[CERPEN] SCHEMERING

Stay" Original Abstract Acrylic Painting by Dawn Walling | Chairish
"Stay" by Dawn Walling
Kepalanya mengingat semua itu sebagai ciuman yang manis, seperti kombinasi madu dan likoris, tetapi matanya selalu menjaring siluet gelap yang bisa saja membunuhnya di waktu yang tak terduga.

Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 04:04. Dalam beberapa hari terakhir, Lilah selalu menangkap angka kembar; 19:19, 12:12, 06:06, dan pagi itu, 04:04. Jarang sekali dia terbangun di waktu secepat itu. Dia ingin tidur lagi, tetapi kesadarannya kadung terkumpul dan menolak untuk buyar kembali. Lilah mengumpat, lalu terdiam ketika sadar Banyu tidak lagi berada di sisinya.

Lilah bangkit dari kasur, mencoba tidak peduli, meski dia tahu rasanya itu sulit sekali.

Dalam bilik kamar mandi, pancuran menyemburkan air hangat, menghujani kepala Lilah, sampai basah sekujur tubuh. Dia menikmati butir demi butir merayapi setiap inci kulitnya, membiarkan semuanya luruh sampai ke mata kaki, bertumpuk lalu mengalir ke saluran pembuangan; berharap butir-butir itu adalah representasi dari egonya selama ini.

Vágyakozás permainan Katona Ernesztina tiba-tiba berjinjit dalam benak Lilah, berayun-ayun, melingkar seperti spiral yang saling berkaitan. “Vágyakozás,” Lilah menggumam, yang dia tahu itu adalah bahasa Hungaria—berarti longing; kerinduan. Jantungnya seketika menciptakan denyut lain, denyut yang mengimpit, seakan ruang dalam paru-parunya menyempit. Ini tidak beres, Lilah menyadarkan diri sendiri.

Bagaimana bisa aku merindukan sesuatu yang sebetulnya nggak pernah kumiliki?

Bayangan itu menyergap seperti binatang buas. Ini bukan kebangkitan Lazarus, Lilah mengutuk dalam hati. Tak perlu ada kenangan-kenangan lagi, penghormatan-penghormatan lagi, perayaan-perayaan  lagi; semua sudah selesai. Semua sudah tuntas. Lilah cukup tahu kapan dan di mana dia seharusnya berhenti, dan inilah saatnya. Lilah tidak ingin mengulangi hal yang sama berkali-kali, seperti siklus, seperti pola repetitif yang menjemukan. Lilah benci rutinitas yang membuatnya jengah.

Usai mengeringkan diri, Lilah kembali ke kamar, dan melihat Banyu sudah berada di balik selimut, tidur menghadap bantal, mendengkur halus, tampak pulas.

Lilah mengecek jam, pukul 05:12. Dia sudah menghabiskan satu jam lebih di kamar mandi, merenungkan keputusan-keputusan yang sudah semestinya dia lakukan sejak berbulan-bulan yang lalu. Tolol sekali.

Tetapi, alam bawah sadar Lilah seakan sudah terjalin pada Banyu. Belum pernah dia merasa seintens itu; sungguh mengejutkan sekaligus menggelisahkan mengingat dia bukan seseorang yang gemar bergantung pada siapa pun. Namun, Banyu adalah pengecualian. Lelaki itu licik, kokoh dan berbahaya seperti bison yang tersudut. Lilah kerap lelah, tak tahu harus melakukan apa selain tunduk dan takluk.

Gå med meg, itulah mantra yang kerap Lilah dengar tiap kali menatap mata Banyu. Ikut denganku. Sihir sederhana yang mati-matian ingin Lilah hindari, namun selalu gagal.

Bagaimanapun, pagi itu adalah awal hari yang baru. Kepala Lilah pun mencoba memutar not lagu berikutnya;

Tanken för oss vidare. The idea of us further.

Dan itu sudah cukup menjadi landasan atas apa yang Lilah lakukan.

Sebab, Banyu tak akan pernah mengerti apa yang mengitari kepala Lilah. Tak ada seorang pun yang mampu, tidak juga Lilah sendiri.

“Aku pikir kamu dulu sangat takut kehilangan,” Banyu berkata, menanggapi permintaan itu. “Ketakutan yang begitu kuat.”

“Memang di situlah letak kebodohanku,” Lilah mengucapkan itu sambil sedikit demi sedikit mengumpulkan memori yang tersisa. “Kemudian aku ingat, kamu pernah bilang; aku harus bisa hidup di hari ini, harus bisa berada di masa sekarang, dan itu terasa lebih melegakan.”

“Itu benar.”

