[CATATAN] Perkembangan Indonesia dalam Kompetisi Global
- 07.18
- By Amaliah Black
- 0 Comments
Oleh: Sri Amalia Kusuma Wardani
1.
Organisasi
Klasik dan Neo-Klasik
Seluruh aspek kehidupan
bermasyarakat sesungguhnya tidak terlepas dari kegiatan organisasi. Visi, kerja sama dan sekumpulan manusia
merupakan unsur-unsur yang membentuk sebuah wadah sosialisasi di mana hal-hal
tersebut sudah diterapkan dalam peradaban jutaan tahun silam, namun baru
dikenal dengan istilah organisasi
semenjak abad ke-19. Adapun pengertian organisasi menurut para ahli:
Ø Stoner mengatakan
organisasi ialah suatu pola hubungan melalui orang atau sekelompok orang di
bawah pengarahan manajer untuk mengejar tujuan bersama.
Ø Kochler berpendapat
bahwa organisasi merupakan sebuah sistem terstruktur yang mengkoordinasikan
usaha tertentu oleh suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan.
Ø Richard Scott menjelaskan
bahwa organisasi adalah kolektivitas yang disengaja dan dibentuk untuk mencapai
suatu tujuan tertentu berdasarkan pada asas kelangsungan.
Ø Stephen P. Robbins memandang
organisasi sebagai suatu kesatuan sosial yang dikoordinasikan dengan
batasan-batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerja terus menerus
untuk mencapai tujuan bersama.
Ø James D. Mooney berpendapat
bahwa organisasi tidak lain ialah bentuk perserikatan orang untuk mencapai
tujuan yang telah disepakati.
Organisasi berangsur
mengalami evolusi seiring berjalannya waktu, hingga pada akhirnya disimpulkan
bahwa ada beberapa tahap dalam fase perkembangan teori organisasi, yakni
organisasi klasik, modern dan post-modern.
Awal mulanya, organisasi klasik berisi konsep-konsep dasar
tentang tugas yang terpusat, kekuasaan-kekuasaan, struktur-struktur, dan
pembagian wewenang secara jelas. Belum adanya elemen kreatifitas membuat
organisasi pada era ini bersifat kaku. Dalam teori ini, organisasi klasik
memiliki tiga aliran, yaitu teori
birokrasi oleh Max Weber, teori
administrasi oleh Henri Fayol, dan manajemen
ilmiah yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Organisasi pada fase ini
sepenuhnya hanya menjabarkan unsur-unsur yang tersusun dalam organisasi secara
formal, yang kemudian menjadi karakteristik organisasi klasik. Berikut adalah
poin-poin penting akan komponen pembentuk organisasi klasik;
·
Sistem kegiatan yang terkoordinasi
·
Kerja sama yang dilakukan sekelompok
orang
·
Kekuasaan
·
Struktur dan pembagian wewenang
·
Sentralisasi (memusat)
Jadi, organisasi klasik
cenderung berdasarkan pada kerja sama yang bersifat struktural dan hierarki
(bertingkat) demi menjaga hubungan tersebut untuk tetap stabil yang justru
menimbulkan kesan bahwa organisasi hanya mampu menghasilkan sebuah stagnansi (jalan
di tempat), atau yang kerap dikatakan orang-orang awam sebagai ‘kemandekan’.
Akibat kelemahan inilah teori neo-klasik
akhirnya dicetuskan. Dalam tahap ini, pembaharuan terhadap konsep-konsep
yang ada dilakukan dengan cara menganalisis perilaku-perilaku manusia yang
terlibat dalam sebuah organisasi. Sehingga, organisasi tidak semata-mata hanya dipandang
melalui sisi mesin saja, tetapi juga dalam sudut pandang kemanusiaan. Teori ini
menekankan pada ‘pentingnya aspek psikologis dan sosial karyawan sebagai individu
ataupun kelompok kerja’. Dan berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa norma sosial merupakan kunci penentu perilaku kerja
seseorang.
