[CATATAN] Perkembangan Indonesia dalam Kompetisi Global

Oleh: Sri Amalia Kusuma Wardani

1.      Organisasi Klasik dan Neo-Klasik

Seluruh aspek kehidupan bermasyarakat sesungguhnya tidak terlepas dari kegiatan organisasi.  Visi, kerja sama dan sekumpulan manusia merupakan unsur-unsur yang membentuk sebuah wadah sosialisasi di mana hal-hal tersebut sudah diterapkan dalam peradaban jutaan tahun silam, namun baru dikenal dengan istilah organisasi semenjak abad ke-19. Adapun pengertian organisasi menurut para ahli:

Ø  Stoner mengatakan organisasi ialah suatu pola hubungan melalui orang atau sekelompok orang di bawah pengarahan manajer untuk mengejar tujuan bersama.
Ø Kochler berpendapat bahwa organisasi merupakan sebuah sistem terstruktur yang mengkoordinasikan usaha tertentu oleh suatu kelompok orang untuk mencapai tujuan.
Ø Richard Scott menjelaskan bahwa organisasi adalah kolektivitas yang disengaja dan dibentuk untuk mencapai suatu tujuan tertentu berdasarkan pada asas kelangsungan.
Ø Stephen P. Robbins memandang organisasi sebagai suatu kesatuan sosial yang dikoordinasikan dengan batasan-batasan yang relatif dapat diidentifikasi dan bekerja terus menerus untuk mencapai tujuan bersama.
Ø  James D. Mooney berpendapat bahwa organisasi tidak lain ialah bentuk perserikatan orang untuk mencapai tujuan yang telah disepakati.

Organisasi berangsur mengalami evolusi seiring berjalannya waktu, hingga pada akhirnya disimpulkan bahwa ada beberapa tahap dalam fase perkembangan teori organisasi, yakni organisasi klasik, modern dan post-modern.

Awal mulanya, organisasi klasik berisi konsep-konsep dasar tentang tugas yang terpusat, kekuasaan-kekuasaan, struktur-struktur, dan pembagian wewenang secara jelas. Belum adanya elemen kreatifitas membuat organisasi pada era ini bersifat kaku. Dalam teori ini, organisasi klasik memiliki tiga aliran, yaitu teori birokrasi oleh Max Weber, teori administrasi oleh Henri Fayol, dan manajemen ilmiah yang dikembangkan oleh Frederick Taylor. Organisasi pada fase ini sepenuhnya hanya menjabarkan unsur-unsur yang tersusun dalam organisasi secara formal, yang kemudian menjadi karakteristik organisasi klasik. Berikut adalah poin-poin penting akan komponen pembentuk organisasi klasik;
·         Sistem kegiatan yang terkoordinasi
·         Kerja sama yang dilakukan sekelompok orang
·         Kekuasaan
·         Struktur dan pembagian wewenang
·         Sentralisasi (memusat)

Jadi, organisasi klasik cenderung berdasarkan pada kerja sama yang bersifat struktural dan hierarki (bertingkat) demi menjaga hubungan tersebut untuk tetap stabil yang justru menimbulkan kesan bahwa organisasi hanya mampu menghasilkan sebuah stagnansi (jalan di tempat), atau yang kerap dikatakan orang-orang awam sebagai ‘kemandekan’. Akibat kelemahan inilah teori neo-klasik akhirnya dicetuskan. Dalam tahap ini, pembaharuan terhadap konsep-konsep yang ada dilakukan dengan cara menganalisis perilaku-perilaku manusia yang terlibat dalam sebuah organisasi. Sehingga, organisasi tidak semata-mata hanya dipandang melalui sisi mesin saja, tetapi juga dalam sudut pandang kemanusiaan. Teori ini menekankan pada ‘pentingnya aspek psikologis dan sosial karyawan sebagai individu ataupun kelompok kerja’. Dan berdasarkan pendekatan-pendekatan tersebut, dapat disimpulkan bahwa norma sosial merupakan kunci penentu perilaku kerja seseorang.

