Artmajeur |
Banyu kembali lagi
dalam kehidupan Lilah. Cewek itu sadar akan keputusan-keputusannya, meski dia sendiri
masih kebingungan; bagaimana bisa aku sudi meminum obat dari seseorang yang
sempat meracuniku?
Tetapi, itulah
yang Lilah lakukan. “Apa yang kamu harapkan dariku?”
"Lilah," lelaki itu
mengendurkan kerah kemeja. Dia baru saja tiba di tempat itu setengah jam lalu, namun sudah bisa merasakan atmosfer yang mencekik.
“Aku punya banyak alasan untuk pergi, tapi…”
Lilah melihat
Banyu menggeleng, menunggu kelanjutan kalimat itu. “Tapi apa?”
“Tapi aku nggak
bisa.”
Kedengaran
tolol. Argumen macam apa itu? Lilah masih memandangi Banyu, keheranan.
Bagaimana mungkin cewek kumal, usang dan mirip sempak kotor seperti dirinya
bisa membuat seorang laki-laki elegan, dengan jenjang karier menjanjikan, seperti
Banyu, menjadi frustrasi? Apa ini lelucon akhir zaman?
Keheningan itu
berlangsung sepersekian detik sampai akhirnya Lilah kembali bersuara usai menimbang-nimbang, “Kamu... nggak mau
kutemani berobat? Aku punya kenalan ahli syaraf.”
Tidak ada jawaban untuk sesaat. Banyu hanya memandangi cewek itu dengan ujung-ujung alis bertaut.
"Dia praktek dekat sini. Mungkin hari Jumat sudah buka..."
"Hei," Banyu tahu-tahu menyela. “Apa aku kelihatan sakit?"
"Dia praktek dekat sini. Mungkin hari Jumat sudah buka..."
"Hei," Banyu tahu-tahu menyela. “Apa aku kelihatan sakit?"
Lilah menilai sejenak. "Di luar sih nggak," cewek itu berkata seadanya. "Tapi, siapa tahu syarafmu lagi kejepit atau..."
“Aku sehat dan aku sadar atas apa yang kulakukan sekarang,”
ekspresi Banyu spontan berubah, ketegangan dalam dirinya perlahan cair. “Aku sudah datang ke sini. Kita ketemu. Apa itu semua nggak cukup bikin kamu yakin?” Dia tertawa seperti sedang mengasihani diri sendiri.
“Aku yang sebetulnya nggak semeyakinkan itu, Nyu,” Lilah merespons
cepat. Setiap malam dia bercermin, mematut diri selama berjam-jam, mencari-cari
hal yang—setidaknya—dapat menjadi bagian favoritnya. Tetapi, gagal. Dia tidak
melihat satu pun hal yang menarik dari pantulan itu. Jika Lilah sendiri tidak
yakin pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin Banyu merasakan sebaliknya? “Ini
benar-benar nggak masuk akal.”
“Nggak semuanya
harus masuk akal,” Banyu bersikeras. “Apa kamu pikir rotasi bumi itu masuk
akal? Bagaimana bisa bumi berputar bolak-balik tanpa membuat seisinya
berantakan?”
“Itu geografi."
“Dan kamu
percaya itu?” Banyu memandangi Lilah yang masih diam. “Kalau aku sih nggak.
Bisa saja itu bikinan-bikinan ilmuwan iseng supaya buku pelajaran makin tebal
dan mahal.”
Untuk kali
pertama dalam beberapa waktu, Lilah memecah tawa. Banyu telah
meracuninya—sekaligus menjadi penyembuh baginya. “Kamu kalau ngobrol sama cewek
apa selalu begini?”
Gerakan tangan
Banyu yang sedang menanggalkan kancing seketika tertahan. Kepalanya miring
sedikit. “Kamu tanya itu buat menjebak—atau?”
“Jawab saja.”
“Aku jomblo
sejak 2014. Aku sudah cerita kan?” kemeja yang dikenakan Banyu berhasil lepas
dari tubuhnya, menyisakan kaos putih kusam yang entah sudah dipakai dan dicuci
berapa kali. “Selama itu—aku bingung bagaimana harus berinteraksi sama cewek secara proper. Tapi aku berusaha mengatasinya,
dan lumayan. Selalu pakai kondom. Tapi, dari semua itu, nggak ada yang
benar-benar membuatku tertarik.”