Akan
tetapi, teori neo-klasik tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan dalam
perkembangan organisasi. Atas ketidakpuasan inilah, kedua teori tersebut dikritisi
oleh teori modern yang melihat bahwa
organisasi bukanlah suatu sistem tertutup yang hanya berkaitan dengan
stabilitas lingkungan
2.
Kemunculan
Teori Modern dan Post-Modern
Para pemerhati
teori modern lebih menitikberatkan pada sifat-sifat politis sebuah organisasi.
Apabila teori organisasi klasik menekankan perspektifnya pada analisa dan
deskripsi organisasi, maka pada fase ini, organisasi dianggap sebagai hasil
sintesa (perpaduan) dan desain (perancangan) yang menjadikan pemenuhan suatu
kebutuhan menyeluruh, sehingga organisasi dapat bergerak dinamis dan memiliki
daya menyesuaikan diri dengan lingkungan baik secara internal maupun eksternal.
Kreatifitas mulai dikembangkan dalam tahap ini. Adanya perbaikan atas teori
organisasi klasik yang dilakukan pendukung-pendukung teori modern ini
menjadikan organisasi mulai dipandang sebagai wadah yang memainkan peran
penting dalam proses perubahan lingkungan. Jadi, dalam fase ini, organisasi
bukan semata-mata bicara soal struktur, pembagian kekuasaan, maupun
elemen-elemen yang bersifat rigid, namun juga melakukan pendekatan-pendekatan
perilaku di mana organisasi dituntut untuk dapat mengenali potensi seorang
anggota baik secara individualistik dan peoplistic
(kelompok sosial) dalam rangka melakukan perubahan sistem dan lingkungan.
Lalu,
teori modern tersebut disempurnakan oleh beberapa tokoh visioner melalui teori post-modern. Mereka menganggap bahwa sebuah organisasi mampu menciptakan
gelombang perubahan yang besar dan pesat. Apabila pada teori organisasi klasik
maupun teori modern yang dibicarakan hanya persoalan sistem, kinerja, proses
dan tujuan-tujuan bersama, maka pada fase post-modern, organisasi bukanlah
sekadar alat, melainkan juga sebagai sebuah pencerminan nilai-nilai dan
kepribadian dari sebuah bisnis, sebuah usaha nirlaba, sebuah badan pemerintah
yang sekaligus ditentukan oleh hasil-hasil usaha itu sendiri. Pergeseran
paradigma ini menjadikan organisasi terwadahi secara longgar, memiliki
likuiditas (cair), dan tidak statis. Post-modern juga mengajarkan bahwa
kepemimpinan yang dilakukan semestinya berbentuk pelayanan—bukan penguasa yang
hipokrit, di mana pemimpin pada tahap ini harus mampu menyesuaikan diri dengan
bawahan, mendukung kelompok perempuan dan minoritas, berpusat pada
anggota-anggota yang terhimpun, dan memiliki pemikiran jangka panjang.
Post-modern sesungguhnya merupakan
konsep yang memadu-padankan isi dari ketiga teori sebelumnya, lalu dikembangkan
dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Pada tahap ini, organisasi sepenuhnya
menerapkan konsep-konsep modernisasi seperti sistem kontrol yang tidak lagi
didasari pada ‘rasa takut’ melainkan pada kesadaran masing-masing. Cara pemikiran
di era post-modern ini ialah pluralitas. Namun sejauh ini, teori post-modern
masih menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan praktisi.
3.
Indonesia
dalam Perspektif Organisasi
Berdasarkan keempat teori di atas, ada sedikit kesulitan untuk menentukan teori organisasi mana yang mutlak diterapkan dalam sistem di Indonesia. Akan tetapi, secara umum, organisasi-organisasi yang berdiri di Indonesia pada saat ini kebanyakan dipengaruhi oleh pemikiran teori klasik maupun modern. Belum sampai mencapai taraf post-modern tentu saja, sebab kehidupan masyarakat Indonesia masih terbilang ‘baru’ akan sentuhan arus modernisasi.
