[BUKAN CERPEN] Today Seemed to be My Day


“Yang mau ke perpus, yang mau ke perpus, hayok keluar!”


Saya lagi ngalor ngidul sama Melin—teman satu kosan yang gahol syekali, dan sayup-sayup mendengar om-om ngomong dari pengeras suara, dan saya langsung lari ke balkon. “Bus internal! Mel, aku ke perpus nggak ya?”

Melin sibuk ngaca, ngelihatin mukanya yang bengap kena bola sewaktu nonton futsal tadi sore, terus balik memandangi saya. “Lo sendiri aja. Gua cape. Tampang gua lagi begini juga.”

“Hmmm…” saya mikir kilat, “Kayanya seru naik bus malem-malem.”

“Gua juga males lihat lo ngoceh mulu. Ketimbang lo pundung nggak jelas, yaudah, perpus sana!”

Saya ngikik. “Dasar anjing.”

“Lo tuh tai hahaha.”

Masih dengan terkekeh, saya langsung nyamber tas, laptop, hape, chargeran. “Duh, lupa pake jilbab!”

Melin petantang-petenteng sambil matanya ngikutin gerakan saya yang kelabakan. “Pake jilbab langsungan aja. Nggak  usah dandan. Ntar lo dikira mau mangkal.”

“Bangke!” Tahu-tahu saya sadar sama bus yang masih menunggu di depan Apartemen Putri—kosan saya, elah. “Sudah ya, kuberangkat dulu.” Dengan cekatan, dengan gerak terombang-ambing, saya langsung ngacir ke bawah tangga sambil keteteran make jilbab, dan teriak, “Pak Bus, tungguuuu. Aku mau ikut! Tunggu!” Dan di sepanjang koridor, saya dilemparin tatapan apa-sih-dasar-berisik sama penghuni cewek yang lain. Bodo amat. Yang penting saya senang~

Lalu sampailah di depan Apartemen, saya keingetan kalau nggak bawa headset. Untung si Melin nongol dari balkon. Jadi saya jejeritan (lagi) dari bawah, “Mel, headset aku! Tolong! Di atas kasur!”

“Huh rempong lo!” Melin ngelempar segulung kabel putih tepat di tangan saya. “Pergi sana!”

Saya nyengir, Om-om yang bawa toa ikut nyengir, semuanya nyengir. “Sudah siap?” tanya Om-om yang bawa toa sambil menggiring menuju Bus.

“Beres!” Saya langsung lari ke bus, milih tempat duduk dua baris dari bangku sopir. Dan kami semuwa berangkat~

Ngoahahah. Sebenernya ini tulisan nggak penting, tapi saya kangen aja nulis begini.

Image result for life goes on quotes

Awalnya, selepas bangun tidur, saya langsung keluar kamar kos, jogging. Sendirian. Mencoba buat melupakan kalau hari ini tanggal 28 September. Entah sejak kapan saya mulai membenci tanggal itu. Pokoknya saya berusaha sekeras mungkin untuk mencari distraksi. Saya yang jarang-jarang olahraga, sekarang mulai rajin gerak badan, saya yang jarang senyum sama orang, sekarang sudah mulai ramah, saya yang gengsinya tinggi, sekarang mulai gamblang mengungkapkan perasaan dengan cara apa pun. Yah, perlahan mulai mengubah kebiasaan lama yang buruk.

Jadi saya melihat hape, penuh dengan obrolan di grup yang mengandung kata-kata dan ucapan hari lahir yang tertuju ke saya. Jujur, saya semakin bete. Dan yang mulai justru teman sekamar saya sendiri. Melin ciyalan! Jadi saya ngomel, “Lo ngapain sih?”

Dia ketawa-ketawa. “Ya biarin sih.”

Otomatis anggota grup obrolan itu mengekor, dan saya langsung balas, “Ini hoax. Jangan percaya. Bohong!”

Dan tetap saja ucapan-ucapan doa ala basa-basi itu mengalir. Berlanjut di dunia nyata ketika saya tiba di kampus.

“Sudahlah, nggak usah diingetin mulu. Sudah tau!” jawab saya dengan tampang kuyu saat salah seorang teman mengatakan hal serupa.

Kemudian, teman sejoli saya yang unyu dan semok, Mput, menyeret paksa. Saya yang awalnya lagi pewe duduk-duduk di musholla, mendadak bingung, “Mau ke mana?”

“Beli es,” sahutnya sembari cengengesan. Ngeselin.

“Kan bisa ajak Melin, Bambang, atau siapa pun,” kata saya, menepis tangannya.

Mput manyun. Wajahnya yang bundar dan tembam itu menggembung. “Katamu nggak mau ninggalin aku sendiri. Jadi gini?”

Syid. Saya kemakan omongan sendiri. Jadilah saya ogah-ogahan bangkit. Terus memeluk bodinya yang bikin saya keinget kasur. “Iya, sayaaaang. Iya. Sini aku temenin.”

Di tengah keramaian, saya mulai curiga, pasti ada yang nggak beres. Dan ternyata Mput ngajak saya nyimpang ke belakang gedung. Dan Bambang sudah pegang kue bertabur meises seres dan lilin putih buat mati lampu. Ada sekitar lima-enam orang yang ngerubung. “Ini apa-apaan?” tukas saya, pura-pura nggak ngeh.