Oh, fakboi. Penjelasan tersebut
tentu membuat asumsi Lilah semakin kuat. Terang saja, Banyu, yang penampilan kasualnya setara bos-bos
muda perusahaan startup, yang skor IELTS-nya nyaris sempurna, punya latar
belakang pendidikan bagus dan dari keluarga terpandang, tidak mungkin kesepian.
“Kenapa?” Banyu
menyadarkan Lilah dari renungannya, kemudian beranjak menyeduh teh. “Kamu lagi
kepikiran apa?”
Lilah meraih
kemeja Banyu yang tergeletak di kasur, menghirup aroma yang, sejujurnya,
selalu dia rindukan. “Baumu enak.”
Kamar itu disewa
tiga malam. Letaknya di lantai lima belas sebuah hotel tengah kota. Banyu menginap
di sana dan nyatanya Lilah benar-benar datang kepadanya. Dia tahu, sepasang
magnet tidak akan bekerja jika keduanya tidak saling tarik-menarik. “Kamu masih
butuh banyak penjelasan dan detail dariku?”
Penjelasan apa?
Detail apa? “Kalau menurutmu nggak ada lagi yang perlu dijelaskan, ya sudah.”
Banyu segera
berbalik, sadar sedari tadi mata Lilah diam-diam menyelidikinya. “Kamu boleh
bilang kalau aku tolol, dungu, goblok, name
all you want. Tapi, aku berhak membela diri; aku berhak dapat kesempatan.”
“Tapi sesuatu
yang sudah rusak, meski sudah diperbaiki, cara kerjanya nggak akan lagi sama.”
“Aku nggak
merusak apa pun,” Banyu mengabaikan cangkir teh yang dia letakkan di mulut
jendela dan balas menatap Lilah. “Aku—merasa nggak ada satu pun yang rusak.”
Lilah mengangguk,
tidak ingin memulai pertemuan itu dengan perdebatan panjang. “Oke.”
“Kamu mau tahu
kenapa aku melakukan itu?” Banyu tetap berusaha keras menjelaskan. “Kamu
mau dengar kenapa aku menutup-nutupinya darimu?” Ada pergolakan yang terpahat dalam kerut-kerut di keningnya.
Lilah belum
siap. Tidak akan pernah siap.
“Alena
sebenarnya musuhku. Aku nggak pernah menceritakannya karena aku nggak ingin,”
nada bicara Banyu melunak separuh memohon, sebagian dari dirinya seakan mengurai. “Tapi, dia pintar, cerdik. Dia bisa mengalahkanku kapan saja. Cewek
itu mirip macan kumbang. Matanya ada empat.” Dia meletakkan satu telapak tangan
di belakang kepala, “Dua di depan. Dua di balik rambut. Alena bisa menerkamku
kapan pun dia mau.”
Bayangan akan
wanita muda bergaun merah berkelebat. Dengan gerak-gerik yakin dan sepasang
mata menyala menggoda. Siapa yang tahan? Sekarang Banyu kembali ke momen itu
ketika tatapannya menembus luar jendela kamar hotel yang semakin temaram, mengilas balik kejadian-kejadian itu; kelab
malam yang berisik, lampu berkedip-kedip. Saat itu bulan Maret yang panas dan
gerah, musik berdenyut—berdentam dalam darah.
Banyu melihat Alena memasuki kelab. Tampak hebat. Menjadi pusat perhatian. Tidak kenal takut. Banyu tahu,
perempuan itu punya kekuasaan dan usia yang jauh di atasnya. Dan fakta-fakta
itu justru mendorong Banyu melakukan banyak hal termasuk menidurinya. Alkohol
telah berhasil menggiringnya sejauh itu.
“Did you fuck her?”
Pertanyaan itu
mengembalikan Banyu, kedua tangannya sontak terangkat. “Aku nggak tahu, aku
nggak sadar, Lilah,” ada ketidakpastian di sana, seperti siluet yang
samar-samar. “Aku bahkan nggak ingat kalau pagi itu aku nggak sengaja meneleponmu.”
Wanita lain yang tubuhnya bersatu dengan Banyu,
menggeliat dalam erangan dan rintihan, rambutnya yang kemerahan berkilau
ditimpa sinar lampu yang menyakitkan mata. Membayangkan
itu saja cukup membuat dada Lilah terasa sakit. Lebih ngilu dari patah tulang,
yang kesemuanya menyusup mendera sel, otot, dan porinya. “Kamu menginginkan
Alena.”
“Pendapatmu
nggak sepenuhnya salah,” Banyu duduk di hadapan Lilah sementara perempuan itu
refleks menggeser tubuh, menjauh. “Aku menginginkannya.
