[CERPEN] PESAWAT RADIO

Andrew Nordin

Awan mendung yang semenjak tadi bergelantungan berangsur mengucurkan rintik-rintik tipis. Seolah berpacu dengan air langit yang kian membuatnya kuyup, gadis itu dengan lincahnya berbelok, lantas melompati becekan yang berserak di jalanan setapak. Tubuh mungilnya melesat seperti anak kancil, dan petir pun semakin terbahak riang. Melahirkan suara-suara gelegar yang membuat sekian makhluk di bumi menyelinap masuk.

Sati melirik kanan-kiri. Hujan seakan menyembunyikan segenap kehidupan di perkampungan yang biasanya selalu ramai. Heran, di petang itu semua terasa muram, lampu yang menyala tampak remang-remang seperti disaput kabut. Sekian pintu di antara rumah-rumah yang berderet kini juga hampir seluruhnya terkatup rapat.

“Usup!” Sati mulai menggedor pintu cokelat yang nyaris segenap permukaannya ditempeli beragam stiker. “Usup, ini gua, Sati. Cepet bukain. Dingin, nih!” panggilnya lagi dengan suara bergetar, setengah menggigil.

Dua menit, dan pintu terbuka dengan sendirinya. Sati melongo, namun langsung tersadar begitu seorang pria bertelanjang dada dengan rambut ala orang kesetrum muncul di hadapan, menatapnya dengan mata terpejam sebelah.

“Sup...”

Usup melek. Butuh beberapa detik kewarasannya utuh kembali. Kelabakan, ia pun berbalik, menyambar kaos oblong putih yang terkapar di atas meja, lalu mengenakannya secepat kilat.  “He-he, sori,” katanya kepada Sati sambil cengar-cengir, “abis cuacanya adem, enak dibuat tidur. Yuk, masuk!”

Sati yang sudah terbiasa dengan keserampangan pemuda itu merasa baik-baik saja. Justru ia menikmati segala bentuk keanehan Usup yang seperti mendarah-daging. Berantakan. Pemalas. Dan... tukang tidur.

 “Jadi,” Sati membuka suara begitu tubuhnya menduduki kursi plastik hijau yang menyudut di pojok ruang-tamu-sekaligus-kamar-tidur di dalam, “gimana kabar radio gua? Abang gua udah berisik banget nanyain itu mulu.”

Ada yang terasa menyedak di tenggorokan Usup ketika pertanyaan itu tiba-tiba dilontarkan. “Lu tahu kan radio itu udah sepatutnya dimasukin ke museum?”

“Terus?”

“Ya nggak pa-pa,” sahut Usup melengos, “paling seminggu lagi kelar, kok.”

“Semingga-seminggu,” Sati mengoceh, “dari jaman Demokrasi Terpimpin sampe sekarang yang lu janjiin seminggu melulu. Kalender lu model apaan, sih?”

“Alah sewot banget. Bilang aja lu sebenernya doyan nyamperin gua...”

Sati mendesis, tetapi enggan membalas. Rintik di luar menjelma menjadi hujan deras yang siap menenggelamkan Jakarta dengan banjir bandang. Apa boleh buat, tidak ada pilihan bagi Sati selain menunggu serbuan air-air itu reda di dalam indekos Usup yang serupa medan pertempuran di Bosnia beberapa bulan silam. “Ini pekerjaan sia-sia namanya,” lagi-lagi Sati hanya bisa menggerutu, “lagian, apanya sih yang rusak?”

Usup akhirnya meraih badan radio yang sudah setengah dibongkar dari samping kasur, memamerkannya pada Sati dengan gaya tukang servis kawakan. “Ini,” telunjuknya tertodong pada kabel hijau yang tembaganya sudah mencuat ke mana-mana, “butuh disolder. Tapi gua kehabisan timah, jadi kemungkinan besok baru bisa gua benerin.” Tangan Usup bergerak lagi, menyusuri bagian-bagian pesawat radio yang sama sekali tak Sati mengerti apa fungsinya. “Dan ini,” Usup memutar-mutar benda yang tampak seperti tuas, “patah. Jadi, onderdilnya harus diganti.”

Tak ada suara. Sati sadar bahwa radio itu memang sudah sepantasnya menghuni karung-karung pemulung yang sering ia temui di bilangan Pluit, sedang mengorek-ngorek segala macam benda tanpa juntrungan. “Oh. Parah, ya?” hanya itu yang mampu diucapkan Sati. Antara rikuh, tidak enak, juga mangkel.

Helaan napas berat keluar dari bibir Usup. “Seminggu lagi. Oke?”

Kali ini Sati tidak berargumen. Semua fakta praktis menunjukkan bahwa kubu lawanlah yang jadi pemenangnya. Ia tidak punya kuasa untuk menyalahkan kebenaran, dan gadis itu otomatis mengangguk, menyetujui kesepakatan yang sama, yang sudah tiga kali berturut-turut ia buat bersama Usup.