Akan tetapi, teori neo-klasik tidak terlalu memiliki pengaruh yang signifikan dalam perkembangan organisasi. Atas ketidakpuasan inilah, kedua teori tersebut dikritisi oleh teori modern yang melihat bahwa organisasi bukanlah suatu sistem tertutup yang hanya berkaitan dengan stabilitas lingkungan

2.      Kemunculan Teori Modern dan Post-Modern

Para pemerhati teori modern lebih menitikberatkan pada sifat-sifat politis sebuah organisasi. Apabila teori organisasi klasik menekankan perspektifnya pada analisa dan deskripsi organisasi, maka pada fase ini, organisasi dianggap sebagai hasil sintesa (perpaduan) dan desain (perancangan) yang menjadikan pemenuhan suatu kebutuhan menyeluruh, sehingga organisasi dapat bergerak dinamis dan memiliki daya menyesuaikan diri dengan lingkungan baik secara internal maupun eksternal. Kreatifitas mulai dikembangkan dalam tahap ini. Adanya perbaikan atas teori organisasi klasik yang dilakukan pendukung-pendukung teori modern ini menjadikan organisasi mulai dipandang sebagai wadah yang memainkan peran penting dalam proses perubahan lingkungan. Jadi, dalam fase ini, organisasi bukan semata-mata bicara soal struktur, pembagian kekuasaan, maupun elemen-elemen yang bersifat rigid, namun juga melakukan pendekatan-pendekatan perilaku di mana organisasi dituntut untuk dapat mengenali potensi seorang anggota baik secara individualistik dan peoplistic (kelompok sosial) dalam rangka melakukan perubahan sistem dan lingkungan.
Lalu, teori modern tersebut disempurnakan oleh beberapa tokoh visioner melalui teori post-modern. Mereka menganggap bahwa sebuah organisasi mampu menciptakan gelombang perubahan yang besar dan pesat. Apabila pada teori organisasi klasik maupun teori modern yang dibicarakan hanya persoalan sistem, kinerja, proses dan tujuan-tujuan bersama, maka pada fase post-modern, organisasi bukanlah sekadar alat, melainkan juga sebagai sebuah pencerminan nilai-nilai dan kepribadian dari sebuah bisnis, sebuah usaha nirlaba, sebuah badan pemerintah yang sekaligus ditentukan oleh hasil-hasil usaha itu sendiri. Pergeseran paradigma ini menjadikan organisasi terwadahi secara longgar, memiliki likuiditas (cair), dan tidak statis. Post-modern juga mengajarkan bahwa kepemimpinan yang dilakukan semestinya berbentuk pelayanan—bukan penguasa yang hipokrit, di mana pemimpin pada tahap ini harus mampu menyesuaikan diri dengan bawahan, mendukung kelompok perempuan dan minoritas, berpusat pada anggota-anggota yang terhimpun, dan memiliki pemikiran jangka panjang.
Post-modern sesungguhnya merupakan konsep yang memadu-padankan isi dari ketiga teori sebelumnya, lalu dikembangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan zaman. Pada tahap ini, organisasi sepenuhnya menerapkan konsep-konsep modernisasi seperti sistem kontrol yang tidak lagi didasari pada ‘rasa takut’ melainkan pada kesadaran masing-masing. Cara pemikiran di era post-modern ini ialah pluralitas. Namun sejauh ini, teori post-modern masih menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan praktisi.
 3.      Indonesia dalam Perspektif Organisasi

