[CERITA SANGAT PENDEK] KENAPA KAMU SELALU SEDIH?

Image result for sad abstract painting
Google Images

Ini bukan sesuatu yang menyenangkan. Bukan pula sesuatu yang patut ditangisi. Saya kembali melihatnya duduk di sebelah, tidak lagi tercium aroma rokok. Sudah berhenti, katanya. Lagi pula kamu kan nggak suka cowok perokok, dia menambahkan.

Saya bingung, ketika dia berbicara tanpa mengalihkan matanya, saya separuh bertanya; apakah saya telah sepenuhnya berubah? Atau dia yang sengaja mengubah saya?

Keramaian, yang semestinya membuat pening, seolah menyusut, perlahan larut dalam kesepian yang melekat permanen, rutin mengisi kedirian saya. Andro, saya sebut namanya, dan saya tahu saya tidak sedang bermimpi karena wajahnya tampak begitu nyata, sangat nyata, sampai-sampai saya harus menyentuhnya ketika senyuman itu merekah.

Andromeda. Saya sebut sekali lagi demi membongkar rencana Tuhan yang tidak saya temukan dalam kitab-kitab suci. Meski sudah cukup lama saya meninggalkan sejumlah keyakinan yang saya anggap sumir, tetap saja rasanya sukar untuk merobek segenap kabut-kabut gelap yang menyelubungi. Ribuan kali saya mempertanyakan kehadirannya yang entah bagaimana;

Di luar kesadaran saya, dia muncul tiba-tiba, dan menjelma galaksi yang tiada habisnya untuk saya telusuri.

Jadi, setiap pagi, saya bisa mendengar ponsel di bawah bantal berderit-derit. Saya lihat nama galaksi itu giat berbaris di layar, berkedip-kedip, dan saya butuh waktu beberapa jenak untuk sadar diri. Nyaris dua puluh tiga tahun, dan saya belum terbiasa menghadapi ini.

“Boleh aku tanya?” setidaknya saya mampu menangkap vokal baritone yang gamang sedetik panggilan itu terhubung.

Saya menggigit kuku. Semoga bukan sesuatu yang harus membuat saya terkejut. “Dan apakah itu?” meski pertahanan yang saya punya tinggal secuil, saya tahu, tak seharusnya saya menyikapi semua masalah ini dengan lemah.

Helaan napas merambat lewat udara yang bergesekkan. Lewat senyap yang saya ciptakan sendiri. “Kenapa kamu selalu sedih?”

Pertanyaan itu terasa jauh lebih memukul ketimbang kalimat basi “Kapan nikah?”

"Andro kesayanganku," sekali lagi saya menyebut namanya dengan campuran rasa gemas dan hasrat ingin mencekik seseorang. “Aku baik-baik aja, kok.”

“Aku nggak tanya apa kabarmu,” dia menyambar cepat. “Aku tanya, kenapa kamu selalu sedih?”

Terpaksa saya harus memperpanjang jeda di antara percakapan itu. Sungguh. Kalau memang semuanya adalah rencana Tuhan, jelas sudah bahwa Dia memang sesuatu yang gemar menyiksa. “Aku nggak suka pertanyaan itu, Dro.”

Dia tertawa. Gelombang suara itu seakan membiaskan bayangan sebagaimana matanya menyipit, hidung mengerut, dan kedua ujung bibir yang tertarik melebar. “Apa sebegitu beratnya membuka diri?”

“Maksudmu telanjang?” saya mencoba guyon, dan rasanya memang tidak tepat karena penjelasan dengan cara apa pun adalah kesulitan bagi saya. Hanya saja, Andro adalah kesulitan yang lebih tinggi. Lebih agung. Lebih mengintimidasi. Dan selalu berhasil membuat saya takluk.

Apakah saya telah sepenuhnya berubah? Atau dia yang sengaja mengubah saya?

Ketakutan-ketakutan itu akhirnya sampai juga. Mendarat tepat pada sebidang datar yang sudah lama berdebu. Kenyataannya, saya tidak sekuat itu. Saya hanyalah orang pandir yang pintar berbohong, yang kerap terbahak menertawakan kebahagiaan semu.

“Jadi, kenapa kamu selalu sedih?” tahu-tahu dia meralat, "Kenapa kamu suka bersedih?"

Saya sadar sudah menahan napas sejak beberapa detik lalu. “Memang kalau suka harus punya alasan?” balasan itu terlontar begitu saja tanpa diduga-duga.

“Hm, benar juga,” dan lucunya cowok itu malah menyetujui. “Kesedihan tanpa alasan—tapi kadang aku jadi marah sama diri sendiri gara-gara itu.”

Rasanya cukup tertekan untuk menyimak lebih lanjut. “Maaf. Aku memang selalu bikin orang-orang marah…”

“Nggak, nggak,” dia memotong, secepat mungkin mengelak dari jeratan salah paham. “Aku marah dengan diri sendiri. Bukan sama kamu, bukan karena kamu. You know, it’s a bit sad.

Saya tidak pernah meminta apa pun sebelumnya, tapi kali ini saya melempar permohonan yang amat sangat, “Kesedihan ini semacam ornamen biologis, Dro. Aku nggak tahu sampai kapan aku harus melepasnya, dan aku juga nggak tahu, kenapa aku harus memakainya. Jadi, ayolah, kita ngomongin yang asik-asik aja. Please?”

Andro diam. Saya juga diam. Biasanya saya akan meledak-ledak ketika harus menghadapi cowok super keras kepala dan sok pintar. Tapi kali ini, rasanya asing.

Satu kesimpulan sontak melompat dari benak saya.

Oh. Mungkin Andro adalah salah satu antek asing yang sengaja ditugaskan untuk menyusupkan perasaan-perasaan asing dalam diri saya.

Aku benci kamu dan segala sifat kapitalisme itu, Dro.

You Might Also Like

0 komentar