-oOo-

Minggu berikutnya tiba. Usup baru teringat ketika sepasang kupingnya samar-samar mendengar repetan bajaj yang semakin lama semakin mendekat ke arah huniannya. Pemuda itu sontak melompat berdiri, mengumpat-umpat tidak jelas, mengacak-acak rambut, namun kemudian bersikap seolah tak terjadi apa-apa begitu suara bising tak terdengar lagi.

“Usuuup!”

Teriakan khas yang empat pekan ini selalu ia nantikan setiap sorenya kembali menggema. Usup menelan ludah. Canggung, dan juga frustrasi. Pesawat radio yang bagiannya sudah amburadul masih memenuhi meja belajarnya, bercampur dengan segala macam kitab yang barang satu detik pun tak pernah ia sentuh. Pemuda itu melangkah sedikit gelagapan. Matanya mengintip melalui gorden jendela yang motifnya bolong-bolong, waswas. Ouch! Ternyata betul. Gadis berhidung bangir dengan tubuh setinggi telinganya tampak siap sedia mendobrak pintu kalau-kalau ia sungkan membukakannya.

Kenop diputar, kendati Usup merasakan keringat dingin perlahan merembes melalui pori-pori kulitnya. “Yo!” sapanya, berusaha tampak wajar.

“Gua ke sini mau nagih janji yang lu bikin sejak Nike Ardila belum lahir,” Sati berkata tanpa tedeng aling-aling. Mukanya kali ini kusam, kerut-kerut di keningnya pun kelihatan lebih banyak dari kemarin. Pasti ini ulah abangnya, batin Usup, asal.

“Lu ngapain lihat-lihat gua? Cepetan, mana radionya? Udah bener belum?”

“Santai,” pemuda itu akhirnya menyahut, “kita ngopi-ngopi sebentar. Makan gorengan dulu. Main gitar sambil selonjoran di teras...”

Kerutan di dahi Sati semakin terlihat jelas.

“Oke, begini,” melihat ekspresi Sati yang semakin tidak karuan, Usup cepat-cepat menerangkan, “sebenernya—ada yang mau gua kasih tahu masalah ini.”

“Rusak yang mananya lagi, sih?”

“Bukan itu...”

“Usup, seriusan deh. Gua ngerasa bego tahu, nggak, bolak-balik ke sini. Lama-lama gua bisa diciduk juga lantaran kepergok ada di kosan lu melulu.”

Tanpa banyak bicara, Usup menarik Sati masuk. Ditatapnya gadis itu beberapa saat, dan Sati refleks menahan napas tepat ketika sepasang mata itu memaku padanya dengan sorot yang jarang terlihat. “Sup—lu mau ngapain?”

“Ada rahasia yang harusnya dari awal gua kasih tahu,” Usup berkata, namun nada suaranya kini terdengar dalam.

“Hah?”

Sejenak Usup terpejam. “Lu nyadar nggak sih?”

“Hah?”

“Gini, ya. Gua anak hukum, bisa betulin radio—ah, lu ngerti nggak sih?”

“Sup, gua lagi nggak minat main tebak-tebakan. Cepet sekarang balikin radio gua yang udah diservis karena...”

“Gua suka sama lu, Ti.”

“...abang gua—eh, apa?” Sati tahu-tahu menyadari sesuatu dalam pendengarannya. “Lu bilang apa tadi?”

“Gua—suka sama lu,” pemuda itu mengulangi, “dasar rese. Lu nggak sadar-sadar. Pengacara yang bisa servis elektronik itu cuma mitos... dan lu percaya. Bener-bener nggak bisa diterima.”

Sati mengerjap. Perlahan gelombang di jantungnya kian dahsyat. “Jadi... jadi, lu sengaja nawarin buat benerin itu...”

“Ajang pedekate,” meski samar, ada semburat merah yang meruap di permukaan wajah Usup. “Argh sial. Kenapa lu nggak ngeh, sih?!”

Kikuk, Sati pun tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena tidak bisa menyadari, ia hanya tak ingin berharap terlalu banyak. “Sialan lu!” mendadak mulutnya menyembur, setengah monyong. “Kenapa lu nggak bilang itu dari dulu, hah?”

“Nggak peduli,” Usup melengos, panas di mukanya terasa makin menjadi-jadi. “Nih, gua balikin radionya. Sori, udah bohong.”

“Nggak usah ah. Lu aja yang anterin ke rumah bareng gua. Itung-itung buat pamer ke Abang kalo gua udah nggak jomblo lagi. He-he,” tanggap Sati kemudian terkekeh. [ ]

~ Amaliah Black, 1997

You Might Also Like

1 komentar