[CERPEN] Mangkuk Biru yang Kosong

 Oh, Bibi, Bibi, apa yang harus kulakukan? Selama empat malam aku tidak bisa memejamkan mata. Aku bahkan tidak sanggup bertemu siapa pun dan mengatakan apa yang sedang terjadi padaku, Bibi, karena bagaimana pun aku terus berharap agar semuanya akan baik-baik saja…

google.images

Aku menyelinap di balik celah kamar belakang yang kebetulan pas sekali dengan tubuhku. Ingin sekali rasanya berteriak mengumpat karena perempuan pemilik rumah itu tidak pernah mengizinkanku memiliki kunci cadangan. Ada saatnya aku bosan di rumah dan keluyuran nongkrong bersama teman-temanku di luar sampai larut, dan baru ingat pulang ketika malam semakin tua. Biasanya perempuan itu rajin membukakan pintu untukku, tapi entah mengapa, belakangan ini dia jadi menyebalkan sekali dan selalu mengabaikanku sehingga aku memutuskan untuk kabur sebentar.


Apa karena dia sudah muak dengan kebiasaanku yang menumpang hidup seenaknya ini?


Iya, aku tahu aku menjengkelkan. Tapi, setidaknya kehadiranku bisa membuatnya bahagia, bukan?


Misalnya saat dia masih tidur, aku akan mengusap-usap wajahnya lalu menciumi bibirnya, cara paling efektif untuk membuatnya terbangun dengan senyuman cantik merekah. Dia akan menatapku beberapa jenak, lalu bangkit untuk menyediakan makanan paling enak di dunia karena dia paham aku sedang lapar. Jujur, aku sangat beruntung memiliki perempuan itu, dan kupikir, perasaanku ini tidak hanya satu arah. Aku bisa merasakan cinta yang mendalam ketika dia bicara padaku, ketika tangan lembutnya merengkuh tubuhku. Tapi, akhir-akhir ini aku seperti tidak mengenal siapa dirinya.


Berkali-kali aku melemparkan pertanyaan kepadanya, “Kamu kenapa sih?”


Dia hanya diam. Bahkan jika aku terlalu banyak bertanya, perempuan itu langsung meraih benda apa pun di sekitar dan melemparkannya ke arahku. Sambil menangis dia akan berteriak, “Pergi jauh-jauh dariku, Bangsat!”


Aku tidak pernah mengerti perempuan. Sungguh, aku menyayanginya. Sebelum aku memutuskan untuk tinggal bersamanya, kuperhatikan dia hanya seorang diri, mungkin bertahun-tahun sebelum aku pindah ke sekitar sini. 


Setiap pagi, perempuan itu keluar rumah dengan pakaian rapi. Aku bisa melihat rautnya yang murung di balik helai-helai rambut panjang yang dia biarkan terurai menutupi wajah. Dia berjalan kaki, kletak-kletuk dengan sepatu tinggi yang mengadu jalanan beton, lalu berhenti sekitar beberapa blok, menunggu kendaraan umum yang lewat. Perempuan itu jarang menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya, tetapi situasinya berbeda ketika aku berdiri di dekatnya.


“Hei!” panggilnya sambil menghampiriku. Ekspresinya berganti gembira dan seketika aku jatuh cinta pada sepasang matanya yang berbinar cerah, menyedot seperti lubang hitam. Tak butuh waktu lama, aku dan perempuan itu semakin akrab.


Dia bercerita banyak padaku tentang dirinya. Oh ya, aku lupa aku belum memberitahu siapa nama perempuan itu. Lilah, begitu aku biasa memanggilnya dan hatiku menjadi hangat tiap kali dia menyahuti panggilanku. Dia sungguh manis. Perempuan kesepian yang manis. Bagaimana bisa orang-orang menyakitinya?


Tetapi, demikianlah yang kerap dikatakan Lilah. Dia tidak punya banyak teman, ujarnya suatu hari, saat kami makan siang bersama di rumah. Aku bukan tipe yang gemar bicara, jadi aku hanya mengangguk, mendengarkan, menyimak sesekali menimpali dengan sepatah atau dua patah kata, karena aku yakin komentar panjang cuma akan membebani Lilah saja.


Hingga suatu hari Lilah menyampaikan sebuah gagasan, “Bagaimana kalau kamu tinggal bersamaku saja? Menemaniku? Kamu bebas melakukan apa saja asal jangan mencuri barang-barangku.”


Aku kaget, namun juga senang. Mendadak makan siangku terasa seribu kali lipat lebih lezat dari biasanya selepas Lilah mengatakan itu. 


Tidak banyak perabot dalam rumah Lilah. Saat aku berumur empat bulan, orang tuaku pergi begitu saja dan tak pernah kembali lagi, lalu aku dipungut oleh seorang wanita bertubuh gendut yang tinggal di sebuah rumah besar mewah dengan perabot kuning mengilap di setiap sudut. Wanita itu yang membesarkanku, tetapi dia pula yang menjadi alasan kenapa aku melarikan diri dan berakhir di jalanan. Manakala Lilah mengatakan kalau dia membenci orang-orang yang gemar mengekang, aku sangat menyetujuinya.


