Google Images |
Uap-uap dari kios portabel melayang memenuhi atmosfer yang
bebas. Saya nggak menyangka kota di malam Minggu akan seramai ini. Ada banyak
pertunjukkan, kerumunan dan sorak-sorai yang tercampur di sepanjang pedestrian Sudirman.
Para pejalan kaki sibuk dengan kebahagiaan masing-masing; saling bergandengan
tangan, menyeruput kopi panas, bahkan menaiki panggung untuk bergabung dalam
klub karaoke murahan.
Ini adalah pertama kalinya dalam beberapa waktu, saya bisa merasakan Palembang yang hangat
dan menyenangkan. Secara utuh.
Di antara lautan manusia yang tumpah sampai Bundaran Masjid
Agung, saya dapat mendeteksi mata-mata jahat di sana. Sepasang mata yang menyorot
muram, yang dapat saya tangkap dalam jarak beberapa jengkal. Saya membaur
bersama para pejalan kaki lainnya, lantas berteriak, “AWAS COPET! SOALNYA AKU MAU
NYOPETTT HA HA HA!”
Tindakan brutal itu berhasil membuat kepadatan yang mengelilingi
saya seketika mengurai. Orang-orang menatap saya dengan sangsi sekaligus jijik, sebisanya menyingkir sejauh-jauhnya. Dicap buruk dan jelek adalah kegemaran saya.
Saya tertawa girang. Teman yang sedang bersisian dengan saya turut tergelak. “Berengsek kamu, Blek.”
Dan kalimat itu seperti mantra menuju lorong waktu. Saya
seperti disedot mundur menuju malam pergantian tahun - beberapa bulan silam.
Ternyata saya belum sepenuhnya lupa.
Waktu itu, kembang api silih berganti meluncur, bertabur, lalu berpendar memenuhi langit yang sedikit mendung.
Saya duduk di sampingnya, dan tahu-tahu bicara, “Kamu percaya nggak kalau aku sebenarnya orang jahat?”
“Nggak,” saya ingat betul ketika dia menolak pengakuan itu
mentah-mentah. “Aku yakin kamu baik.”
Saya nggak pernah paham, ilusi macam apa yang ada di
kepalanya saat itu. Saya masih nggak menyangka bahwa dia bisa bersikap
setulus itu. Bahwa dia berhasil melunakkan cangkang yang selama ini saya rawat
dan jaga. Bahwa dia berhasil melakukan agresi berkali-kali untuk menyerang pertahanan saya sampai lumpuh, dan pada
akhirnya saya benar-benar menyerah. Dia sangat kuat.
Saya nggak pernah mengerti kenapa semua bisa terjadi.
Kami kerap berkendara mengelilingi kota, bercerita tentang banyak hal,
melakukan banyak hal, merencanakan banyak hal. Aku orangnya rese, saya bilang.
Dia hanya ketawa, dan saya suka aroma napasnya yang harum mint. Aku nggak bisa
jadi cewek manis, saya bilang sekali lagi untuk mempertegas. Lagi-lagi dia
ketawa, dan menyentil pipi saya pelan.
“Kamu orang baik dan lucu, aku suka,” dia membalas, dengan sepasang
mata yang ikut tersenyum menatap wajah saya langsung. “Sama kamu semua terasa
beda.”
Aku cewe berengsek, Dro. Tapi ungkapan itu nggak sempat saya
lontarkan karena dia keburu menyeret saya ke tempat lain. Mumpung aku bareng
kamu, aku mau lihat Sungai Musi, katanya separuh berguyon.
Saya bingung, kenapa di hadapannya saya selalu lemah. Saya
jadi sering menangis. Saya nggak bisa menutupi kalau selama ini saya telah
bersedih seorang diri. Berulangkali saya meninggikan tembok, memberi jarak, bertingkah
menyebalkan, tetapi dia terlalu pintar dan cekatan. Dia berhasil mencuri gembok satu-satunya yang saya punya. Dia punya kemauan yang sangat besar. Dia lelaki pemberani.
Menjadi satu hal yang
paling saya benci ketika saya mulai berbicara padanya; saya tiba-tiba menjadi sosok yang lain. Sosok yang saya pikir nggak
pernah ada.
Selama ini saya nggak pernah peduli pada penilaian
orang-orang. Saya nggak peduli jika orang-orang menganggap saya monster barbar, bangsat, berengsek dan segala sifat nggak menyenangkan lainnya. Saya bahkan nggak pernah berpikir akan ada orang asing yang datang,
yang mengaku jatuh cinta dan bersungguh-sungguh dengan ucapannya sendiri.
Cukup banyak pertimbangan yang saya lakukan untuk betulan menerima kehadirannya dalam hidup saya, sehingga saya perlu bertanya, “Kenapa kamu begitu baik?”
Dia tersenyum. Dia selalu tersenyum kepada saya. “Karena
kamu juga baik dan menyenangkan.”
Saya menggeleng, antara geli dan heran. Bagaimana bisa dia
melihat saya dengan cara demikian? Bagaimana bisa senyuman itu nggak pernah
pudar sepanjang dia menyimak cerita-cerita saya?
Dan saya harus terima bahwa semuanya benar-benar telah
berakhir. Bahwa kami berdua adalah dua orang bajingan yang saling menemukan,
yang saling mempelajari satu sama lain, dan bertumbuh dalam waktu yang teramat
singkat.
Saya nggak pernah menyesali semua itu, meski saya pikir
bukan jatahnya lagi untuk kembali mengulangi kisah yang sudah selesai. Sebab kami
sudah sama-sama tuntas.
Lalu saya kembali ke tengah kota. Duduk di tepi pedestrian,
melahap telor gulung, menyeruput teh Thailand dan memandangi langit malam yang
jernih.
Ingar-bingar tembang keroncong mulai mengalun lewat pengeras
suara, terdengar vokal bapak-bapak menyanyi dengan tempo dan ketukan yang pas. Saya
sangat menikmati malam itu.
“Kamu mau jajan apa lagi, Blek?” teman lelaki yang sedari tadi
duduk di samping saya tahu-tahu menyinggung lengan saya. “Otak-otak Singapur,
mau?”
Saya menggeleng. “Kebanyakan makan otak-otak, nanti balik-balik
aku jadi profesor.”
Kami lagi-lagi terkikik.
Dan dari situ saya paham bahwa beginilah rasanya memulihkan
diri. Seperti kepiting yang berganti kulit, saya merasakan banyak sekali perubahan
yang menyenangkan. Saya sehat kembali, mulai stabil, dan perasaan-perasaan yang
masih tersisa itu perlahan beralih menjadi pengingat pribadi bagi saya; bahwa
kebaikan dan ketulusan hati mampu melenyapkan arogansi seorang manusia.
Terima kasih. 😊
0 komentar