“Selamat ulang tahun, Sri Sayaaang,” komando Mput, dan yang lain ikut membeo. Berikutnya disambung dengan ritual nyanyi-nyanyi yang bikin saya bengong, lalu saya langsung tiup lilin, dan dimarahin Melin, “Woi, ucapin doa dulu woi!”

“Oh ehe. Lupa,” ujar saya. “Sudah ya. Terima kasih buat kuenya. Enak. Aku mau balik ke kelas lagi.”

“Yah, Black!” Bambang mencegah. “Susah payah aku bawa ini kue, naik transmusi dari Palembang, telaten-telaten biar hiasannya nggak rusak. Terus kamu kabur? Wah, wah.”

Dibilangin begitu, otomatis saya memutar badan, senyum maksa ke arah Bambang. “Kok kamu baik sih?”

“Ya ampun, Black! Dari dulu kali…”

Bambang ini teman dari awal kuliah, sama halnya dengan Mput dan Melin. Tanpa dia, barangkali saya nggak bakal bertahan di lembaga pers kampus. Sewaktu pelatihan, saya sempat drop. Pucat. Dan nyaris nyerah dan mau pulang. Untungnya, Bambang selalu di samping saya. Dengan tubuhnya yang mungil dan muka yang selalu cengar-cengir, dia mulai ngasih lawakan-lawakan nggak penting, dan saya menghargai itu. Sampai akhirnya saya ngerasa sedikit mendingan, dan bisa lanjut sampai pelatihan usai, dan akhirnya kami berdua lolos seleksi.

Jadi saya melangkah ke arah Bambang, nerima sisa potongan kue di tangannya. “Makasih ya, Bambang. Love you daaah.”

“Love you too, Black. Muah muah~”

Seluruh rombongan kembali nyanyi-nyanyi, kemudian foto-foto, kemudian ngakak-ngakak. Diam-diam saya mau nangis. Terharu, mungkin. Atau sedih. Karena di umur yang menginjak kepala dua, saya belum berhasil kasih pembuktian apa-apa. Masih sangat kurang-kurang-kurang-kurang-dan-kurang. Lalu dapat pesan dari Mbak Tika yang tinggal di Malang. Katanya, “Kamu masih muda, Blek. Jangan kebanyakan mikir yang berat-berat. Jalani aja apa yang ada.”

Saya tergugu. Di antara sorak-sorai orang banyak, saya sejenak merenung. “Kenapa sih saya dilahirkan?”

You were born to make an impact.

Saya mendengar suara itu. Entah siapa. Tapi saya bisa mendengar jelas. Saya melihat sekeliling. Tapi nggak yakin kalau memang ada sosok kasat-mata yang membisiki itu di telinga saya.

Usai mengosongkan paru-paru dalam desah panjang, saya mengembalikan diri pada riuh tawa teman-teman. Cepat-cepat saya mengusir perasaan cemas dan pikiran-pikiran buruk yang belakangan menggantungi benak saya.

Kemudian Della mengirimkan pesan ke nomor saya, “Jadilah seorang penyemangat di saat orang lain mulai lelah dan jadilah orang yang terus memberikan kekuatan di saat yang lain mulai lemah.

Demi semesta alam, air mata saya hampir-hampir tumpah. Nggak nyangka saya masih bisa baper. Masih punya perasaan. Walaupun mungkin Della cuma mau sok-sokan puitis, tapi saya merasa kok ya ngena banget. “Gimana saya bikin orang di sekitar jadi kuat sementara saya sendiri ancur begini?”

Di sinilah saya, di persimpangan jalan, mulai mengubah segala-galanya dan membuang beban-beban nggak penting. Saya seperti terbangun, dan kembali melek.

Hidup dengan passion, dan cintailah semua orang. Baik atau jahat, they all deserve love.

Bersama doa-doa yang masih mengalir, meski itu hanya basa-basi atau memang sungguhan, saya menghargainya. Saya nggak mau lagi terkungkung dalam pikiran-pikiran busuk yang seolah menghambat langkah saya. Saya seakan ‘hidup lagi’. Yang awalnya persis zombie, kini berusaha merangkak, pulih, dan sooner or later, akan sembuh total.  Semua berkat teman-teman yang, tanpa saya sadari, selama ini memperhatikan saya. Mereka—secara nggak langsung—telah mengembalikan Black yang biasa tertawa lepas. Dan malam ini, rongga dada saya serasa ringan.

Pada akhirnya, Tuhanlah yang menuntun saya pada mereka, pada orang-orang yang menjadi pelajaran dalam hidup saya. Saya bersyukur—kendati saya sempat memaki juga. Setidaknya, saya merasa harapan itu sudah pulang tanpa perlu saya jemput. And I feel like going back home.

Seperti kata Mput, “Aku kadang suka kesel sama cowokku. Tapi pas sudah bareng kalian, semua rasa mangkel itu hilang.”

Lantas saya mulai keluar kamar, ikut ajakan Melin buat nontonin cowo-cowo main futsal, eksplor semak-semak di sekitaran kampus, ngegowes pake sepeda pinjeman dari ujung ke ujung sembari denger playlist yang campur-aduk. Betapa hubungan antar-manusia itu sangat bermanfaat bagi kesehatan mental. Huft. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Mulai dari sini, di Perpustakaan yang sangat saya rindukan, saya memohon doa dan dukungan dari kalian agar saya terus konsisten dalam berhijrah.


Somewhere Deepest, 28 September 2016



Amaliah Black

You Might Also Like

1 komentar