Penulis yang Bertemu Tokohnya Sendiri

Hasil gambar untuk writer painting abstract
The Ploughshares Blog

Dulu saya butuh kuota puluhan giga untuk mengunduh drama Korea belasan episode. Dulu saya butuh waktu berjam-jam untuk menghabiskan tiap-tiap episode sampai musim terakhir demi mengetahui penutup ceritanya. Dulu saya bingung, kenapa sih hidup saya nggak semenarik seperti yang dibesut sutradara-sutradara profesional itu?

Ketika orang-orang bertanya apa yang mengesankan dalam hidup ini, saya akan menggeleng—atau mengangkat bahu. Apa yang bagus? Apa yang keren? Nggak ada yang layak diceritakan.

Sampai kemudian, pasca kelulusan dari universitas, hidup saya yang awalnya mirip padang tandus kerontang menjelma studio bermain yang ramai sekali. Semua yang terlihat tampak kurang familiar. Perlu beberapa waktu bagi saya untuk membiasakan diri dengan dunia yang hingar-bingar, dipenuhi kejadian-kejadian nggak terduga, dan mau-nggak-mau, harus berhadapan dengan situasi yang saya sendiri nggak tahu disebabkan oleh apa.

Banyak keanehan terjadi. Salah satunya adalah momen tiga hari yang lalu. Saya menyebutnya sebagai Penulis yang Bertemu Tokohnya Sendiri.

“Namaku Mario.”

Sebentar. Saya kaget bukan main ketika dia ujug-ujug muncul di ruang percakapan di sebuah platform, menyapa duluan dan memperkenalkan diri. Mario. Saya nggak tahu pasti lengkapnya siapa, yang jelas Mario adalah nama tokoh yang paling saya sukai di antara nama-nama lain yang pernah saya tulis. Karena Mario adalah awal mula saya menyadari; bahwa menulis berarti harus mencintai tokoh-tokohnya pula.

Mario adalah karakter original yang saya buat untuk pertama kalinya. Sembilan tahun lalu—ketika saya masih menulis asal-asalan dengan plot bolong di mana-mana. Ha-ha. Saya selalu ingat bagaimana teman-teman dulu selalu menyemangati saya untuk menyelesaikan bab demi bab, meski pada akhirnya saya tahu tulisan itu memang belum layak terbit.

“Jadi nanti ceritanya Mario mati atau diselamatkan oleh Talitha?” salah satu teman saya kala itu langsung menghambur usai membaca tuntas halaman sekian. Saya nggak menjawab, saya hanya senyum-senyum sendiri, merasa senang karena tulisan saya—setidaknya—berhasil membuat pembaca penasaran dan ketagihan.

“Aduh. Mario pasti ganteng ya?”

“Kayaknya aku bakal naksir Mario.”

“Tapi aku curiga, Mario ini sebetulnya tokoh jahat.”

Kenangan-kenangan tersebut sontak terlintas kembali dalam beberapa detik begitu saya mendengar nama itu lagi.

“Aku Mario.”

Saya terkikik sendiri. Apa-apaan ini? Mario minta nomor handphone saya? Mario? Halo Mario?

Jadi saya resmi berteman dengan Mario; pindahan dari Jakarta yang perawakan – kelakuan – dan tutur katanya persis teman kuliah saya dulu, tapi punya kecenderungan caper persis Mario yang saya deskripsikan dalam tulisan sembilan tahun lalu.

Mario sudah punya pacar. Tapi pacarnya kurang perhatian dan harus melewati hubungan jarak jauh yang, dia bilang, menyiksa. Karena pacarnya memang cuek sekali.

Saya bingung; kalau cuek, kenapa tetap dilanjutkan?

Tapi, saya nggak mau jadi kompor. Biarkan Mario membuat keputusannya sendiri.

Semenjak perkenalan itu, saya tahu kalau Mario hanya sebatang kara di kota ini. Dia bilang dia betul-betul sendirian dan kesepian dan nggak punya teman ngobrol. Jakarta berbeda dengan Palembang, katanya. Beberapa bulan tinggal di Palembang, dia sempat murka ketika mendengar warga yang sibuk main organ tunggal bahkan sampai lewat tengah malam. Dia telepon polisi setempat, tapi nggak ada respons. Saya ngakak hebat. “Kalo pun diangkat, polisinya pasti bakalan gabung buat joget,” saya menambahkan.

Sebab Palembang bukan Jakarta, Mario.

Awalnya Mario sempat khawatir saya nggak akan menjawab pesan-pesannya lagi karena tahu dia sudah punya pacar. Saya ketawa mendengar pernyataannya yang super GR itu. "Scuse moi, nggak usah pede kamu. Kamu nggak sespesial itu.”

“Ya habisnya orang-orang kebanyakan begitu. Padahal niatku cuma mau berteman aja."

Niat yang dia maksud cukup sumir, menurut saya. Tapi dia tetap menganggap kalau punya pacar bukan berarti nggak bisa punya teman yang lain. Atau dapat perhatian dari sosok lain. Lucu memang. 

Lantas saya bertanya, “Terus kenapa kamu tertarik berteman sama aku?”

“Karena…..” Dia sok menggantung kalimatnya. “Karena kamu itu cute, keren, style-nya oke, juga bikin penasaran. Tapi awalnya nggak tahu kalo logatmu aneh begini, jadi ya gitu deh. Ha-ha-ha.”

Dasar cowok. Selalu superfisial.

“Kenapa nggak coba cari teman lain? Di tinder?”

Mario menghela. “Antusiasnya kurang. Nggak ada yang asik. Untung aku ketemu kamu.”

Saya menepuk-nepuk dada. “Sudah betul itu. Kamu harus bersyukur karena aku ini one of a kind.”

Indeed. Kamu memang one of a kind.”

Jadi setelah itu, kami bercerita banyak. Seringnya saya yang menyimak-nyimak ceritanya; keluhannya di tempat kerja; capeknya sepulang kerja tanpa ada siapa-siapa. Karena saya teringat akan posisi saya beberapa bulan lalu dalam sebuah perantauan—tetapi, saya lebih beruntung karena di sana saya punya banyak teman, dan punya pacar perhatian yang siap sedia menampung seluruh kesedihan dan kebosanan saya dalam hidup.

Mario memang butuh teman, so I do him a favor karena saya adalah penulis yang betulan bertemu dengan tokohnya. Nyata dan nggak dibuat-buat. Seperti takdir yang sudah mutlak tergaris.

Tapi satu yang saya harapkan; semoga Mario nggak jatuh cinta sama saya. Saya serius soal ini.

Karena seperti percakapan yang pernah saya tulis dalam naskah yang nggak kunjung terbit itu;

“Perasaan bisa menjebak kapan saja, Mario. Kamu harus hati-hati.” [ ]

You Might Also Like

0 komentar