[CERPEN] Gedung Baru

Gedung BAru
(Oleh: Amaliah Black)
Cerita ini diterbitkan oleh Mediapress Fiksi dalam antologi komedi 'Cerita Gokil Antimainstream di Sekolah (2014)'
Saat kakiku berhasil menapaki areal sekolah di pagi buta, sontak aku dibuat melongo oleh perubahan suasana tempat yang kuanggap sebagai sepupunya penjara itu.
Gedung-gedung bertingkat yang biasanya tampil bulukan layaknya sarang penyamun, kini seluruhnya sudah dicat dengan warna merah mentereng. Andai saja tidak ada embel-embel logo ‘SMA Harapan Sejati’ di bagian depannya, mungkin semua orang bakal mengira kalau gedung itu sebenarnya adalah markas besar timses partai yang simbolnya kebo item bermoncong putih. Benar-benar ngejreng dan bikin mata jereng!
Dan usut punya usut, ternyata bukan hanya cat gedungnya saja yang diperbaharui, melainkan segala macam fasilitas sekolah juga serba-anyar. Kelasku yang biasanya panas, kering kerontang, dan nyaris mirip kandang ayam itu turut berubah. Bahkan kudapati dua unit pendingin ruangan telah menempel kalem di dinding bagian atas. Aku berdecak kagum. Sialan. Tampaknya aku memang harus sering-sering bolos supaya sekolahku tambah kece.
Kuhirup dalam-dalam udara yang melayang bebas di koridor lantai dua. Lantas berdiri memaku di balkon, mulai mengagumi pemandangan sutet dan atap-atap rumah yang dimakan lumut.
“Hei, Ratu!” Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang tajam menyodok lenganku, membuatku hampir menangis terkaing-kaing kalau saja tidak segera menyadari siapa pemilik siku yang runcingnya bikin merinding itu. Jujur saja, segala hal mengenai tubuh Aris sering membuatku bertanya-tanya. Kenyataannya, manusia satu itu punya jatah makan kuli tiap hari, tapi yang kulihat bodinya tetap gitu-gitu doang. Tampak samping, tampak depan, tampak belakang, ya sama saja. Tipis, bro. Bahkan, semakin dekatnya waktu pemilu, semakin marak pula orang-orang mikir kalau kemungkinan Aris adalah jelmaan tiang baliho caleg yang berjejer di pinggir jalan—
Eh bentar. Terus kenapa sekarang aku malah ngomongin makhluk yang spesiesnya tak jelas itu? Dalam cerita ini, pemeran utamanya kan aku! Fokus dikit dong, Mbak Penulis!
“Asik, gedung baru, coy!” Aris berseru dengan gaya pemanasan ke kanan dan ke kiri, berharap bakal dibilang macho—iya, maju chongornya.
Aku misuh-misuh sendiri dengan tangan mengusap lengan yang nyaris bolong. “Dasar kampret. Bisa nggak sih, sehari aja nggak main sodok menyodok gitu?”
Aris nyengir. “Kalo nggak nyodok bukan cowok namanya...”
Oke, kalimat itu mulai menyimpang. “Udah ah, gue bosen main sama lo terus,” tandasku seraya melenggang pergi.
“Oi, Tu! Lo mau ke mana? Bakal ada pemeriksaan, katanya.”
Mendengar ungkapan itu, aku kembali menoleh, “Heh, sejak kapan lo jadi alim gini?”
“Gue serius, Tu! Sebagai sohib karib lo, gue nggak mau liat lo dihajar abis-abisan di ruang Wakil Kesiswaan kayak kemaren. Mending lo balik sini, deh...”
 “Diem!
Aris mendadak mingkem. Tidak mengatakan apa-apa. Alah, lagian apanya yang menakutkan sih dari rombongan om-om berseragam safari itu?
Usai memastikan bahwa si kurus kering itu enggan berkomentar apa-apa, aku meneruskan langkah yang sempat tertahan. Bukannya aku sok ya, tapi dalam hal ini akulah yang paling expert. Membolos dari pelajaran-pelajaran yang membosankan memang salah satu keahlianku selain menonjok murid-murid bengal yang mukanya pada minta digampar. Mungkin kalian pikir, hal-hal itu sangat tabu dilakukan seorang anak cewek. Tapi ingat, kita hidup di zaman berlakunya emansipasi wanita. Cewek-cowok sekarang sudah berada di strata yang sama. Jadi menurutku, melakukan sesuatu yang jantan itu sah-sah saja. Lagi pula, di samping kegiatan membolos, nilai-nilaiku sama sekali tak terganggu. Mungkin kedengarannya aku sok banget (iya deh, aku memang sok), tapi aku juga ahli dalam mengejar pelajaran meskipun sudah langganan menjadi penghuni buku absen kelas. But, sorry, bro, cheating is not gentle at all. Aku tidak suka nyontek. Jadi, kalian tahu kenapa aku bisa begitu gampangnya menyerap pelajaran? Hanya anak-anak berotak cerdas saja yang tahu jawabannya wuahahahaha...