Berdasarkan keempat teori di atas, ada sedikit kesulitan untuk menentukan teori organisasi mana yang mutlak diterapkan dalam sistem di Indonesia. Akan tetapi, secara umum, organisasi-organisasi yang berdiri di Indonesia pada saat ini kebanyakan dipengaruhi oleh pemikiran teori klasik maupun modern. Belum sampai mencapai taraf post-modern tentu saja, sebab kehidupan masyarakat Indonesia masih terbilang ‘baru’ akan sentuhan arus modernisasi.
Menoleh ke belakang sebentar, ketika mengamati proses pemerintahan di bawah rezim Orde Baru, nilai-nilai yang dipakai cenderung kepada teori organisasi klasik di mana sifat birokratis di masa itu masih teramat kental. Adanya pemusatan kekuasaan dan lingkungan yang stabil menunjukkan bahwa Indonesia baru mencapai tahap tradisional sehingga aktivitas-aktivitas yang mewarnai masa itu terlihat kaku dan statis. Namun lambat-laun, Indonesia mulai mengalami kemajuan. Tumbangnya kepemimpinan Soeharto dan lahirnya era Reformasi menjadi titik balik akan kehidupan organisasi di Indonesia. Kebebasan dalam menuangkan aspirasi yang diberlakukan secara tidak langsung telah mendorong masyarakat Indonesia untuk melakukan ragam inovasi dan pembaharuan dalam berbagai sektor. Kecanggihan teknologi dan pesatnya penyebaran informasi turut mendukung proses pembaharuan-pembaharuan tersebut, dan bisa saja suatu hari nanti Indonesia mampu menerapkan sistem-sistem yang berlandaskan pemikiran a la post-modern, sebagaimana yang tengah diupayakan oleh negara-negara Barat dewasa ini.

Sayangnya, untuk merambah ke tahap post-modern, Indonesia membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan diri. Baik secara mental maupun material. Sebab perubahan memang tidak bisa serta-merta dilakukan. Dalam aspek kepemimpinan, teori post-modern memusatkan perhatian pada kepemimpinan yang bersifat ‘melayani’—yang berarti para pemimpin harus siap terjun langsung menghadapi permasalahan yang ada, memberi peluang kepada kaum perempuan dan minoritas untuk terlibat dalam sistem, dan bergerak berdasarkan kesepakatan (tidak satu pihak). Maka dari itu, dapat terlihat di sini bahwa Joko Widodo selaku Presiden Indonesia sedang berusaha mengimplementasikan gaya kepemimpinan pragmatis a la teori post-modern tersebut. Di mana beliau tidak hanya bekerja di belakang meja, namun turut melibatkan diri secara interpersonal. Pun dalam keputusannya yang menetapkan Panitia Seleksi KPK yang seluruhnya perempuan. Ini telah menunjukkan bahwa Indonesia tengah bergerak ke arah post-modern, namun kendala yang paling fundamental adalah pola pikir masyarakat yang masih mengacu pada cara-cara tradisional. Meluasnya wabah ‘rakyat penggerutu’ menjadi hambatan besar bagi Indonesia untuk mengejar ketertinggalan yang sudah terburu jauh dari negara-negara lain.

4.      Indonesia dalam Kompetisi Global

Organisasi abad ke-21 ditandai dengan tanggung jawab, otonomi, risiko, dan ketidakpastian. Ini mungkin bukan suatu lingkungan yang menyenangkan, namun merupakan lingkungan yang manusiawi. Realistis. Lenyap sudah kekakuan dan disiplin yang kuno dari perilaku-perilaku konvensional, di mana pada masa kini Indonesia sesungguhnya tengah menghadapi dunia yang dipenuhi kesemrawutan, tantangan, dan kekecewaan.