Menoleh ke belakang
sebentar, ketika mengamati proses pemerintahan di bawah rezim Orde Baru,
nilai-nilai yang dipakai cenderung kepada teori organisasi klasik di mana sifat
birokratis di masa itu masih teramat kental. Adanya pemusatan kekuasaan dan
lingkungan yang stabil menunjukkan bahwa Indonesia baru mencapai tahap tradisional
sehingga aktivitas-aktivitas yang mewarnai masa itu terlihat kaku dan statis.
Namun lambat-laun, Indonesia mulai mengalami kemajuan. Tumbangnya kepemimpinan
Soeharto dan lahirnya era Reformasi menjadi titik balik akan kehidupan
organisasi di Indonesia. Kebebasan dalam menuangkan aspirasi yang diberlakukan
secara tidak langsung telah mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan
ragam inovasi dan pembaharuan dalam berbagai sektor. Kecanggihan teknologi dan
pesatnya penyebaran informasi turut mendukung proses pembaharuan-pembaharuan
tersebut, dan bisa saja suatu hari nanti Indonesia mampu menerapkan
sistem-sistem yang berlandaskan pemikiran a la post-modern, sebagaimana yang
tengah diupayakan oleh negara-negara Barat dewasa ini.
Sayangnya,
untuk merambah ke tahap post-modern, Indonesia membutuhkan waktu yang cukup
panjang untuk mempersiapkan diri. Baik secara mental maupun material. Sebab
perubahan memang tidak bisa serta-merta dilakukan. Dalam aspek kepemimpinan,
teori post-modern memusatkan perhatian pada kepemimpinan yang bersifat
‘melayani’—yang berarti para pemimpin harus siap terjun langsung menghadapi
permasalahan yang ada, memberi peluang kepada kaum perempuan dan minoritas
untuk terlibat dalam sistem, dan bergerak berdasarkan kesepakatan (tidak satu
pihak). Maka dari itu, dapat terlihat di sini bahwa Joko Widodo selaku Presiden
Indonesia sedang berusaha mengimplementasikan gaya kepemimpinan pragmatis a la
teori post-modern tersebut. Di mana beliau tidak hanya bekerja di belakang
meja, namun turut melibatkan diri secara interpersonal. Pun dalam keputusannya
yang menetapkan Panitia Seleksi KPK yang seluruhnya perempuan. Ini telah
menunjukkan bahwa Indonesia tengah bergerak ke arah post-modern, namun kendala
yang paling fundamental adalah pola pikir masyarakat yang masih mengacu pada
cara-cara tradisional. Meluasnya wabah ‘rakyat penggerutu’ menjadi hambatan
besar bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan yang sudah terburu jauh dari
negara-negara lain.
4.
Indonesia
dalam Kompetisi Global
Organisasi abad ke-21
ditandai dengan tanggung jawab, otonomi, risiko, dan ketidakpastian. Ini
mungkin bukan suatu lingkungan yang menyenangkan, namun merupakan lingkungan
yang manusiawi. Realistis. Lenyap sudah kekakuan dan disiplin yang kuno dari
perilaku-perilaku konvensional, di mana pada masa kini Indonesia sesungguhnya
tengah menghadapi dunia yang dipenuhi kesemrawutan, tantangan, dan kekecewaan.
Maka dari itu, untuk
menunjang Indonesia agar mampu mengatasi rintangan-rintangan yang ada, sangat
dibutuhkan talent yang potensial. Talent-talent tersebut berasal dari para
individu yang memiliki kecerdasan dalam memproyeksi keadaan dan mencari solusi
atas permasalahan yang berkemungkinan timbul akibat keadaan tersebut. Sedangkan
kenyataannya, Indonesia hanya dipenuhi oleh individu-individu yang lebih
berorientasi pada pengetahuan dan teori-teori belaka (knowledge-workers), sehingga mengabaikan efesiensi dan inovasi
lantaran terpaku pada teori-teori lama. Berbeda dengan orang-orang yang hanya
berorientasi pada pengetahuan, para talent
akan mampu menghasilkan kinerja terbaik hanya dengan menjadi diri
sendiri—yang kemudian mereka akan berpikir dan bertindak inovatif. Orang-orang
yang memilik talenta mempunyai kemampuan dalam menciptakan interaksi yang
positif, apresiatif, dan sinergis. Di sinilah letak pengaruh organisasi dalam
memunculkan talent-talent tersebut,
karena tidak sedikit dari mereka yang enggan menunjukkan bakatnya secara
terang-terangan.
