngawur. “Terima kasih. Aku cinta
kamu. Sekarang pulanglah.”
Saya
tidak pernah paham pada isi otaknya. Dan saya juga tidak pernah bisa mengerti
mengapa saya bisa jatuh hati pada perempuan tidak waras begini. “Tolong,
jelaskan sedikit.”
“Aku
cuma ingin masturbasi.”
“Lalu?”
Dia
mengangkat bahu. “Lalu tidur, mungkin?”
Sepasang
mata saya spontan melahap habis tubuhnya yang bugil. “Kamu takut aku akan
menyakitimu?”
“Aku
takut aku akan menyakitimu,” perempuan itu memeluk dirinya sendiri. Barangkali karena
kedinginan. “Adam jatuh ke dalam dosa karena Hawa. Ular-ular tertawa dan Tuhan
mengutuk. Biarkan aku saja yang merasakan dosa ini.”
Seketika
saya tergelak. “Kamu sedang melawak?”
Dia
menggeleng, dan mimik wajahnya seperti menyuguhkan kemarau berkepanjangan. “Aku
telah berdosa. Cukup aku saja. Kamu jangan.”
Saya
ingat, sore tadi dia menelepon saya. Percakapan yang ditandai dengan gesekan
udara di dalam speaker ponsel. Dia
menyuruh saya datang. Saya mengambil jeda sebentar. Bertanya dalam benak. Buat
apa? Tapi pertanyaan itu urung saya lontarkan sebab saya juga rindu.
Lantas
sekarang, tepat di hadapan saya, untuk kali pertama, dia menyingkap segalanya.
Saya sempat tergagu beberapa menit. Di dalam kamar yang hanya ada kami berdua,
saya merinding, tetapi hasrat itu terus mendesak. Tetapi saya bingung. Saya
pernah merasakan ini, menemukan ini, ketika buku-buku jari saya mulai mengetuk
pintu losmen pelacuran. Namun saya tahu. Nyatanya yang kini mengisi mata saya
bukanlah seorang pelacur.
“Aku
cinta kamu.”
Lambat-lambat,
saya akhirnya mampu menghitung setiap detik di tubuhnya. Saya bisa mengartikan
kekata itu. Maka, saya pun beringsut, meraih selimut yang menjuntai menutupi
kolong ranjang, berjalan dengan hati-hati, dan membalut tubuh mungil itu dengan
kain selimut. “Aku akan pulang.”
Dia
mendongak, seakan mulai mencari jejak-jejak sendiri. “Maafkan aku.”
Saya
mengangguk meski masih gelisah. Tetapi, saya sudah mengerti. Biarkan angka-angka
memisahkan semuanya. Biarkan waktu memberi jarak. Sebab kita berdua adalah pendosa.
Aku cinta kamu. [ ]
0 komentar