[CERPEN] Remorse

Remorse
(Oleh: Amaliah Black)


Selama berhari-hari Rigel Kaiser membiarkan bokongnya kram di atas permukaan kursi fiber yang jelas-jelas tidak menawarkan kenyamanan, tetapi dia tetap duduk di sana—dekat bibir jendela yang bertabrakan langsung dengan sorot matahari membara. Tempat itu tak terlalu lapang, justru serupa kotak sabun berisi tumpukan orang-orang asing yang gemar memecah suara, terbahak, lalu melahap kudapan yang berserak di meja-meja kaca. Kaiser sengaja menyamarkan keberadaannya di balik keramaian, menumpukan dagu pada sebelah tangan, lalu memerhatikan tanpa bicara.

Beberapa orang datang dan pergi. Desing mesin espresso berderum tanpa henti. Kepingan receh berkerincing, dan para pelayan silih berganti memunguti piring-piring kotor untuk dicuci. Kaiser terus menyimak musik kehidupan itu, sesekali menertawakan ketololan orang-orang di sana dalam sunyi. Dia setengah takjub pada manusia yang bergumpalan sementara dialog-dialog murahan mulai mengisi, merayap, menggeliat laksana cacing kremi di dalam perut bayi.

What would you like, Sir?”

Kaiser menyejajarkan tatapannya pada orang yang baru saja bersuara: sesosok laki-laki dalam seragam biru yang barangkali hanya selisih tiga tahun di atasnya, berambut hitam tebal sebahu, dan memiliki mata sewarna zamrud yang menembus bagaikan peluru. Mau tidak mau, Kaiser membenahi posisi tulang belakang dengan mulut menggerutu. Dia bisa menghitung, setidaknya sudah lima kali pertanyaan itu dilontarkan padanya, dan dia selalu membalas, “Nggak, belum mau.” Tapi kali ini pantatnya keburu kesemutan, dan gelombang hangat yang merembet dari jendela terasa kian intens sehingga bulir-bulir di sekitar pelipisnya perlahan lumer sampai ke bawah dagu. Maka dengan santai Kaiser pun mengubah jawaban, “Can I get… Fuck You?”

Pelayan tersebut akhirnya tersenyum. Bibirnya yang melengkung tampak semakin ranum. Dengan cekatan, tangannya menggoyang-goyangkan mata pena di atas catatan berukuran medium. Lalu dia berkata dengan suara berat yang berirama, “With garnish? Lemon? Plum?”

Plain, please.”

Laki-laki itu mengangguk formal untuk kemudian benar-benar berbalik, bergerak dalam langkah-langkah panjang dan angkuh. Sekali lagi, situasi dalam kedai itu selalu berhasil membuat Kaiser tertawa sekaligus melenguh. Meski letaknya berada di antara deretan toko sepatu dan baru bisa ditemukan jika dicari dengan perhatian penuh, Kaiser tidak pernah mengeluh. Di sanalah tempat hari-harinya berlabuh. Tidak ada alasan khusus, dia hanya suka mengamati para pejabat yang menyantap makan siang sambil selingkuh, atau  rombongan  ibu-ibu yang berjudi dengan leher digelantungi perhiasan  disepuh. Kembali lagi dia menertawai orang-orang itu dari jauh. Duh.

 Begitu pesanannya sampai di meja, Kaiser menyodorkan delapan koin sebagai uang tip. Setelah yakin pelayan itu sudah menghilang dari pandangan, dia mengalihkan perhatian pada segelas limun yang entah mengapa disebut Fuck You, lalu menyesap tanpa berkedip.

Fuck!” Kaiser mengerang sesaat mulutnya menjauhi ujung sedotan. Dia mencecap rasa sitrus yang sepertinya ampuh untuk mencahar perut, dan sangat terkesan. Dia mengagumi papan menu yang tergantung di atas konter makanan. Ada sederet nama yang membuat gelaknya tertahan:

Fuck You.

I Am not Doing Homework.

Tomorrow is Monday.

My Boss is Ugly.

Get Off My Back.

Dan kesemuanya adalah menu andalan di kedai itu. Menyajikan citarasa baru yang sulit ditiru. Dan kesukaan Kaiser, tentu, adalah… Fuck You.

-oOo-

Pukul tiga sore, tetapi Kaiser tidak juga beranjak dari sana. Sesungguhnya dia hanya buronan yang sedang melepaskan diri dari tepian dimensi disebut realitas. Kedai itu semakin ramai saja, beberapa perempuan berbokong kencang terpaksa membiarkan pinggulnya membentur bibir meja yang penuh. Pertengkaran pun meledak, manusia-manusia berkerumun, dan berlagak seperti superhero idiot.