Merujuk dari pemikiran
Subir Chowdhury dalam bukunya yang bertajuk ‘21C Organization: Someday All
Organizations Will Lead This Way’—atau dalam versi terjemahannya berjudul
‘Organisasi Abad 21: Semua Organisasi Akan Melalui Ini’, yang menjadi
permasalahan utama dalam organisasi maupun perusahaan ialah kinerja para
karyawan. Sebab, keberhasilan suatu bisnis sesungguhnya ditentukan oleh bakat
dan kemampuan para pegawai. Terdapat perbedaan antara orang-orang berbakat (talents) dan orang-orang pekerja ilmu
pengetahuan (knowledge-workers):
· Talents
membuat
dan melanggar aturan; Knowledge Workers
mempertahankan aturan;
· Talents
menciptakan;
Knowledge Workers menerapkan;
· Talents
memprediksi
perubahan; Knowledge Workers mendukung
perubahan;
· Talents
berinovasi;
Knowledge Workers mempelajari;
· Talents
mengarahkan;
Knowledge Workers bertindak; dan,
· Talents
menginspirasi
dan mengangkat masyarakat; Knowledge
Workers menerima informasi serta motivasi.
Ada beberapa pemikiran
masyarakat Indonesia yang sudah semestinya diluruskan kembali; tingkat
pendidikan belum tentu menjamin seseorang memiliki bakat, begitu pula
sebaliknya. Jadi, permasalahan vital yang dihadapi Indonesia sesungguhnya
adalah kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, baik secara pemikiran
maupun perilaku.
Padahal kita semua
tahu, untuk melangkah menuju kompetisi global yang sangat ketat, Indonesia
memerlukan masyarakat yang inovatif dan proaktif. Bukan masyarakat yang
cenderung latah; lebih senang ikut-ikutan tren daripada menonjolkan diri dengan
menjadi berbeda. Kurangnya keberanian dalam mengambil risiko inilah yang membuat
masyarakat Indonesia kerap terombang-ambing akibat ‘pukulan gelombang’ yang
dilancarkan oleh negara-negara berbasis inovasi, seperti Amerika Serikat
ataupun Jepang, misalnya.
Pun
terlihat dari perilaku-perilaku manusia di Indonesia baik secara individual
maupun kolektif. Untuk menilai fenomena tersebut, ada tiga indikator yang
menjadi tolak ukurnya, yakni indeks
persaingan global, indeks pembangunan manusia, dan sistem informasi geografis.
a)
Indeks
Persaingan Global (Global
Competitiveness Index)
Dalam laporan Global Competitiveness Index
yang dipaparkan oleh World Economy Forum periode 2013-2014, perekonomian
Indonesia dianggap mengalami perkembangan pesat dan dinamis. Kendati demikian, meningkatnya
laju perekonomian tidak lantas membuat sumber daya manusia Indonesia turut
bergerak progresif. Seperti yang terekam dalam data, tiga permasalahan teratas
yang melilit negara ini ialah tingkat korupsi yang melejit hingga mencapai
19,3%, tidak efisiennya birokrasi pemerintahan yang menempati posisi kedua
dengan persentase sebanyak 15%, dan masalah persediaan infrastruktur yang
kurang memadai diperkirakan berjumlah 9,1%.
