Sepanjang Rute Kertapati - Tanjung Karang


H-5 Lebaran, 1.000 Pemudik Berangkat dari Stasiun Kertapati Palembang

kompas.com

Saya ingat, Ibu pernah bercerita tentang pengalaman pertamanya naik kereta api kelas ekonomi dengan mengambil jurusan Stasiun Senen – Bandung. Itu terjadi hampir tiga puluh tahun lalu. Tiap kali menyimak cerita-cerita tersebut, yang melintas di benak saya adalah gerbong-gerbong yang sesak padat dipenuhi penumpang gelap, pedagang asongan, sayur-sayuran dan hewan-hewan yang turut serta dibawa penumpang. Kesemuanya bercampur, membaur dalam satu ruangan sempit yang memanjang, dan untuk keluar dari sana butuh perjuangan ekstra agar tubuh tidak terseret-seret saat melangkah menuju peron. Pendek kata, kereta api—khususnya kelas ekonomi—merupakan bilik penyiksaan bagi para pelaju yang tidak punya banyak uang.

Lalu, pada beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan untuk berlibur sendirian ke Lampung. Sebetulnya ada banyak pilihan kendaraan yang bisa saya gunakan selain kereta api seperti pesawat, bus atau mobil travel. Ketiga pilihan tersebut sudah jelas menawarkan fasilitas cukup lengkap agar kenyamanan selama perjalanan tetap terjaga.  Namun demikian, kereta api yang sebelumnya menjadi momok mengerikan bagi saya—mengingat Ibu juga sempat bercerita kalau dia pernah hampir kecopetan di kereta api pada suatu perjalanan—seketika menjadi pilihan utama saya. Awalnya skeptis saat memesan bangku nomor 22E kelas ekonomi dengan harga 32 ribu rupiah. Pikiran-pikiran buruk tentang citra kereta api terus membayang di kepala saya.

Bagaimana kalau ada pencopet?

Bagaimana kalau saya harus sebelahan dengan bapak-bapak tua yang membawa kambing?

Bagaimana kalau—

Spontan pikiran-pikiran tersebut buyar manakala saya mulai memasuki Stasiun Kertapati Palembang, mencetak boarding pass, menjejakkan kaki ke dalam peron untuk kemudian menyusuri gerbong-gerbong, lalu digiring dengan ramah oleh petugas di sana menuju bangku.

Tidak ada pencopet. Tidak ada bapak-bapak tua yang bawa kambing.

Hanya ada sederet bangku yang saling berhadapan, yang sudah diisi tiga-empat orang, serta ruangan memanjang yang pendinginnya luar biasa.

Saya tidak menyangka jika ‘wajah’ kereta api sekarang sudah sangat berbeda. Pelayanan yang baik, toilet yang (sangat) bersih, sekaligus penjagaan yang ketat seakan menjadi privilese tersendiri. Bayangkan, gerbong sekelas ekonomi saja bisa menawarkan kemewahan dan pengalaman tak terlupakan selama menempuh sembilan jam perjalanan menuju Stasiun Tanjung Karang.

Terkhusus, sistem online ticketing yang mulai dikembangkan sungguh mempermudah siapa aja untuk mengakses kereta api tanpa harus mengerahkan banyak waktu dan tenaga. Tanpa harus berdesak-desakan mengalahkan penumpang satu dengan penumpang lainnya agar mendapat barisan antre paling cepat.

Seketika, saya merasa jahat karena sempat berpikir yang tidak-tidak karena kekhawatiran saya tentang naik kereta api selama ini sungguh tidak beralasan.

Saya bisa duduk dengan nyaman. Bercengkerama dengan penumpang di sebelah dan ibu-ibu yang selonjoran santai di bangku depan, berhadapan langsung dengan saya.

Suasana hangat tipikal orang-orang Indonesia. Ada banyak percakapan dan kesan yang tak bisa dihapus begitu saja bahkan setelah saya tiba di Tanjung Karang, setelah resmi memisahkan diri dengan orang-orang di sana.

Sungguh di luar perkiraan, revitalisasi terhadap kereta api nyaris serupa revolusi spektakuler yang seharusnya memang sudah diperhitungkan sejak awal. Hari ini, Kereta Api Indonesia bukan hanya memberikan layanan distribusi dan jasa angkut bebas macet, tetapi juga privilese yang bisa dirasakan seluruh kalangan masyarakat berupa ongkos murah, efisiensi dan fasilitas yang menyenangkan.

Melihat perkembangan drastis dan progresif seperti ini, saya optimis, Kereta Api Indonesia mampu mewujudkan pembangunan rute Trans-Sumatera di mana lintasan-lintasannya menghubungkan Aceh sampai Lampung, sehingga pecandu perjalanan—khususnya di Pulau Sumatera—tidak perlu repot memikirkan akses dan masalah transportasi saat bepergian. 

Demikianlah. Tulisan ini sengaja saya buat sebagai bentuk permintaan maaf saya kepada Kereta Api Indonesia, karena saya sempat meremehkan cenderung suuzon sebelum merasakan langsung bagaimana serunya jalan-jalan dengan kereta api.

Dan sekarang saya mengerti, kenapa banyak sekali adegan-adegan romantis di televisi yang melibatkan stasiun dan gerbong kereta api. Sebab begitulah adanya. Bahkan sejak pengalaman pertama, saya sudah jatuh cinta duluan. Doa saya untuk Kereta Api Indonesia, semoga semakin produktif dalam melakukan pembaharuan dan perkembangan ke arah yang lebih baik.

Selamat Ulang Tahun ke-74 Kereta Api Indonesia! [ ]


You Might Also Like

0 komentar