FISIP yang Belum
Puber
(Oleh: Sri Amalia Kusuma Wardani)
Berita tentang Sidang Umum Mahasiswa (SUM) yang ujug-ujug dihelat pada Bulan Ramadan nan
penuh barokah memang sedang hangat-hangatnya di telinga masyarakat FISIP Unsri.
Yep, berita tersebut bahkan kedengaran lebih kompleks ketimbang serial Uttaran
yang konon bisa mencapai 1500-an episode dalam kurun waktu tujuh tahun
berturut-turut.
Lain ladang, lain belalang. Kalau di Uttaran yang
diributkan cuma soal tikung menikung antara tim Ichcha dan tim Tapasya, FISIP Unsri
justru punya drama sendiri. Entah mana
yang protagonis dan mana yang antagonis, FISIP mendadak popular lantaran plot skenario
yang berpotensi mendapat anugerah Piala Citra. Beberapa mahasiswa tampaknya mencoba
untuk ikut terjun dalam skenario, dan sebagian sisanya memilih untuk cari aman
dan mlipir ke bawah panggung buat ngemil sambil menonton saja.
Gampang ditebak, opini pemirsa memang mudah digiring
ke mana-mana. Maka tanpa jeda atau tuma’ninah
lagi, mendadak banyak yang ikut-ikut baper selepas buka puasa. “Dasar
FISIP! Ngomongnya belajar politik, gini aja kok ribet banget. Pada gila
kekuasaan sih. Gimana nanti mau membangun Indonesia? Mahasiswa zaman sekarang
otaknya di dengkul semua ya! Cemen!”
Poor thing. FISIP memang selalu jadi kambing hitam. Sudah
jadi fakultas kecil, letaknya di tengah-tengah kebon pula, dan kasus tentang anomali
pemilihan Gubernur Mahasiswa akhir-akhir ini turut melejitkan reputasi FISIP
sebagai wadah orang-orang yang tidak jelas juntrungannya. No hard feeling, yes, karena si penulis juga termasuk orang-orang tidak
jelas itu. He-he.
Dan—jika dibandingkan fakultas eksak macam FMIPA yang
kantinnya dipenuhi para genius penghafal tabel periodik, kehidupan kantin FISIP
bisa dibilang lebih dinamis. Kadang diramaikan dengan bunyi pletak-pletok buah gaple, kadang
pula disesaki keriuhan mulut orang-orang yang saling tuding karena beda aliran.
Yaaa, harap maklum saja. Namanya juga manusia.
Tukang berantem. Berisik. Dari masalah penempelan pamflet, agama, sampai keputusan
aklamasi atau tidak, semuanya haus publikasi. Ditambah lagi beberapa akun yang
menahbiskan diri sebagai penengah dengan orasinya yang belepotan, yang menyoal
demokrasi, yang mengutip kata-kata Plato, Socrates, Aristoteles, ahli sufisme atau
bahkan Tukang Las sebelah, sukses membuat siapa pun yang membacanya jadi terpingkal-pingkal
dari mulai Ramadan sampai Lebaran tahun depan.
Gambarannya ya, sedikit-sedikit protes,
sedikit-sedikit komentar. Disengat tawon, langsung mengadu ke Istana Presiden—tidak
dihiraukan, malah ngambek sambil teriak-teriak, “Turunkan Presiden! Turunkan
Jokowey berikut antek-anteknya~”
…oke yang itu hanya guyon.
Balik lagi ke masalah kehidupan FISIP, terutama di
Universitas Sriwijaya yang telah lama menyandang predikat sebagai salah satu perguruan
tinggi terluas se-Asia Tenggara tapi
isinya hutan semua.
Kebisingan tentang Pemilihan Raya dan
tetek-bengeknya semakin menciptakan polusi suara. Masing-masing pihak lebih
doyan mengandalkan ego sendiri, alih-alih meluruskan niat untuk bergerak demi
kemajuan bersama. Kebanyakan dari kita terus-menerus dihantui ketakutan semu.