Maka dari itu, untuk menunjang Indonesia agar mampu mengatasi rintangan-rintangan yang ada, sangat dibutuhkan talent yang potensial. Talent-talent tersebut berasal dari para individu yang memiliki kecerdasan dalam memproyeksi keadaan dan mencari solusi atas permasalahan yang berkemungkinan timbul akibat keadaan tersebut. Sedangkan kenyataannya, Indonesia hanya dipenuhi oleh individu-individu yang lebih berorientasi pada pengetahuan dan teori-teori belaka (knowledge-workers), sehingga mengabaikan efesiensi dan inovasi lantaran terpaku pada teori-teori lama. Berbeda dengan orang-orang yang hanya berorientasi pada pengetahuan, para talent akan mampu menghasilkan kinerja terbaik hanya dengan menjadi diri sendiri—yang kemudian mereka akan berpikir dan bertindak inovatif. Orang-orang yang memilik talenta mempunyai kemampuan dalam menciptakan interaksi yang positif, apresiatif, dan sinergis. Di sinilah letak pengaruh organisasi dalam memunculkan talent-talent tersebut, karena tidak sedikit dari mereka yang enggan menunjukkan bakatnya secara terang-terangan.

Merujuk dari pemikiran Subir Chowdhury dalam bukunya yang bertajuk ‘21C Organization: Someday All Organizations Will Lead This Way’—atau dalam versi terjemahannya berjudul ‘Organisasi Abad 21: Semua Organisasi Akan Melalui Ini’, yang menjadi permasalahan utama dalam organisasi maupun perusahaan ialah kinerja para karyawan. Sebab, keberhasilan suatu bisnis sesungguhnya ditentukan oleh bakat dan kemampuan para pegawai. Terdapat perbedaan antara orang-orang berbakat (talents) dan orang-orang pekerja ilmu pengetahuan (knowledge-workers):
·    Talents membuat dan melanggar aturan; Knowledge Workers mempertahankan aturan;
·    Talents menciptakan; Knowledge Workers menerapkan;
·    Talents memprediksi perubahan; Knowledge Workers mendukung perubahan;
·    Talents berinovasi; Knowledge Workers mempelajari;
·    Talents mengarahkan; Knowledge Workers bertindak; dan,
·    Talents menginspirasi dan mengangkat masyarakat; Knowledge Workers menerima informasi serta motivasi.

Ada beberapa pemikiran masyarakat Indonesia yang sudah semestinya diluruskan kembali; tingkat pendidikan belum tentu menjamin seseorang memiliki bakat, begitu pula sebaliknya. Jadi, permasalahan vital yang dihadapi Indonesia sesungguhnya adalah kualitas sumber daya manusia yang masih rendah, baik secara pemikiran maupun perilaku.

Padahal kita semua tahu, untuk melangkah menuju kompetisi global yang sangat ketat, Indonesia memerlukan masyarakat yang inovatif dan proaktif. Bukan masyarakat yang cenderung latah; lebih senang ikut-ikutan tren daripada menonjolkan diri dengan menjadi berbeda. Kurangnya keberanian dalam mengambil risiko inilah yang membuat masyarakat Indonesia kerap terombang-ambing akibat ‘pukulan gelombang’ yang dilancarkan oleh negara-negara berbasis inovasi, seperti Amerika Serikat ataupun Jepang, misalnya.

Pun terlihat dari perilaku-perilaku manusia di Indonesia baik secara individual maupun kolektif. Untuk menilai fenomena tersebut, ada tiga indikator yang menjadi tolak ukurnya, yakni indeks persaingan global, indeks pembangunan manusia, dan sistem informasi geografis.

a)      Indeks Persaingan Global (Global Competitiveness Index)

 Dalam laporan Global Competitiveness Index yang dipaparkan oleh World Economy Forum periode 2013-2014, perekonomian Indonesia dianggap mengalami perkembangan pesat dan dinamis. Kendati demikian, meningkatnya laju perekonomian tidak lantas membuat sumber daya manusia Indonesia turut bergerak progresif. Seperti yang terekam dalam data, tiga permasalahan teratas yang melilit negara ini ialah tingkat korupsi yang melejit hingga mencapai 19,3%, tidak efisiennya birokrasi pemerintahan yang menempati posisi kedua dengan persentase sebanyak 15%, dan masalah persediaan infrastruktur yang kurang memadai diperkirakan berjumlah 9,1%.

