[CERPEN] une nouvelle année

Watercolors from A to Z with Sterling Edwards – Glen Arbor Arts Center
Glen Arbor Arts Center
Pertemuan itu terjadi pada tanggal 11 April, di gerbong nomor 5 kalau aku tidak salah ingat. Aku mengisi bangku nomor 22E, tepat di sisi jendela sementara bangku sebelahku tetap kosong. Gerbong itu tidak ramai, sedikit sekali orang yang bisa kujumpai di sana sampai aku berpikir jangan-jangan kereta api bukan lagi pilihan zaman sekarang untuk bepergian, dan prasangkaku tentu salah. Aku yang nyatanya tiba terlalu cepat—pukul delapan kurang, sedang kereta baru akan meluncur pukul setengah sembilan.

Itu adalah perjalanan pertamaku, dan aku tidak mengharapkan apa-apa dari perjalanan tersebut selain terbebas dari infeksi masa lalu. Sulit sekali rasanya untuk tidak melarikan diri, meski aku tahu itu adalah tindakan pengecut yang jarang kulakukan. Tapi, kali ini, aku butuh melakukannya; lari, atau menghindar, atau apa pun itu sebutannya. Mendebarkan juga, pikirku, mengingat selama ini aku terbiasa menghadapi masalah yang silih berganti menyambangiku seorang diri—menuntutku pada mekanisme pertahanan yang aneh agar tetap hidup.

Tanpa sadar aku tertawa ketika memikirkan itu, lalu, secara tiba-tiba, hawa hangat merayap dari arah lain. Seseorang baru saja duduk di sebelahku, menempati bangku kosong nomor 22D.

Hampir separuh tubuhnya yang besar dibayangi kegelapan. Dia mengenakan jaket, kaos, celana, sepatu, ransel dan topi dengan warna senada batu bara. Satu-satunya yang menyala hanya sorot dari kedua matanya yang ditudungi sepasang alis tebal menukik, yang entah mengapa, langsung menemui tatapanku. Aku menelan ludah, aku pernah dengar, kematian bisa datang kapan saja, tidak ada jadwal khusus; dan malaikat maut punya kemampuan berubah bentuk, bisa berwujud ular, atau lelaki jadi-jadian dalam busana serbahitam.

Aku tebak itulah yang kedua.

Peluit lokomotif menjerit dan gerbong perlahan melaju, tanda kereta sudah berangkat. Mendadak aku bernapas canggung begitu mengetahui diriku yang harus menuntaskan perjalanan bersama malaikat pencabut nyawa; apa aku harus membuka obrolan, sedikit basa-basi? Apa aku harus menulis pesan dan kesan pada secarik kertas sebelum meninggalkan dunia? Bagaimana kalau aku terlahir kembali menjadi burung ayam-ayam? Adakah pilihan lain?

Aku harus apa?

Lalu dia, lelaki yang baru saja duduk di sebelahku itu, berdeham untuk kemudian bertanya, “Tujuan ke mana?”

Alam barzah? Aku memikirkan jawaban yang belum kusiapkan sama sekali, sebab selama ini yang kupelajari, pertanyaan pertama yang akan dilontarkan malaikat adalah man robbuka? 

Di lima detik berikutnya aku tetap tidak bicara apa-apa.

Tetapi, di detik-detik selanjutnya, percakapan berlangsung begitu saja, hanya sesekali dijeda oleh rasa kantuk, dan kami berdua akan saling menyandarkan kepala dan sama-sama terlelap beberapa menit, lalu terbangun, tertawa, dan mengobrol lagi. Ternyata bukan malaikat maut, aku meyakinkan diri. Ternyata aku masih akan hidup, setidaknya untuk delapan jam ke depan sampai aku tiba di stasiun tujuan. Lelaki itu lambat-laun berkembang menjadi sosok yang menyenangkan; aku suka bagaimana dia menyusut ingus ketika tergelak, atau menggetarkan tubuh mengusir gigil akibat embusan mesin pendingin. “Sori, aku lagi pilek,” katanya.

Dua jam duduk berdampingan, tak kusangka jika lelaki itu menaruh ketertarikan yang lebih dari sekadar orang asing. Dengan gigih, dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang terpaksa membuatku harus berbohong karena aku tidak semudah itu membuka diri pada orang yang baru kutemui satu jam ke belakang.