Dalam pelarian itu, aku merasakan jiwa-jiwa yang bebas, dan pertemuanku dengan seseorang seperti Lilah menjadi semacam suaka buatku. Tanpa perlu banyak menjelaskan ini dan itu, dia bisa langsung mengerti apa yang kubutuhkan dan apa yang kuinginkan.


Dalam waktu yang teramat singkat, Lilah telah menjadi bagian dari hidupku.


Tiap-tiap malam, denting lagu-lagu yang dimainkan Lilah dengan keyboard di sudut kamarnya melayang di udara, menggantung-gantung mengisi ruangan, dan aku dapat mendengar isakan-isakan tertahan di sela permainan itu. Aku selalu ingin bertanya, tetapi Lilah tidak pernah mau menjawab; dia hanya ingin aku duduk mendengarkan selagi dia menyelesaikan permainannya. Kadang sampai dini hari. Berkali-kali aku memintanya segera tidur karena aku khawatir dengan keadaannya, lagi-lagi dia menolak.


Dan pada pukul tujuh pagi, dia beranjak ke dapur, membuatkanku sarapan kemudian pergi bekerja. Tidak ada waktu tidur untuknya.


Pemandangan itu berlanjut dan bisa kukatakan semakin parah. 


Aku bingung harus berbuat apa saat Lilah pulang dengan derai air mata membasahi wajah, lalu dia menyongsong memelukku. “Aku kepingin mati,” samar-samar aku menangkap ucapan itu.


“Apa yang terjadi?” kembali pertanyaan itu meluncur dari mulutku.


Lilah menelan ludah, meredam tangis, dan menyingkir untuk kemudian bersalin pakaian. Masih sesenggukan, dia beralih menuju keyboard, mulai memainkan lagu yang judulnya bisa kuingat sedikit; Nocturne. Aku tidak terlalu mengenal musik-musik klasik, tetapi Lilah pernah mengatakan kalau lagu itu adalah favoritnya.


Lagu itu dimainkan berulang-ulang. Dengan tempo semakin keras, semakin cepat, sampai-sampai aku mengira Lilah sedang kesurupan.


Seketika permainan itu dihentikan, dan Lilah kembali menangis kencang. Ini kali kesekian aku melihat perempuan itu melampiaskan penderitaannya.


“Jo,” dia memanggilku, meski berkali-kali kubilang padanya kalau namaku bukanlah Jo. “Apa yang bakal kamu rasakan kalau jadi aku?”


Giliran aku yang terdiam. Harus ke mana aku mencari jawabannya?


“Bertahun-tahun hidup sendirian. Kesepian. Dicampakkan. Seakan-akan aku nggak pernah cukup buat orang lain.”


Itu tidak benar! Aku menghambur ke arah Lilah, menyentuh tubuhnya. “Bagaimana bisa kamu mengatakan itu? Ada aku, kan?”


Lilah tidak menanggapi. Dia hanya bangkit dari duduknya, beringsut menuju dapur dan mengeluarkan makanan-makanan dari lemari es untuk dihangatkan kembali.


“Lilah,” aku memanggilnya sekali lagi. “Aku tahu tak banyak yang bisa kulakukan, tapi…”


“Aku tahu, Jo, aku paham,” barulah Lilah merespons, sedikit gemetar. “Kamu sudah cukup bersabar hidup denganku. Terima kasih, ya…”


Dia menangis lagi.


Sial. Meski sudah lebih dari dua bulan kami hidup bersama, tetap saja rasanya sulit sekali memahami Lilah. Dia seperti potongan-potongan tak lengkap. Ada saatnya dia menghabiskan waktu dengan marah-marah, ada saatnya pula dia menangis sejadi-jadinya seakan-akan rumahnya baru saja hangus terbakar.


Aku tak pernah mengerti, tetapi setidaknya aku mencoba mengerti.


Sebab, hidup berdampingan dengan Lilah menjadi semacam dinamika penting dalam hari-hariku.


Pernah di suatu siang di Hari Minggu, aku mendengar Lilah memaki-maki di belakang. Saat kuhampiri, Lilah sedang memukul-mukul mesin cuci, yang seingatku baru saja direparasi dua hari sebelumnya. Satu-satunya hal yang kulakukan ketika kemarahan Lilah meledak adalah… menjauh. Itu akan membuatku aman.


Bunyi gedebuk itu kemudian terdengar lagi, dan lebih kasar. 


“Demi Tuhan!” perempuan itu menahan makiannya, “akan kujual seluruh benda-benda di rumah ini.”


Lelah dengan ledakan amarahnya sendiri, Lilah kemudian melangkah gontai menuju ruang tengah, menenggak segelas air yang tidak dingin, tapi juga tidak panas. Aku hanya menatapnya tanpa mengatakan apa pun.


“Jangan menghakimiku,” Lilah tahu-tahu bersuara, memelotot ke arahku. “Aku mau keluar, ke laundry pakaian. Kamu ingin titip sesuatu?”