Apabila dibanding Turki yang memperoleh peringkat di bawah Indonesia dalam sektor perekonomian, permasalahan yang mendominasi di justru berupa angka rate pajak yang tinggi. Lalu disusul dengan perkara birokrasi yang tidak efisien sebanyak 12,4% dan kurangnya penyediaan infrastruktur sebesar 7,8%. Persentase tersebut nyatanya masih berada di bawah Indonesia. Kemudian, bagaimana dengan perilaku koruptif yang terjadi di Turki? Hanya mencapai 2,4%, yang jelas-jelas Indonesia enam kali lipat lebih unggul dalam hal ini.

Ketika negara-negara lain mengalami kendala di bidang usaha lantaran kebijakan yang kurang tepat atau sistem politik yang tidak stabil, Indonesia justru memperoleh hambatan dari para manusia-manusianya yang lebih mengorientasikan hidup kepada materialisme. Semuanya serba diukur dengan uang. Tidak perlu malu-malu mengakui bahwa akar dari seluruh masalah yang bergolak di negeri ini sesungguhnya bersumber dari tindakan korupsi. Berbelit-belitnya proses birokrasi yang kerap ditemui pun tentu saja dilatarbelakangi dengan ‘urusan duit’. Tidak hanya sebatas itu. Minimnya pasokan infrastruktur di Indonesia bukan lantaran negara tersebut kekurangan sumber daya, melainkan karena sedikitnya eksistensi sekelompok manusia yang memang benar-benar berniat membangun. Jadi sekali lagi, permasalahan yang paling mendasar dalam konteks ini ialah sumber daya manusia yang secara harafiah belum kompeten untuk menghadapi kompetisi global yang melibatkan negara-negara dari seluruh dunia.

b)     Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index)

Indeks Pembangunan Manusia merupakan kombinasi antara kesehatan, kekayaan dan pendidikan. Menurut laporan terakhir dari United Nations Development Program (UNDP) di tahun 2014, Indonesia menempati urutan ke 108 dari 187 negara di dunia—sama sekali tidak berubah dengan tahun-tahun sebelumnya. Laporan tersebut menunjukkan indeks 0,684 di mana jumlahnya meningkat dibanding skor Indonesia di tahun lalu yang hanya sebesar 0,681. UNDP melaporkan rata-rata harapan hidup di Indonesia mencapai 70,8 tahun, 12,7 diperkirakan merupakan umur memasuki tingkat sekolah. Nilai maksimum yang ditetapkan untuk parameter waktu yang diharapkan untuk bersekolah adalah 18 tahun.

Sementara Turki menempati peringkati 69—masih tergolong dalam pembangunan manusia yang tinggi (high human development), jauh di atas Indonesia. Skor indeks yang diperoleh Turki ialah 0,759. Melihat perbandingan jumlah populasi dan pendapatan per kapita antara Indonesia (242,3 juta dan 3,592 US$) dan Turki (73,6 juta dan 10,609 US$), hal ini dapat memberi kesimpulan bahwa jumlah populasi menjadi faktor paling utama dalam menentukan tingkat pendapatan per kapita. Semakin banyak populasi yang hidup di sebuah negara, besar kemungkinan pendapatan per kapita yang dihasilkan mendapat pengaruh. Apabila populasi-populasi tersebut memiliki daya saing yang kuat, inovatif dan bermental kompetitif, tentu besaran jumlah mereka dapat memberi peluang peningkatan GDP. Akan tetapi, jika populasi yang terhimpun bersikap pasif dan tidak mempunyai inisiatif untuk mewujudkan kesejahteraan, maka kemungkinan buruk akan terjadi. Dan hal ini terbukti dari pengalaman Indonesia sebagai negara dengan penduduk terbanyak nomor empat di dunia.

Standar hidup Indonesia yang masih rendah menyebabkan tingkat kemiskinan dan kriminalitas meningkat, namun peluang kerja yang ada justru menyempit. Maraknya pemukiman liar, anak-anak jalanan yang putus sekolah dan sistem klasik yang tidak juga dirombak kian memberi dampak besar dalam merosotnya tingkat pertumbuhan pendapatan nasional.

