Aku sempat
berpikir, sekitar tiga jam yang lalu aku telah terlelap pulas di atas ranjang
mungil yang tak begitu empuk. Tetapi, alih-alih mendengkur damai di antara
keremangan kamar, kesadaranku justru berangsur-angsur pulih, membuatku—mau tidak
mau—harus kembali terjaga. Seraya mendengus kesal, segera kuangkat kelopak
mataku dalam sekali sentakan sehingga yang dapat kulihat hanyalah sebaris ventilasi
yang bertengger di atas jendela kamarku.
Sepersekian
detik aku mematung di atas tempat tidur, dan akhirnya tanganku terjulur untuk
menekan saklar lampu yang menempel di dinding sebelah tubuhku. Aku menguap
lebar-lebar saat ruangan ini berubah terang benderang. Masih dengan lingerie tipis yang kukenakan, segera kusibak
selimut tebal yang tadinya membalutku seperti kepompong. Baru saja aku hendak
beranjak, tiba-tiba pintu lemari yang letaknya berseberangan dari ranjangku
perlahan membuka. Ba-bagaimana bisa?
Lagi-lagi tubuhku membeku, namun kali ini dengan degup jantung yang kian melonjak dan sepasang mata sedikit membelalak. Tidak, kuharap yang sekarang sedang kulihat hanyalah halusinasi semata.
Lagi-lagi tubuhku membeku, namun kali ini dengan degup jantung yang kian melonjak dan sepasang mata sedikit membelalak. Tidak, kuharap yang sekarang sedang kulihat hanyalah halusinasi semata.
Namun, lamat-lamat kusaksikan kedua belah pintu lemari yang seharusnya terkunci rapat itu terus bergerak,
menciptakan derit mencekam yang terasa ngilu di telinga. Tampak begitu nyata. Kegugupan pun mulai
menguasaiku. Sudah berulangkali sepasang mataku mengerjap, tetapi situasinya tetaplah
sama. Bahkan celah pada pintu lemari itu kian lama kian melebar, seolah ada sesosok
makhluk yang tengah menggerakkannya dari dalam.
Celakanya,
dugaanku ternyata betul. Sebuah tangan kurus dan panjang berbalutkan kulit
hitam bergelambir sekaligus penuh kerutan spontan menyeruak melalui celah itu,
membuat jantungku nyaris saja meletus keluar. Napasku sontak memburu, dan
seketika saja makhluk itu langsung menghambur lalu mencengkeram
leherku sebelum aku benar-benar sempat mengelak dari sana.
Aku tak bisa
menjelaskan bagaimana wujud sosok itu sebenarnya kala jari-jarinya yang panjang
dan tajam melingkar di bawah kepalaku, mencekik hingga kurasakan persediaan
oksigen dalam paru-paruku makin menipis. Dan semakin aku memberontak dan berusaha
untuk melawannya, si keparat itu seolah turut bertambah kuat untuk meremukkan
tulang-tulang leherku.
Akhirnya aku
menyerah. Aliran darahku seolah-olah tersendat di suatu tempat, membuat segenap persendianku yang semula menegang perlahan terasa seperti luruh ke bawah. Pandanganku yang tadinya mengabur terhalang oleh air mata ketakutan, kini
semakin berkunang-kunang seiring dadaku yang kian sesak.
Lain halnya dengan
sosok bertubuh kurus, bungkuk, dengan wajah janggal terbingkai rambut panjang
yang mengembang ke segala arah itu. Ia malah terkikik nyaring melihatku yang telah lunglai di dalam cengkeramannya. Seolah girang akan kemenangan telaknya. Bersamaan dengan sepasang mata nyalang yang memerah, tanpa tedeng aling-aling, tangannya yang lain kontan menembus
perutku. Kuku-kukunya yang hitam nan tajam itu pun seolah mengobrak-abrik segala organ di dalam tubuhku. Melahirkan cairan merah pekat yang teramat menyakitkan...
Sampai pada detik terakhirku, sebelum mataku betul-betul menutup rapat,
tak sengaja pandanganku bertumbuk pada angka-angka yang tertera pada layar
ponselku yang menyala di atas ranjang.
2:30
AM.
“Aaahk!” Dengan
terengah-engah aku sekejap bangkit dari tidurku disertai degup jantung yang
membabi-buta. Getaran ketakutan serentak merambati sekujur tubuh kala sebelah
tanganku buru-buru menekan tombol saklar dan lampu kamar pun menyala.