Seperti binatang lapar, aku menginginkannya.
Aku ingin menghabisinya.” Ketika
mengatakan itu, Banyu berharap Lilah akan menatapnya langsung. “Tapi, Alena
nggak segampang itu. Dia bukan orang yang mudah tumbang. Kalau kamu pikir aku menyukai Alena, kamu benar. Aku menyukai
keyakinan akan dirinya, keterampilannya, dan itu adalah sesuatu yang kupelajari
diam-diam darinya. Kamu ngerti maksudku, kan?”
Lilah menelan
ludah. Sesungguhnya, pembicaraan ini bukanlah topik yang menyenangkan, tetapi dia terus diam dan melawan rasa mual itu meski simpul licin dalam perutnya semakin menyakitkan. Dia berpikir, barangkali dengan membiarkan
Banyu menumpahkan segalanya hingga tuntas, Lilah tak perlu menyesali
keputusan-keputusan yang sudah dia buat.
“Aku punya
pekerjaan, Lilah. Aku suka kerja. Aku punya uang, mungkin bakal punya lebih
banyak lagi. Tapi, di luar itu, selalu ada lubang kosong yang menyedot. Awalnya
aku nggak tahu kenapa lubang itu di sana. Nggak peduli sudah berapa banyak
cewek yang menghiburku di masa lalu, tapi… itu semacam, apa ya? Kenikmatan
sementara? Lubang kosong itu masih tetap terasa.”
“Terus kamu
ketemu Alena…”
“Nggak,” Banyu
cepat-cepat menepis. “Awalnya aku pikir begitu, karena kami punya kecenderungan
yang sama, jadi seenggaknya aku bisa memercayainya. Tapi, nggak. Ternyata aku
seratus persen salah. Kenyataannya kami cuma mempermainkan satu sama lain. Aku tahu ini berengsek, tapi hubunganku dengannya nggak lebih dari tuntutan politis."
“Oke, oke.”
“Aku belum
selesai.” Banyu menahan dengan menaruh tangannya di
atas punggung tangan Lilah. “Kamu harus tahu, dalam diriku, ada potongan yang nggak lengkap. Aku bisa
saja terus hidup dalam ketidaklengkapan itu. Toh, selama ini aku baik-baik saja dan
bahagia.”
Mata Banyu tak
lepas dari wajah Lilah yang terus-terusan menghindarinya. “Lalu, kamu muncul. Anak kecil pecicilan yang nggak punya malu. Aku nggak tahu bagaimana prosesnya,
tiba-tiba kamu masuk ke pandanganku, seperti magnet. Aku nggak ngerti.
Berkali-kali aku ingin mengingkarinya. Tapi, aku nggak bisa.”
Banyu
mengulurkan jari, menelusuri rambut Lilah yang sebagiannya jatuh menutupi muka.
Sentuhan tanpa suara itu, entah bagaimana, membisikkan gairah hangat yang
intim. “Cewek berwajah kusam yang pakai baju nggak serasi sama jilbab, jauh
sekali dari tipeku. Sampai aku sendiri pun bingung. Tapi kamu seperti hadir
untuk mengisi ketidaklengkapan itu. Aku nggak bisa berhenti memikirkan itu, semacam; kok ada sih manusia yang begini? Dan semakin aku memaksa diriku untuk berhenti dan mengabaikan semua itu, rasanya semakin menyiksa.”
Sepasang mata
Lilah terasa panas. Dia bahkan tak berkutik ketika ada seorang lelaki yang
seberani itu mengomentari penampilannya. Banyu memang bajingan.
“Alena bukan
apa-apa dalam hidupku. Aku menyesal sudah bikin kamu berpikir yang sebaliknya. Maaf, ya.”
“Aku berasa
kayak orang goblok. Beneran, deh,” dalam beberapa menit terakhir, barulah Lilah menemukan suaranya. Ruangan itu terasa
menggigil dan dia berharap daun jendela yang terbuka bisa menutup dengan
sendiri. “Seharusnya dari awal aku nggak mempermasalahkan ini. Kita nggak perlu ribut soal ini.”
“Aku tahu.”
“Tapi, aku
takut,” dengan pertahanan yang tersisa, Lilah memberanikan diri untuk betul-betul menentang
mata Banyu, meski dia sudah menebak akan menangis dengan muka jeleknya. “Aku
takut setengah mati.”
Lilah merasakan
tubuh Banyu mendekat dan membungkusnya, sedikit gemetar. “Aku tahu, aku paham,” Banyu berbisik, mengusap-usap punggung Lilah. “Itu sebabnya aku di
sini, menjelaskan semuanya. Aku nggak mau kamu pergi lagi.”