Apabila dibanding Turki
yang memperoleh peringkat di bawah Indonesia dalam sektor perekonomian,
permasalahan yang mendominasi di justru berupa angka rate pajak yang tinggi. Lalu disusul dengan perkara birokrasi yang
tidak efisien sebanyak 12,4% dan kurangnya penyediaan infrastruktur sebesar
7,8%. Persentase tersebut nyatanya masih berada di bawah Indonesia. Kemudian,
bagaimana dengan perilaku koruptif yang terjadi di Turki? Hanya mencapai 2,4%,
yang jelas-jelas Indonesia enam kali lipat lebih unggul dalam hal ini.
Ketika
negara-negara lain mengalami kendala di bidang usaha lantaran kebijakan yang
kurang tepat atau sistem politik yang tidak stabil, Indonesia justru memperoleh
hambatan dari para manusia-manusianya yang lebih mengorientasikan hidup kepada
materialisme. Semuanya serba diukur dengan uang. Tidak perlu malu-malu mengakui
bahwa akar dari seluruh masalah yang bergolak di negeri ini sesungguhnya
bersumber dari tindakan korupsi. Berbelit-belitnya proses birokrasi yang kerap
ditemui pun tentu saja dilatarbelakangi dengan ‘urusan duit’. Tidak hanya
sebatas itu. Minimnya pasokan infrastruktur di Indonesia bukan lantaran negara
tersebut kekurangan sumber daya, melainkan karena sedikitnya eksistensi
sekelompok manusia yang memang benar-benar berniat membangun. Jadi sekali lagi,
permasalahan yang paling mendasar dalam konteks ini ialah sumber daya manusia
yang secara harafiah belum kompeten untuk menghadapi kompetisi global yang
melibatkan negara-negara dari seluruh dunia.
b)
Indeks
Pembangunan Manusia (Human
Development Index)
Indeks Pembangunan
Manusia merupakan kombinasi antara kesehatan, kekayaan dan pendidikan. Menurut
laporan terakhir dari United Nations Development Program (UNDP) di tahun 2014,
Indonesia menempati urutan ke 108 dari 187 negara di dunia—sama sekali tidak
berubah dengan tahun-tahun sebelumnya. Laporan tersebut menunjukkan indeks
0,684 di mana jumlahnya meningkat dibanding skor Indonesia di tahun lalu yang
hanya sebesar 0,681. UNDP melaporkan rata-rata harapan hidup di Indonesia
mencapai 70,8 tahun, 12,7 diperkirakan merupakan umur memasuki tingkat sekolah.
Nilai maksimum yang ditetapkan untuk parameter waktu yang diharapkan untuk
bersekolah adalah 18 tahun.
Sementara Turki
menempati peringkati 69—masih tergolong dalam pembangunan manusia yang tinggi (high human development), jauh di atas
Indonesia. Skor indeks yang diperoleh Turki ialah 0,759. Melihat perbandingan
jumlah populasi dan pendapatan per kapita antara Indonesia (242,3 juta dan
3,592 US$) dan Turki (73,6 juta dan 10,609 US$), hal ini dapat memberi
kesimpulan bahwa jumlah populasi menjadi faktor paling utama dalam menentukan
tingkat pendapatan per kapita. Semakin banyak populasi yang hidup di sebuah
negara, besar kemungkinan pendapatan per kapita yang dihasilkan mendapat
pengaruh. Apabila populasi-populasi tersebut memiliki daya saing yang kuat,
inovatif dan bermental kompetitif, tentu besaran jumlah mereka dapat memberi
peluang peningkatan GDP. Akan tetapi, jika populasi yang terhimpun bersikap
pasif dan tidak mempunyai inisiatif untuk mewujudkan kesejahteraan, maka
kemungkinan buruk akan terjadi. Dan hal ini terbukti dari pengalaman Indonesia
sebagai negara dengan penduduk terbanyak nomor empat di dunia.