Problem eksistensi manusia ini semakin parah akibat beragam bencana dan polemik yang menyelimuti bangsa. Krisis esksistensi manusia ini secara tidak langsung telah mengancam seluruh modal baik berupa potensi alamiah yang tersedia maupun modal secara materi fisik yang sudah ada. Bahkan jika ini dibiarkan dalam jangka panjang, hal tesebut dapat mengancam aspek sosial kapital yang telah lama menjadi trademark kita sebagai banga yang toleran, solidaritas dan menghargai kemajemukan.

c)      Sistem Informasi Geografis
Teknologi GIS atau Sistem Informasi Geografis ini dapat digunakan untuk investigasi ilmiah, pengelolaan sumber daya, perencanaan pembangunan, kartografi dan perencanaan rute. Sejak mewabahnya proses globalisasi, lambat-laun Indonesia mulai mengadaptasi teknologi ini ke dalam program-program kerja pemerintahan dalam rangka menentukan kebijakan yang tepat. Pemanfaatan teknologi tersebut diberlakukan dalam proses perencanaan wilayah, perencanaan tata guna serta pemetaan secara akurat dan detail.

Pada tahun 2014, GIS telah menjadi proyek tahunan terkait adanya pemekaran di beberapa wilayah. Sejauh ini, Indonesia telah menetapkan model-model GISI untik empat kabupaten di dua provinsi, yakni Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Merangin Jambi, serta Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamasa di Sulawesi Barat (gp.mca-indonesia.go.id/plup).

Sedangkan negara Turki lagi-lagi melampaui kecanggihan teknologi yang baru berkembang di Indonesia. Sebagai negara yang terletak di antara Benua Asia dan Benua Eropa, Turki telah menerapkan sistem kadaster berbentuk 3D. Sistem informasi geografis dan penginderaan jauh di Turki sudah mampu mengatasi polusi suara yang mencemari lingkungan, di mana suara-suara tersebut dianggap bising dan dapat menimbulkan kesehatan fisiologis manusia terkhusus pada organ telinga. Dengan menggunakan satelit-satelit, seluruh aktivitas yang terjadi di negara Turki dapat diproyeksi sehingga keributan lalu lintas dapat dipetakan dengan mudah.

5.      Rekomendasi untuk Masyarakat dan Negara Indonesia

Pada dasarnya, Indonesia merupakan negara yang dibekali potensi alam melimpah ruah. Tidak menutup kemungkinan bagi bangsa ini untuk berkembang dan melangkah maju lalu pada akhirnya dapat sejajar dengan negara-negara superpower seperti di Eropa maupun Amerika Serikat. Akan tetapi, lagi-lagi saya katakana, yang menjadi sumber permasalahan dari segenap kesemrawutan negara ini berasal dari masyarakat-masyarakatnya yang kebanyakan masih bersikap konservatif. Padahal untuk menuju organisasi masa depan yang dipenuhi banyak tantangan dan risiko, dibutuhkan keberanian serta kecerdasan dalam mencari inisiatif guna melalui rintangan-rintangan tersebut. Semakin berkembangnya zaman, tekanan-tekanan yang dirasakan pun turut semakin besar. Oleh sebab itu, langkah pertama yang harus diambil dalam membenahi kehidupan Indonesia yang disesaki tragedi dan ironi ialah merombak kembali nilai-nilai dasar yang telah tertanam dalam konsep pemikiran yang ada, menyesuaikan kembali nilai-nilai tersebut, dan menerapkan pembaharuan itu sebagai bentuk keyakinan akan perubahan Indonesia ke arah yang progresif dan inovatif.