Aku bilang aku guru bimbel. Aku anak rumahan. Aku tidak pernah ke mana-mana sendiri. Aku bilang pacarku jauh di masa depan, padahal kenyataannya perjalanan itu adalah ajang pelarian diri, termasuk dari seorang pria yang seharusnya kuikat baik-baik.

“Kamu bilang anak rumahan,” lelaki di sebelahku itu berujar lagi, “tapi kok berani naik kereta sendirian? Pertama kali pula.”

 “Hidup nggak akan punya kemajuan kalau kita selalu takut,” aku menjawab sekenanya,  terdengar lebih bijak dari yang kurencanakan.

Bagaimanapun, jawaban itu menimbulkan keheningan yang berbeda. Lelaki itu diam sebentar, benaknya seperti berusaha mengolah sesuatu. Lalu dia menyentuh topinya seakan-akan benda itu mendadak longgar di kepala. “Betul katamu tadi,” baru dia menyahut, matanya yang awas menatap ke depan tanpa fokus, “kalau nggak ada keberanian, kita nggak bisa ngapa-ngapain.”

Tepat sekali.

Petugas kereta kemudian mondar-mandir merangkap penjaja asongan. Menawarkan nasi goreng dalam kotak plastik, mi gelas instan, kopi seduh, air mineral, bantal kecil. Seperti teringat, lelaki di sebelahku langsung meraih ransel di bawah kakinya, mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah bantal leher berwarna hijau. “Kamu mau pakai?”

Aku terharu ketika dia menyodorkan benda itu, yang menguarkan harum pewangi khas penatu, dan aku tidak bisa menolak. Lelaki ini baik sekali, aku membatin sekaligus merasa bersalah sudah menuduhnya yang bukan-bukan.

Dengan bantal leher yang melingkar di bawah kepala, aku bersandar, berupaya menikmati perjalanan. Aku mengalihkan perhatian keluar jendela, dan pemandangan yang kusaksikan sungguh membosankan; hanya deret hutan karet, sesekali disela petak-petak rumah, kemudian gerbong pengangkut batu bara yang mogok, kemudian hutan karet lagi. Dalam hela napas panjang, aku merasa beruntung diberkahi teman perjalanan yang menyenangkan, karena sebelumnya aku mengira pelarianku ini akan jadi proses yang menyedihkan.

Tak pernah kubayangkan peristiwa yang berlalu sedemikian sinematik. Dalam sunyi, aku memutar ulang adegan demi adegan sebelum aku memasuki gerbong; aku berbohong pada orang tua, aku bilang aku akan menginap di rumah teman dekat kampus, aku akan ada di sana selama seminggu karena harus membantunya menyelesaikan skripsi; aku juga tidak mengatakan apa-apa soal kepergian ini  kepada pacarku. Perjalanan ini memang kuatur sebagai momen pembebasan diri, aku ingin kabur sejenak, beristirahat, menenangkan ombak riuh dalam kepala dan menangis sebanyak mungkin di suatu tempat yang asing. Aku ingin membuang seluruh penderitaan ini ke sebuah wilayah yang tak kukenal.

“Ke Lampung mau ngapain?” lelaki yang duduk di sisiku itu tahu-tahu bersuara lagi, merebut kembali pandanganku dari jendela. “Ada rencana apa?”

Aku berpikir sejenak, sadar kalau aku tidak punya rencana yang jelas setelah sampai di tujuan nanti. “Ke pantai, mungkin?” Aku tidak tahu.

“Sampai kapan?”

Hari itu hari Rabu—aku selalu memulai perjalanan di hari Rabu. “Belum pasti,” balasku, setengah menimbang. “Barangkali Sabtu—atau Minggu.”

“Ada teman di sana?”

“Iya, sekaligus ketemu teman-teman di sana.”

Weekend aku mau atur jadwal,” lelaki itu bicara seperti orang kumur-kumur. “Aku juga mau lihat pantai. Kita bisa ketemu lagi di sana.”

Aku memandangi sebentar, kulihat sorot matanya menghangat. “Kenapa?”

“Biasanya sebulan sekali aku liburan,” dia meluruskan punggung seraya merenggangkan kedua tangan ke depan. “Aku sering ke Lampung. Nggak jauh juga dari kantorku. Pantai-pantai di Lampung juga lumayan.”