Belum sempat aku menjawab, perempuan itu keburu meraih sepatu, mengangkat bungkusan besar di tangan, lalu bergegas entah ke mana disusul dengan bunyi pintu yang ditutup.


Aku menghirup napas dalam-dalam. Hari itu adalah kali terakhir aku melihat kemurkaan yang membias jelas di wajah Lilah sebab setelah-setelahnya, Lilah tidak lagi banyak bicara. Hanya sebaris-dua baris kalimat, itu pun ketika kami makan siang bersama dan menjelang tidur.


Kenyataannya, Lilah tak pernah benar-benar tidur. Dia cuma berbaring di atas kasur, mengatupkan kelopak mata, dan aku tahu dia terus terjaga sepanjang malam.


Keadaan itu berlangsung empat hari berturut-turut. Setiap pulang, dia akan menangis sendiri dan aku semakin gelisah. Aku bertanya banyak soal ini kepada teman-temanku, tetapi tak satu pun dari mereka yang mengalami hal serupa. Semua keluarga mereka, orang-orang yang hidup satu atap dengan mereka, siapa pun, tidak ada yang seperti Lilah. Tidak ada yang tiba-tiba menangis, tiba-tiba merangsak ngamuk, dan tiba-tiba tidak bicara tanpa alasan yang jelas. Sekali lagi, tidak ada yang seperti Lilah.


Apa jangan-jangan karena kehadiranku yang membuat Lilah muak?


Sungguh, aku mencintai Lilah, tetapi memahami apa yang ada dalam kepalanya membuatku seperti menelan racun setetes demi setetes. Lilah tampak tersiksa, dan mau tidak mau aku turut merasakan penderitaan yang bahkan tidak kuketahui pasti karena apa.


Sehingga aku berpikir, lebih baik aku pergi untuk beberapa saat. Membiarkan Lilah seorang diri untuk menyelesaikan masalahnya berhubung dia tidak pernah mau membagi keluhan-keluhannya padaku. Aku yakin Lilah perempuan kuat yang mandiri. Aku yakin dia akan berakhir baik-baik saja.


Dan, usai dua hari memutuskan untuk tidak pulang ke rumah, aku kembali menjenguk Lilah, memastikan keadaannya terkini. Kulihat dia sedang tidur di kasur, pantas saja dia tidak membukakan pintu depan tak peduli sekeras apa aku mengetuk (terpaksa aku masuk melalui celah pintu belakang).


Aku duduk begitu lama sambil menyapu wajah Lilah yang pulas. Pemandangan langka yang jarang kudapati; perempuan itu sama sekali tidak bergerak, sepertinya sudah tenggelam jauh ke alam mimpi.


Selang beberapa menit, telingaku menangkap bunyi-bunyi asing dan bising di halaman rumah. Aku mengintip dari balik jendela, dan orang-orang seketika menerobos masuk tanpa bisa kucegah. Mereka mendobrak pintu, mengenakan pakaian-pakaian yang tampak mengancam. Manakala aku hendak menerkam salah satu dari mereka, tubuhku seketika terangkat.


Seorang pria gemuk menggaruk-garuk leherku. 


“Pak,” panggilan itu sontak mengalihkanku dan si pria gemuk, “di sini.”


Pria gemuk itu segera menurunkanku, berkata dengan tangan mengusap-usap kepalaku, “Tunggu di sini ya, Kucing Manis.”


Kulihat, orang-orang tak kukenal mulai mengerumuni rumah Lilah seperti lebah.


Pria-pria berseragam mengerikan itu lantas meneliti tubuh Lilah, membuatku semakin terintimidasi. Tidak boleh ada yang menyentuh perempuanku! Mati-matian aku menghalangi orang-orang itu, tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukanku dan mereka bergerak lebih cekatan.


Aku hampir saja berhasil menggigit kaki salah satu dari mereka, sampai akhirnya telingaku menegak ketika kudengar suara Lilah yang diputar pada suatu benda yang tidak kuketahui namanya.


Oh, Bibi, Bibi, apa yang harus kulakukan? Selama empat malam aku tidak bisa memejamkan mata. Aku tersiksa. Aku tidak bisa menahannya seorang diri. Aku bahkan tidak sanggup bertemu siapa pun dan mengatakan apa yang sedang terjadi padaku, Bibi, karena bagaimana pun aku terus berharap agar semuanya akan baik-baik saja…


Spontan suara-suara tangis terpecah memenuhi udara, kulihat pria gemuk yang menggendongku tadi mendesah. Mulut kecilnya lalu berbisik rendah ke arahku, “Kucing Manis, sepertinya majikanmu sudah meninggal sejak dua hari yang lalu. Keracunan obat tidur.”


Sel-sel di tubuhku membeku. Aku baru menyadari tabung-tabung putih kecil yang menggelinding di dekat mangkuk biru yang kosong.


Mangkuk biru yang biasa Lilah gunakan untuk makan siangku. [ ]

You Might Also Like

0 komentar