Hubungan itu cukup panjang, seingat Lilah. Penuh pasang-surut, dan selalu ada pemahaman tak terungkapkan di antara mereka. Tidak banyak yang tahu, cukup mereka berdua. Jika Lilah yang pergi, jika dia yang memutuskan tidak tahan lagi, perpisahan itu akan terasa berbeda dari yang diputuskan Banyu. Perpisahan yang sudah-sudah, meskipun menyiksa dan berantakan, tidak pernah terasa final.

“Dulu, aku membuat keputusan dengan emosi, dengan ego yang kubiarkan menguasaiku,” Lilah  tahu-tahu tertawa, geli sendiri. “Tapi, hari ini, kepalaku sudah jernih lagi. Semua semakin rasional, kita nggak bakal berhasil.”

“Aku nggak mau langsung menyimpulkan ke sana, tapi aku lihat kamu sudah cukup capek.”

“Capek sekali,” Lilah mengembuskan napas berat. “Semua terasa semakin berat—bisa-bisa aku kena osteoporosis karena terus menahannya.”

Banyu tergelak. “Baik, aku nggak akan memaksa,” suaranya yang rendah terdengar dalam. “Ternyata mengalahkan ego sesulit ini, ya.”

“Aku sudah belajar melepaskan—apa pun, dan memang awalnya susah banget,” Lilah menggerutu. “Tapi, lama kelamaan aku sadar, nggak ada yang mutlak kita miliki di dunia ini. Cepat atau lambat, kita bakal pisah, entah dengan cara apa. Persis katamu kemarin-kemarin.”

“Padahal itu aku ngomongnya ngaco.”

“Ngaco aja bisa bener, gimana kalau serius.”

“Aku serius malah nggak ditanggapi.”

“Nah mulai sekarang," Lilah memberi usul, "kalau ngobrol sama aku, kamu ngaco aja selamanya. Nggak usah serius-serius. Nanti cepat tua.”

“Memang sudah tua,” Banyu mendesis, separuh gusar, dan akhirnya betul-betul bangkit dari kasur, menggapai wajah Lilah untuk kemudian menciumnya. “Aku nggak akan memaksa. Apa pun keputusanmu, lakukan saja.”

“Jangan membebaniku yang macam-macam,” Lilah meresapi perasaan itu, momen itu, kehangatan yang entah akan bertahan sampai berapa lama. “Aku akan tetap jadi cewek rebel yang nggak suka diatur.”

“Cewek rebel favoritku.”

“Cewek rebel yang nggak bakal menikah.”

“Aku juga bakal melajang seumur hidup,” Banyu terkekeh. “Bercanda. Aku mau punya anak. Mau punya istri.”

“Semoga tebakanku salah.”

Air wajah Banyu sontak berubah. “Tebakan apa?”

“Kamu bakal jadi suami durhaka dan istrimu kirim surat ke Indosiar.”

Tawa Banyu meledak lagi. “Kalau istrinya kamu ya pasti akan begitu.”

Lilah mencibir. "Sayangnya aku nggak akan menikah, aku nggak akan jadi istri siapa-siapa,” Lilah meminta Banyu menggarisbawahi itu. “Aku nggak akan jadi  pasangan permanen buat siapa pun. Sudah terlalu banyak orang yang kulukai, dan aku nggak ingin kamu—atau siapa pun juga terluka.”

Jeda beberapa saat, meninggalkan kesunyian yang jika dibiarkan lama-lama akan justru membuat lumpuh. “Kamu boleh berencana, tapi hidup nggak bisa diprediksi,” Banyu bersuara, menghancurkan keheningan itu. “Kamu nggak bisa menutup diri dari kemungkinan-kemungkinan yang menunggu di depan. Semesta suka berengsek.”

“Tapi, lebih baik begitu daripada aku berharap kemudian semesta jadi lebih berengsek.”

Defense mechanism, ya?” Banyu mengangguk-angguk paham, berupaya merangkai petak demi petak dalam kepala Lilah. “Aku bilang, apa pun keputusanmu, lakukan saja. Tapi, satu; jangan biarkan pengalaman ini bikin kamu pahit.”

Pernyataan itu sedikitnya menyentil hati Lilah. Banyu benar. Kebijaksanaan palsu itu hanya menimbulkan kegetiran yang menggunung. “Untuk saat ini, itulah keputusanku. Stay present, kan? Itu yang kulihat sekarang. Aku nggak akan menikah.”

Banyu tersenyum ketika Lilah meralat itu. “Take your time. Sesuatu yang dilakukan secara terburu-buru seringnya jadi nggak baik.”

Lilah menaikkan sebelah alis, curiga. “Itu... ngomongnya serius apa ngaco?”

"Ya, ngaco lah! Ngapain sama kamu serius-serius.” [ ]

You Might Also Like

0 komentar