“Bareng teman-teman?”

Dia mengangguk. “Tapi nanti aku mau pergi sendirian ah,” sudut bibirnya naik sedikit ketika melirikku. “Biar kayak kamu. Sendirian. Kasihan.”

Sial.

Empat jam gerbong melaju, aku dan lelaki itu sudah bertukar banyak cerita. Dia lahir tanggal 8 April, tepat tiga hari yang lalu, dan ini adalah perjalanannya yang kesekian menuju rumah dinas sebab dia bekerja sebagai penjaga lapas di sebuah kabupaten pinggiran. Masuk akal, aku menarik kesimpulan. Pembawaannya yang mengintimidasi disertai sinar mata seorang pembunuh membuatku percaya pada pengakuan itu—yang, setelah kutelusuri, ternyata memang benar.

“Jadi kerjamu tukang nabok para napi ya?” aku bertanya, iseng.

Tawanya meledak, kedua bahunya bergerak-gerak. “Kalau nakal ya aku tabok.”

Aku ikut tergelak.

Kehangatan itu terasa menjalar, merambat sampai ke pelosok batin. Aku tidak akan mengingkarinya, kesedihan, yang sebelumnya sempat membelit erat dan menggumpal di tenggorokan, mendadak lumer, tanggal dan akhirnya menguap seiring kereta yang mengaliri lintasan rel bergulir semakin jauh. Yang aku inginkan dari perjalanan ini adalah terlepas dari rasa sakit yang menyiksa, dan ternyata aku mendapatkan lebih dari yang kuinginkan.

Tak lama, terdengar pengumuman-pengumuman dari pelantang suara mengingatkan para penumpang yang akan turun untuk bersiap-siap. Lelaki di sebelahku beranjak, meraih ranselnya, dan menggapai koper yang terselip di kompartemen atas tempat duduk. Dia bilang sebentar lagi akan sampai di tujuan, dan ketika dia mengatakan itu, sesuatu mendadak tercerabut dalam hatiku. Sesuatu yang entah apa.

Setelah berhasil menurunkan koper, lelaki itu meraup ponsel dari saku jaket, tahu-tahu mengulurkannya padaku.

Keningku berkernyit. “Mau apa?”

“Nomormu,” lelaki itu berkata, dan aku bisa menangkap senyum yang diulas malu-malu. “Aku mau simpan nomormu.”

Aku bengong beberapa saat. Ini bukan FTV kan?

Dia memandang layar ponselnya kembali setelah aku mengetikkan nomorku di sana, seakan itu adalah karya seni yang layak dikagumi. “Oh, iya. Kita belum kenalan.”

Tersentak aku menyadari kalau sepanjang percakapan yang kami lakukan, dia belum mengenalkan diri sama sekali.

“Aku Qodrat,” ungkapnya, dengan senyum semakin mengembang. “Kamu boleh simpan bantal leherku karena sekarang aku punya nomor Whatsapp-mu.”

Tawaku nyaris menyembur—cepat-cepat aku menahannya, dan selang beberapa menit kemudian, kereta berhenti tepat di sebuah stasiun kecil. Qodrat mengucap pamit setelah bersalaman denganku sebelum akhirnya membaur bersama penumpang lain, turut keluar menjejak peron. Masih kuperhatikan punggungnya yang bergerak menjauh melalui jendela kereta, sampai pada hitungan langkah kesekian, lelaki itu memutar kepala sedikit. Begitu mata kami kembali bertemu, dia melambaikan sebelah tangan ke udara.

This  is how the story went—I met someone by accident. It blew me away…

 Gerbong perlahan beringsut lagi, bertolak menuju stasiun pemberhentian berikutnya. [ ]

You Might Also Like

3 komentar

  1. Casino Resort and Spa Las Vegas Tickets - JT Huntsman
    Tickets for Casino Resort and Spa Las 구리 출장마사지 Vegas range in price 천안 출장안마 from $35 to $50 안성 출장안마 and are 군포 출장샵 available for purchase online, 파주 출장샵 and the venue has a seating area with Jan 14, 2022The ChainsmokersJan 16, 2022ShinedownFeb 12, 2022Gordlemon

    BalasHapus