Aku menelan
ludah. Kulihat lemari di depanku masih tertutup rapat, sama seperti keadaan
sebelum aku pergi tidur. Masih dengan debaran yang tak menentu, kuusap
bulir-bulir peluh dingin yang membanjiri keningku. Ini mengerikan, mengingat sepanjang
malam aku hanya seorang diri di rumah. Dan... mimpi sialan itu terasa amat nyata bagiku.
Cepat-cepat aku
meraih ponsel, hendak menghubungi orang tuaku yang masih berada di luar kota.
“Cih, dasar
sialan!” Aku mendesis geram ketika kudapati benda itu tak sedikit pun menyala.
Sembari
menggerutu, segera kuhubungkan ponselku pada kabel pengisi baterai. Setelah
yakin konektornya terhubung, aku segera beranjak dari kasur. Mimpi buruk
barusan ternyata berhasil menyedot sekian energi yang seharusnya kuinvestasikan
melalui tidur. Sial, sekarang aku merasakan tenggorokanku benar-benar kering.
Lagi pula sepertinya, aku
tidak akan bisa tidur lagi. Jadi, sambil meminum sebotol air putih langsung
dari botolnya, aku mengamati pantulan wajahku yang semakin horor pada porselen putih yang melapisi dinding dapurku. Di sana dapat kulihat sepasang
kantung mata dan lingkar hitam yang sangat tidak enak dipandang, membuatku
cepat-cepat mengalihkan tatapanku ke tempat lain. Akhir-akhir ini, aku memang
sulit tidur. Bukan karena diteror oleh mimpi buruk, melainkan karena tugas skripsi yang
seenaknya menumpuk, menungguku untuk segera dikerjakan. Beruntung dalam
hitungan hari semuanya dapat kuselesaikan, sehingga aku tak perlu mengorbankan jadwal tidurku lagi.
Setelah merasa sedikit segar, aku pun kembali
beringsut menuju kamar. Kautahu, acara di televisi pada jam-jam lewat tengah malam
memang tidak ada yang menarik, jadi kuputuskan saja untuk melanjutkan bacaannku yang
masih setengah. Sebelum itu, aku lagi-lagi memeriksa keadaan pintu lemariku, masih dalam perasaan was-was. Sekitar lima kali aku melakukannya, sehingga aku sangat yakin bahwa kedua pintu itu memang sudah terkunci rapat dan hanya orang-orang yang punya kesaktian di luar akal sehat sajalah yang mampu membukanya tanpa
menggunakan kunci ataupun peralatan lainnya.
Suasana masih seperti biasa. Hening dan juga dingin. Hanya terdengar bunyi baling-baling kipas angin yang berputar di atas langit-langit kamarku, sesekali menimbulkan suara berderik yang lumayan mengganggu. Tapi, tak apalah. Itu masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan lemari yang terbuka dengan sendirinya.
Suasana masih seperti biasa. Hening dan juga dingin. Hanya terdengar bunyi baling-baling kipas angin yang berputar di atas langit-langit kamarku, sesekali menimbulkan suara berderik yang lumayan mengganggu. Tapi, tak apalah. Itu masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan lemari yang terbuka dengan sendirinya.
Tak terasa, sekitar satu jam aku masih terjaga dan sudah menghabiskan
tiga puluh halaman Deception Point karya Dan Brown. Mulutku menguap lagi, sampai
kurasakan mataku berair karena rasa kantuk mulai menyerangku. Tetapi, baru saja
aku membaringkan tubuhku di atas kasur, suara-suara berisik seketika terdengar
dari dalam lemariku. Jantungku lagi-lagi mencelos kala mataku bertumbuk pada
sepasang pintu lemari yang, entah bagaimana, bergerak membuka dengan... sesuatu dar dalamnya. Peluh
dingin yang tidak menyenangkan kembali bergulir, melintasi punggungku begitu
gesit.
Sepasang iris mataku yang melebar kini menangkap celah dari
lemari itu melebar sedikit demi sedikit.
Sampai ketika
ponselku menyala sendiri, lalu menunjukkan serentet bilangan angka;
2:28 AM.
Dengan gerak perlahan, jemari tajam beserta lengan kurus yang sama pun... kembali menyeruak dari celah itu. Lalu pada detik berikutnya, kurasakan kelima jari itu berhasil meraih leherku.
-Fin-
Diikutsertakan dalam tantangan menulis #FiksiBangunTidur bersama Kampus Fiksi.
0 komentar