Sayup, terdengar
Lilah merespons dengan gumaman tidak jelas, sesenggukan. Dia benci karena terus-terusan kelihatan cengeng di hadapan Banyu.
"Aku nggak tahu kamu ngomong apa," balas Banyu kemudian.
Jeda berlangsung beberapa waktu, Lilah akhirnya berhasil mengendalikan diri dan mulai reda. “Dari dulu kan aku nggak ke mana-mana.”
Banyu mengerjap, lalu memberi jarak dari Lilah. "Nggak ke mana-mana, kamu bilang?" Kini pandangannya sarat emosi, tampak tak terima.
“Kamu main pergi begitu saja, dan aku harus menanggungnya sendirian. Apa itu namanya nggak jahat?”
Mengetahui bahwa
Banyu juga tersiksa, sedikitnya membuat Lilah merasa aman sekaligus lega.
Keduanya lalu bersitatap, berupaya menggali satu sama lain. Kali ini
Lilah melihat Banyu yang serius, yang emosional, yang tak bisa dihalangi oleh
siapa pun. “Apa kemudian semuanya nggak akan hilang suatu saat nanti?”
“Apanya yang hilang?”
“Perasaan-perasaan
itu,” Lilah membersihkan kedua pipinya yang lembab lalu menyusut ingus. “Nggak
ada yang bisa menjamin apakah perasaan-perasaanmu terhadapku bakal kekal
selamanya.”
“Bagaimana
denganmu?”
“Aku?”
“Bagaimana
perasaanmu terhadapku?”
Sekarang Lilah yang bungkam.
Siapa pun tahu, Banyu adalah yang pertama—dan mungkin menjadi satu-satunya
lelaki yang berhasil merobohkannya tanpa perlawanan. Tak ada lagi benteng yang
melindunginya. Bagi Lilah, Banyu adalah penyelamat sekaligus suaka. Tidak ada yang
bisa mengubah itu. Tapi, apakah dia sendiri bisa menjamin jika kelak, suatu hari nanti, hatinya tidak akan berubah? Apakah dia bisa meyakinkan diri, setiap hari, bahwa inilah persinggahan terakhirnya?
Namun, sebaliknya, Banyu punya kesimpulan lain; perang telah usai dan gencatan senjata resmi diakhiri. Dia benci kesalahpahaman, dan dalam hati berjanji tidak akan membiarkan hal yang sama terulang lagi. “Oke. Diammu itu sudah cukup menjawab semuanya.”
Lilah langsung protes “Tahu apa kamu?”
“Tahu pong? Tahu gejrot?" Banyu terkekeh, lantas beranjak seraya memainkan handuk putih yang digantung di lemari. "Tapi aku nggak bawa tahu. Bawanya brownies. Belum aku keluarkan dari koper. Ayo ambil.”
Percakapan panjang
dan menguras itu nyatanya membuat Lilah gerah, juga lapar, dan dia baru sadar itu sekarang. “Kamu yang ambil.”
“Kok aku?”
“Yang bawa brownies
siapa?”
“Aku.”
“Yang punya koper
siapa?”
“Aku.”
“Ya sudah,”
Lilah bangkit dari kasur seraya merampas handuk yang baru dilingkarkan Banyu di
leher. “Aku mandi duluan. Kok pegal ya habis ngobrol sama kamu.”
“Nggak mau mandi bareng?”
Lilah mengernyit
melihat Banyu yang mengedip dua kali. “Kamu ambil brownies di koper.”
"Padahal tadi kulihat di tengkukmu banyak daki."
Lilah yang sudah masuk ke bilik kamar mandi berteriak, gusar, "Aku bisa gosok sendiri!"
Terdengar Banyu terpingkal lepas, kemudian disusul dengan letusan kembang api yang meledak di pojok langit. Sebentar lagi malam pergantian tahun, dan dua orang penghuni kamar 208 tersebut sama-sama membuat catatan di hari itu;
Apa pun yang sudah menjadi milikmu, akan pulang dan kembali. [ ]
Terdengar Banyu terpingkal lepas, kemudian disusul dengan letusan kembang api yang meledak di pojok langit. Sebentar lagi malam pergantian tahun, dan dua orang penghuni kamar 208 tersebut sama-sama membuat catatan di hari itu;
Apa pun yang sudah menjadi milikmu, akan pulang dan kembali. [ ]
0 komentar