fineartamerica.com |
Dua puluh tiga
tahun lalu saya dibesarkan oleh seorang perempuan yang kuatnya setengah mati.
Bukan karena ia atlet angkat besi, atau pejabat superpower. Ia hanyalah
perempuan biasa yang sudah khatam ditempa oleh kehidupan.
Saya belajar
banyak dari Ibu. Bukan hanya sebatas urusan domestik, tetapi juga prinsip dan
landasan pikir.
“Mengakarlah,”
Ibu bilang, ketika tahu saya baru saja disakiti oleh seseorang. “Tegaklah
dengan akar sendiri. Jadilah kokoh. Kalau akarmu sudah menancap dalam, tertanam
sampai dasar, kegoyahan yang kamu rasakan itu nggak bakal bertahan lama. Kamu
akan berdiri lagi. Lebih tegap. Lebih kuat.”
Seumur-umur,
saya memang nggak pernah seterbuka itu soal perasaan, soal hati, atau soal
omong kosong apa pun. Tetapi kala itu rasanya sungguh nggak tertahankan. Ibu
memaklumi. Justru kesakitan yang pernah Ibu rasakan telah melampaui
segala-galanya; ia ditipu, direndahkan, dilecehkan, dipermainkan, seolah dunia
nggak pernah berpihak padanya.
Belajar dari
pengalaman orang lain memang satu-satunya jalan paling aman. Saya sudah
berupaya melangkah dengan hati-hati, dengan pelan, dengan teliti. Berharap
nggak perlu menjadi patah seperti yang dialami orang-orang sebelumnya. Tapi, hidup memang
suka bercanda. Dan, nyatanya, berhubungan dengan manusia itu sungguh melelahkan.
Saya mulai oleng, sesekali goyah ke sana-sini layaknya pendulum, sampai
akhirnya saya betul-betul kehilangan pegangan.
Saya tersungkur.
Nggak peduli
sebanyak apa persiapan yang sudah saya lakukan, tetap saja saya nggak bisa terima
kalau saya pernah kalah; kalau saya sudah terjatuh.
Bagaimanapun,
Ibu nggak pernah menghakimi. Ibu hanya ingin saya belajar dari yang sudah-sudah.
Sebab ketergantungan
hanya menciptakan petaka. Maka, mengakarlah sendiri. [ ]