“Hei, kamu!”
Spontan aku melompat saat kudengar suara familier tengah memanggil-manggilku dari belakang. Sialan, bagaimana bisa aku tertangkap basah sedang keluyuran di luar kelas? Ah, ini yang namanya sesumbar pembawa sengsara!
Tanpa memedulikan makhluk itu, aku mempercepat langkah. Sesekali kulirikkan mataku hingga rasanya mau juling, dan ternyata sosok itu terus mengejarku seperti dedemit pemangsa manusia. Demi kolor ijo beserta pengikutnya, aku harus cepat-cepat kabur dan menghilang dari gedung yang baunya teramat menyengat. Sumpah, aroma memuakkan ini rasanya jauh lebih tengik dari kue kering murahan yang belum sempat dicampur formalin.
“Heh, tunggu! Mau ke mana kamu?!” Tampaknya pria dengan postur minimal itu tidak jera-jeranya menjadikanku sebagai target kesadisannya. Kalau saja aku tertangkap, pasti dia bakal menyeretku kembali ke neraka—ehm, maksudku ruang Wakil Kesiswaan seperti tempo hari. Sori-sori saja, mana mungkin aku mau kalah dari om-om macam dia.
Kali ini aku mengubah kecepatanku menjadi dua kilometer per jam—well, ini lebay—maksudnya, secepat yang tidak bisa om-om itu jangkau. Kelihatan banget perbandingan antara asupan energi anak muda dengan om-om hidung bengkok yang sama sekali tidak keren. Memicu timbulnya adegan kejar-mengejar dengan gerak lambat yang sering terlihat di film-film eksyen kebanyakan. Dan tentu saja jagoannya adalah aku. Masa om-om kepala lima itu sih?
Lambat-laun, kecepatan kakiku menurun. Buru-buru kubelokkan tubuhku dan memutuskan untuk bersembunyi di sebuah ruang kosong yang masih dipenuhi debu dan ceceran cat di mana-mana. Sialan, kalau saja aku sedang tidak kepepet, barangkali sudah lama tempat ini kubakar sampai hangus. Benar-benar menjijikkan. Tapi, untuk saat ini aku berusaha untuk tidak peduli.
Punggungku segera menemplok di dinding yang belum dilapisi cat dengan napas ngos-ngosan. Gila men, rasanya jantung mendadak disko. Bukannya karena aku takut dikejar-kejar oleh si Om Wakil Kesiswaan, tapi karena aku malas mendengar mulutnya yang doyan membual itu. Sebelas-dua belas dengan Aris-lah. Kalau saja mereka disandingkan, pasti bakalan jadi keluarga om-om arisan paling harmonis seantero jagad raya.
Setelah yakin suasana di luar mulai kondusif, dan dedemit itu sudah enyah dari muka bumi, aku segera mengintip keluar. Aman, batinku. Tetapi, baru empat langkah kakiku menjejak, aku kembali kalang kabut...
“Ini dia!” Si Om Wakil Kesiswaan spontan berdiri di hadapanku. “Kamu ngapain keluyuran di sini?” suaranya yang sedikit nyaring sontak menggelegar di telingaku.
Cepat-cepat aku memutar otak, mencari alasan yang tepat, “Eh, anu—itu, saya cuma mau lihat gedung yang baru dibangun ini, Pak. Iya, gitu...”
Si Om bergeming dengan wajahnya yang mirip pedofil. “Oh, begitu.” Dan sekarang dia malah manggut-manggut mirip burung betet. Tiba-tiba tangannya mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Uh-oh, jangan-jangan itu alat setrum dari neraka...
“Nah, daripada kamu keliling-keliling nggak jelas, mending kamu fotoin saya aja.” Si Om segera menyodorkan ponsel kameranya kepadaku.
Dengan tampang goblok, aku menerima ponsel itu. Sial! Jadi, tadi dia main kejar-kejaran denganku cuma mau minta difoto?
“Ayo,” Si Om menyadarkanku, “yang bagus, ya. Latarnya gedung baru yang sebelah sana,” pintanya dengan pose tangan bersedekap dan senyum super-unyu.
Cih. Dalam hati aku mendecak. Kalau tahu begini, percuma saja aku mengerahkan segenap kekuatanku cuma buat jadi tukang foto om-om mengerikan ini.
Ckrek. Kemudian aku mengambil foto sambil berjongkok, mentok, tak jauh dari bawah kaki Si Om—itu pun menurutku sudut yang paling bagus.
“Wah, bagus, nih,” pria itu berseru sambil mengamati hasil-hasil jepretanku. “Nah, yang ini bisa dijadiin foto profil buat Facebook...” Dan ucapan itu nyaris saja membuat tawaku menyembur.
Menyadari sikapku yang terus-menerus menahan tawa, Si Om kembali menyemprotku, “Kamu ngapain masih di sini? Udah, balik ke kelas, sana!”
-TAMAT-


P.s: Based on the true story

You Might Also Like

0 komentar