Mirip orang-orang yang parno melihat lambang palu-arit dan menganggap komunis
bakal bangkit lagi. Padahal semua itu belum tentu benar adanya.
Dan,
celakanya, beberapa pihak membiarkan diri mereka dikuasai ketakutan itu. Dan rasa pesimis memang sudah lama mengakar kuat dalam
generasi-generasi FISIP bahkan sebelum permasalahan ini pecah ke permukaan.
Akui saja, banyak dari anak FISIP yang melempem jika dihadapkan dengan
mahasiswa Fakultas Hukum yang dominan keren atau Fakultas Teknik yang
solidaritasnya tidak diragukan lagi.
Jadi wajar kalau FISIP kerap mengalami kesulitan dalam mencari jalan
tengah, karena—lagi-lagi—yang diandalkan hanyalah ego dan subjektivitas semata,
sehingga rasanya sulit untuk satu suara.
Politik yang berlaku di FISIP pun tidak ubahnya
kegiatan masturbasi. Banyak yang bernafsu menunggangi bangku kekuasaan, dan
ketika itu terwujud, yang merasakan nikmatnya hanyalah kelompok itu sendiri. Onani
intelektual terus digenjot sampai puncak, hingga terjadilah birokrasi yang
impoten, yang kehilangan taring dan tidak punya daya apa-apa.
Apabila situasi seperti itu terus dibiarkan sampai
kiamat tiba, secara tidak langsung, hal ini menunjukkan bahwa peran dan perilaku mahasiswa FISIP
baru setara balita yang belajar merangkak, karena sebagian di antaranya masih sukar membedakan mana yang opini dan mana yang fakta. Mereka yang gemar ngeyel, yang
menggempur dengan pendapat tak tentu arah tanpa diimbangi pemaknaan cover both side.
Seketika saja semuanya merasa silau akan kepentingan pribadi; yang dibentuk dalam drama imajiner bertajuk Demokrasi
FISIP. Nyatanya, kalau dipikir baik-baik, FISIP belum layak menjalankan kegiatan
demokratis dengan berlandaskan musyawarah-mufakat—persetan dengan kebebasan berpendapat dan berpikir. Masih banyak
benih-benih otoritarian, kaum puritan, calon diktator, dan propaganda busuk yang
bersliweran untuk kemudian meracuni pemikiran mahasiswa lain yang sebelumnya
tidak mengerti apa-apa.
Banyak sekali
yang harus dipangkas, terkhusus persepsi bebal yang kebanyakan masih tersumbat
dan mulut-mulut nyinyir sarat agitasi yang kerap bikin mulas. Tanggalkanlah kacamata kuda yang
selama ini dipakai. Jangan bangga karena mampu mengutarakan wacana politik ini
dan itu. Jangan bangga karena bisa meraih bangku kekuasaan lalu mengabaikan
perseteruan-perseteruan yang masih berserakan di mana-mana.
Demikianlah wajah FISIP sekarang. Jangankan dianggap
matang, pubertas saja belum kesampaian. Mengingat
usianya sudah melampaui tiga puluh tahun, gaung prestasi FISIP Unsri sama
sekali tidak terdengar. Barangkali tenggelam oleh gemuruh keributan yang itu
lagi, yang itu lagi. Atau karena bisingnya ‘politisi’ karbitan yang lebih
tertarik memberi argumen membabi-buta hanya karena ingin disebut kritis. Sama
persis aktor film panas yang bugil hanya karena ingin disebut seksi.
*)Tulisan ini sengaja dibuat sebagai bentuk pelampiasan
para apatisan yang sudah malas menghadapi drama yang entah kapan rampungnya. Semoga
cepat tamat dan berganti dengan serial baru.
2 komentar
Klimaks, tulisan ini me"muncrat"kan kondisi internal mahasiswa fisip kemarin dan terkini.
BalasHapusTulisan ini memang bertujuan untuk bikin FISIP 'ereksi' dalam konotasi baik, supaya ke depannya nggak cuma bisa ribut doang, tapi juga produktif.
BalasHapusNgomong-ngomong, terima kasih sudah berkunjung, Kak Deni. Salam kenal^^