Tidak perlu jauh-jauh membayangkan problem yang lebih kompleks, kita lihat saja beberapa sektor yang sifatnya struktural di negeri ini. Indonesia sesungguhnya masih berada dalam tahap Organisasi Klasik, meskipun beberapa di antaranya berupaya menerapkan Teori Modern secara utuh. Diukur dari bagaimana pembagian-pembagian kerja tampak jelas dan cenderung hierarkis, Indonesia masih belum ‘cukup umur’ untuk turut berpartisipasi dalam persaingan global yang melibatkan negara-negara maju—di mana mereka sedang berkembang ke arah post-modern.

Seperti contohnya saja pada sektor pendidikan. Indonesia sesungguhnya masih menerapkan langkah-langkah normatif alih-alih memberi pembelajaran untuk berlaku inovatif. Para pendidik pun rata-rata hanya menggunakan pemikiran a la textbook, menekankan siswanya untuk bertingkah sesuai apa yang dipaparkan melalui teori-teori yang ada, dan secara tidak langsung merasa memiliki kewenangan atas hasil akhir siswanya. Sehingga peserta didik hanya berorientasi pada nilai, berusaha untuk mematuhi apa yang diperintahkan lantaran sikap staff pengajar yang cenderung mengintimidasi dengan  nilai sebagai indikator kelulusan. Pada akhirnya pola pikir pelajar di Indonesia hanya semata-mata mengharapkan nilai tinggi, sehingga jangkauan pemikiran mereka sangat sempit. Berbanding terbalik dengan gaya pembelajaran di negara-negara maju, batasan para pendidik dan peserta didik  tidak begitu ditegaskan. Keduanya berinteraksi secara mutualisme. Pendidik tidak serta-merta mendoktrin muridnya untuk lulus dengan nilai tertinggi tanpa adanya rasa peduli pada kehidupan dan psikologis si murid itu sendiri. Di negara maju, mereka menerapkan sistem mentoring, terkhusus di level perguruan tinggi. Hubungan antara dosen dan mahasiswa terjalin akrab. Kedua belah pihak bisa saling berbagi, bertukar pikiran dan memecahkan solusi bersama-sama tanpa perlunya tekanan-tekanan mental, sehingga para mahasiswa memperoleh ruang untuk berpikir sendiri, mendapat peluang untuk menciptakan sesuatu pembaharuan (inovasi) atas bimbingan para dosen yang sengaja mendedikasikan diri untuk kehidupan mahasiswanya di kemudian hari. Tidak mengherankan apabila akademisi-akademisi yang populer kebanyakan berasal dari negara Barat, di mana dalam hal kemasyarakatan mereka cenderung fleksibel. Berbeda dengan realitas yang tercermin di Indonesia, di mana dosen-dosen sengaja bersikap ‘rigid’ di kelas dengan tujuan memberi kesan ‘disegani dan dihormati’ di hadapan mahasiswanya. Padahal itu merupakan persepsi yang melambangkan citra kehidupan otoritarian; diktator, yang tentu tidak berlaku lagi dalam kehidupan demokratis dewasa ini.

Karena pada dasarnya orang-orang Indonesia lebih mengacu kepada studying by listening instead of learning by doing. Jadi, peserta didik Indonesia lebih condong dengan teori-teori yang mereka dengarkan, gagasan-gagasan para tokoh yang dipaparkan, ketimbang memahami materi yang ada lalu mempraktikannya di lapangan secara langsung. Sistem belajar-mengajar di Indonesia juga masih terbilang konvensional. Ketika para mahasiswa-mahasiswi di negara-negara maju sudah menggunakan kecanggihan teknologi seperti jaringan internet untuk mengerjakan tugas dan mengumpulkannya kepada dosen pengasuh melalui e-mail, mahasiswa-mahasiswi Indonesia (khususnya Unsri) justru masih mempraktikkan cara kuno, yakni masih mengacu pada buku-buku tebal sebagai referensi dan dikumpulkan dalam bentuk cetakan kertas di mana nilai efektifitas dan efisiensinya menjadi minim.
 [ ]

You Might Also Like

0 komentar