Kaiser membuang sedotan dan menenggak langsung minumannya dari gelas kesepuluh.

Seorang perempuan dengan kain panjang penutup kepala, berwajah tirus dengan busana biarawati sekonyong-konyong menerobos masuk. Beberapa jenak dia tertegun di depan pintu sedetik lonceng di atasnya berkerincing. Pakaiannya  yang serbaputih tampak secemerlang marmer yang baru dipel. Gadis itu seolah menyerap seluruh cahaya dan memantulkannya ke segala arah.

Tidak ada kursi yang tersisa, lalu mata gadis itu bersirobok pada sosok lelaki yang juga balas memandangi dengan mulut memagut bibir gelas.

Gadis itu berjalan dalam langkah-langkah kaku. Dia tidak memakai selop, hanya sepasang kaki bugil yang sudah tertimpa debu jalanan, lalu duduk di hadapan Kaiser tanpa berkata. Begitu pelayan menyambut panggilannya, dia langsung memesan bergelas-gelas minuman. Salah satunya Sex on the Beach. Yah, mungkin dia punya mimpi bercinta di tengah pantai. Atau sudah?

Sepanjang gadis itu meneguk tandas seluruh minuman, Kaiser merekam setiap detail yang menggurat di sana. Wajahnya tidak secantik model pakaian dalam, tidak ada desah sensual yang biasa muncul di tayangan iklan-iklan produk minuman segar. Hanya ada bunyi glek-glek-glek sewaktu kerongkongan itu naik-turun.

 “Aku ingin mabuk. Tapi nggak bisa.”

Kaiser merasa sebuah trisula menancap dadanya begitu dia mendengar suara gadis itu tiba-tiba berubah. Berat dan dalam. Mendadak dia ingin lekas melucuti pakaian biarawati itu hanya untuk memastikan.

“Sudah lima belas koktail. Tapi aku cuma kembung.”

Berkali-kali Kaiser menelan ludah. “Kamu siapa? Nama?”

“Apa itu penting?” gadis itu melotot, mencengkeram gelas kristal dalam jemari yang ramping. “Orang bertemu, menanyakan nama, lalu pergi begitu saja. Ah, persetan.”

Sontak kulit dahi Kaiser meliuk-liuk. Mungkin biarawati itu mabuk. “Kamu orang gereja?”

“HA HA HA,” tiba-tiba gadis itu tertawa kencang. Tampak satu lubang bekas geraham yang sudah tanggal di sebelah kiri langit-langit mulutnya. “Kamu benar-benar manusia.”

Ya, tentu. Terus apa lagi?

“Kenapa manusia lebih suka melihat dengan mata?”

Kaiser mengamati gadis itu mencopot kerudung, lalu menggulung rambut senada cokelat madu sampai ke belakang tengkuk. “Mata kan memang buat melihat?” tanyanya.

“Benar juga.” Gadis itu menyingkirkan sederet gelas dari hadapan, membersihkan sisa minuman di meja dengan tudung kepalanya, dan meminta pelayan yang kebetulan lewat untuk cepat-cepat membereskan. “Kira-kira itu bisa diubah, nggak?”

“Ha?”

“Misalnya, mulut untuk berak, dan hidung untuk menghirup kuah ramen.”

“Kamu siapa sih?”

Gadis itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau aku bilang… aku ini nabi? Ha-ha. Nggak percaya ya? Aku juga.”

Dia pasti sinting.

Tapi Kaiser bisa melihat mata abu-abu gelap itu berbinar seperti bijih timah. Dia mulai menerka-nerka.

Meryem?

Donna?

Hailey?

Siapa?

Gadis itu mulai mengunyah bagel yang rasanya mirip kardus. Dia tidak berminat menghabiskan potongan sisanya, jadi dia melemparkan itu ke seorang bapak-bapak yang tengah menyesap kopi dalam damai. “Dia sudah tua. Mati sajalah.”

Dan bapak-bapak itu tersedak, kemudian mati.

Kaiser membeliak pucat. Tunggu. “Sebenarnya... kamu siapa?”

“Kamu pernah melihat beruang laut memakan penguin?”

Gelengan kepala menjadi jawaban.

“Tapi kamu harus tahu,” gadis itu memperlebar senyumannya, “bahwa seluruh manusia di sini… adalah mayat yang punya nyawa. Bagaimana kalau aku meminta nyawamu sekarang?” [ ]

You Might Also Like

0 komentar