Standar
hidup Indonesia yang masih rendah menyebabkan tingkat
kemiskinan dan kriminalitas meningkat, namun peluang kerja yang ada justru
menyempit. Maraknya pemukiman liar, anak-anak jalanan yang putus sekolah dan
sistem klasik yang tidak juga dirombak kian memberi dampak besar dalam
merosotnya tingkat pertumbuhan pendapatan nasional.
Problem eksistensi
manusia ini semakin parah akibat beragam bencana dan polemik yang menyelimuti
bangsa. Krisis esksistensi manusia ini secara tidak langsung telah mengancam
seluruh modal baik berupa potensi alamiah yang tersedia maupun modal secara
materi fisik yang sudah ada. Bahkan jika ini dibiarkan dalam jangka panjang,
hal tesebut dapat mengancam aspek sosial kapital yang telah lama menjadi trademark kita sebagai banga yang
toleran, solidaritas dan menghargai kemajemukan.
c)
Sistem
Informasi Geografis
Teknologi GIS atau
Sistem Informasi Geografis ini dapat digunakan untuk investigasi ilmiah,
pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan
rute. Sejak mewabahnya proses globalisasi, lambat-laun Indonesia mulai
mengadaptasi teknologi ini ke dalam program-program kerja pemerintahan dalam
rangka menentukan kebijakan yang tepat. Pemanfaatan teknologi tersebut
diberlakukan dalam proses perencanaan wilayah, perencanaan tata guna serta
pemetaan secara akurat dan detail.
Pada tahun 2014, GIS
telah menjadi proyek tahunan terkait adanya pemekaran di beberapa wilayah.
Sejauh ini, Indonesia telah menetapkan model-model GISI untik empat kabupaten
di dua provinsi, yakni Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Merangin Jambi,
serta Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat
(gp.mca-indonesia.go.id/plup).
Sedangkan
negara Turki lagi-lagi melampaui kecanggihan teknologi yang baru berkembang di
Indonesia. Sebagai negara yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Eropa,
Turki telah menerapkan sistem kadaster berbentuk 3D. Sistem informasi geografis
dan penginderaan jauh di Turki sudah mampu mengatasi polusi suara yang
mencemari lingkungan, di mana suara-suara tersebut dianggap bising dan dapat
menimbulkan kesehatan fisiologis manusia terkhusus pada organ telinga. Dengan
menggunakan satelit-satelit, seluruh aktivitas yang terjadi di negara Turki
dapat diproyeksi sehingga keributan lalu lintas dapat dipetakan dengan mudah.
5.
Rekomendasi
untuk Masyarakat dan Negara Indonesia
Pada dasarnya, Indonesia
merupakan negara yang dibekali potensi alam melimpah ruah. Tidak menutup
kemungkinan bagi bangsa ini untuk berkembang dan melangkah maju lalu pada
akhirnya dapat sejajar dengan negara-negara superpower
seperti di Eropa maupun Amerika Serikat. Akan tetapi, lagi-lagi saya
katakana, yang menjadi sumber permasalahan dari segenap kesemrawutan negara ini
berasal dari masyarakat-masyarakatnya yang kebanyakan masih bersikap
konservatif. Padahal untuk menuju organisasi masa depan yang dipenuhi banyak
tantangan dan risiko, dibutuhkan keberanian serta kecerdasan dalam mencari
inisiatif guna melalui rintangan-rintangan tersebut. Semakin berkembangnya
zaman, tekanan-tekanan yang dirasakan pun turut semakin besar. Oleh sebab itu, langkah
pertama yang harus diambil dalam membenahi kehidupan Indonesia yang disesaki tragedi
dan ironi ialah merombak kembali nilai-nilai dasar yang telah tertanam dalam
konsep pemikiran yang ada, menyesuaikan kembali nilai-nilai tersebut, dan
menerapkan pembaharuan itu sebagai bentuk keyakinan akan perubahan Indonesia ke
arah yang progresif dan inovatif.
