Cotard
(Oleh: Amaliah Black)
Google images |
Cewek itu
menatap busa cokelat yang mengambang dalam mug keramik di genggaman, separuh berharap
zat-zat itu sanggup memompa serotonin yang belakangan tersumbat entah di mana.
Dia menyesap sedikit, lalu melirik ketika ponselnya berdenting. B tidak pernah
suka bagian ini. Orang-orang akan datang, mengganggunya, kemudian pergi begitu
saja. Dengan enggan, dia membaca sekilas pesan yang masuk, mendengus ringan
sambil menghapus seluruh rekaman percakapan yang berjejer tanpa awal dan ujung.
Semalam, dia
tertidur dalam keadaan menyedihkan. Angin ribut menyusupi kepala, meraung-raung
dalam benak seakan meneriakkan ribuan bencana, dan semua akhirnya tereduksi seiring
obat tidur yang larut bersama aliran darah. Bagaimanapun, B tidak benar-benar terlelap.
Dia hanya memejamkan mata, merasa petak-petak cahaya mengelilinginya di antara
atmosfer gelap, lantas mendengar suara yang campur-baur. Entah itu teriakan,
gelak tawa, isak tangis, atau bisikan remang. Dan ketika sepasang kelopaknya
kembali terangkat, B menemukan jejak-jejak air mata sudah melelehi pipinya
tanpa sempat dia sadari. Dasar sinting, dia tertawa sunyi seraya menggosok-gosok wajah dengan kasar. Kontan pandangannya menyipit manakala sorotan sinar matahari yang menembus
gorden-gorden jendela kamar menimpa remah-remah dunia yang berserak di sekeliling.
Pagi sudah
datang, dan aku masih tetap sama.
Seseorang lalu
menghampiri. B tidak peduli, toh orang itu pasti akan
mengacak-acak seluruh sisa hidupnya, dan pada akhirnya dia akan kembali jadi bangkai. B tetap memilih diam; dia bahkan lupa
bagaimana caranya bereaksi, bagaimana caranya berempati, bagaimana caranya
menangis. Tidak ada pilihan yang bagus, maka dia kembali menghirup cokelat dalam gelasnya, memberi tanda bahwa
kali ini dia benar-benar sudah muak dengan segala mekanisme kehidupan.
Kamu terlalu sibuk dengan duniamu sendiri.
Kamu berbahaya. Kamu sama sekali nggak butuh siapa pun. Dasar jalang hipokrit.
Setelah orang
itu pergi (B sudah menduga semua orang dalam hidupnya akan pergi), pintu-pintu
yang semula membuka lebar seketika terbanting, menutup sendiri, meninggalkan badai
bening yang tak kunjung susut. Sekarang B tertawa, lama kelamaan menjadi
ledakan yang menggelegar di antara derak-derak ranting, di antara gesekan udara
dan suara-suara tertahan.
Pintu-pintu
telah dikunci, dan tiba-tiba B merasa sendiri. Kembali masuk ke realitasnya.
Kembali berhadapan dengan bisikan-bisikan yang berembusan di telinga. Kembali
mendengar pekikan-pekikan yang berderum mengerumuni otak. Lantas angin menabrak
jendela, membuat B tersadar bahwa selama ini dialah badut pelawak yang gagal
melucu.
Dia melihat
pantulannya sendiri di kaca jendela.
Kamu siapa sih?
B melepas
selapis demi selapis segala yang terlihat di matanya. Dia memang jalang
hipokrit. Dia tahu, tetapi memilih tidak peduli. Dan ketika bayangan wajahnya
balas memandangi, mendadak dia merasa konyol dan tolol, bahkan sorot muram dari
mata segelap batu bara itu ikut-ikutan mengejek. Menertawakan.
Lo nggak bakal bisa kayak mereka.
Cewek bangsat memang harusnya di neraka.
Tidak ada yang
tahu. Tidak ada yang sanggup membaca.
Dan lagi-lagi B
terbahak. Dalam kekosongan dan gelak yang memantul-mantul, dia yakin, dia sudah
kehilangan hati. Dia sudah mati. Tetapi, sesuatu di sudut lain membuatnya ngilu,
mengakibatkan hawa dingin yang merambat sampai ke tulang. Tidak seorang pun
yang berusaha mengirimkan sekoci penyelamat.
Lalu dia memaki.
Aku nggak butuh dikasihani.
Dan dia semakin tenggelam. [ ]
0 komentar