Tidak perlu jauh-jauh
membayangkan problem yang lebih kompleks, kita lihat saja beberapa sektor yang
sifatnya struktural di negeri ini. Indonesia sesungguhnya masih berada dalam
tahap Organisasi Klasik, meskipun beberapa di antaranya berupaya menerapkan
Teori Modern secara utuh. Diukur dari bagaimana pembagian-pembagian kerja tampak
jelas dan cenderung hierarkis, Indonesia masih belum ‘cukup umur’ untuk turut
berpartisipasi dalam persaingan global yang melibatkan negara-negara maju—di
mana mereka sedang berkembang ke arah post-modern.
Seperti contohnya saja
pada sektor pendidikan. Indonesia sesungguhnya masih menerapkan langkah-langkah
normatif alih-alih memberi pembelajaran untuk berlaku inovatif. Para pendidik
pun rata-rata hanya menggunakan pemikiran a la textbook, menekankan siswanya untuk bertingkah sesuai apa yang
dipaparkan melalui teori-teori yang ada, dan secara tidak langsung merasa memiliki
kewenangan atas hasil akhir siswanya. Sehingga peserta didik hanya berorientasi
pada nilai, berusaha untuk mematuhi apa yang diperintahkan lantaran sikap staff
pengajar yang cenderung mengintimidasi dengan
nilai sebagai indikator kelulusan. Pada akhirnya pola pikir pelajar di
Indonesia hanya semata-mata mengharapkan nilai tinggi, sehingga jangkauan
pemikiran mereka sangat sempit. Berbanding terbalik dengan gaya pembelajaran di
negara-negara maju, batasan para pendidik dan peserta didik tidak begitu ditegaskan. Keduanya
berinteraksi secara mutualisme. Pendidik tidak serta-merta mendoktrin muridnya
untuk lulus dengan nilai tertinggi tanpa adanya rasa peduli pada kehidupan dan
psikologis si murid itu sendiri. Di negara maju, mereka menerapkan sistem mentoring, terkhusus di level perguruan
tinggi. Hubungan antara dosen dan mahasiswa terjalin akrab. Kedua belah pihak
bisa saling berbagi, bertukar pikiran dan memecahkan solusi bersama-sama tanpa
perlunya tekanan-tekanan mental, sehingga para mahasiswa memperoleh ruang untuk
berpikir sendiri, mendapat peluang untuk menciptakan sesuatu pembaharuan
(inovasi) atas bimbingan para dosen yang sengaja mendedikasikan diri untuk
kehidupan mahasiswanya di kemudian hari. Tidak mengherankan apabila
akademisi-akademisi yang populer kebanyakan berasal dari negara Barat, di mana
dalam hal kemasyarakatan mereka cenderung fleksibel. Berbeda dengan realitas
yang tercermin di Indonesia, di mana dosen-dosen sengaja bersikap ‘rigid’ di
kelas dengan tujuan memberi kesan ‘disegani dan dihormati’ di hadapan
mahasiswanya. Padahal itu merupakan persepsi yang melambangkan citra kehidupan
otoritarian; diktator, yang tentu tidak berlaku lagi dalam kehidupan demokratis
dewasa ini.
Karena pada dasarnya
orang-orang Indonesia lebih mengacu kepada studying by listening instead of learning by doing. Jadi, peserta didik Indonesia
lebih condong dengan teori-teori yang mereka dengarkan, gagasan-gagasan para
tokoh yang dipaparkan, ketimbang memahami materi yang ada lalu mempraktikannya
di lapangan secara langsung. Sistem belajar-mengajar di Indonesia juga masih
terbilang konvensional. Ketika para mahasiswa-mahasiswi di negara-negara maju
sudah menggunakan kecanggihan teknologi seperti jaringan internet untuk
mengerjakan tugas dan mengumpulkannya kepada dosen pengasuh melalui e-mail, mahasiswa-mahasiswi Indonesia (khususnya Unsri) justru masih mempraktikkan cara kuno, yakni masih mengacu pada buku-buku tebal
sebagai referensi dan dikumpulkan dalam bentuk cetakan kertas di mana nilai
efektifitas dan efisiensinya menjadi minim.
[ ]
0 komentar