[CERPEN] KEMATIAN SAYA


Image result for death painting abstract
Pinterest
 Khalima Calab dapat menghirup aroma misik yang menguar dari lipatan ketiaknya sendiri. Sudah dua hari dia tidak mandi—apalagi keramas, dan itu bukan masalah besar baginya. Lalu, ketika berhasil bangkit dari ranjang tidur yang selalu berkerit tiap kali digerakkan, Calab menyaksikan butiran-butiran embun mulai menguap di kaca jendela kamarnya yang sesak oleh rak besar berisi toples-toples kukis.

Usia Calab lima puluh enam. Dia gemar memasak kukis sederhana dengan menggunakan oven bobrok pemberian mendiang ibunya yang pernah tinggal di kota besar, puluhan tahun lalu. Meski Calab menghabiskan nyaris separuh hidupnya di kota, tetapi dia tidak pernah menyukai tempat itu. Hitam, kata dia. Serupa pantat belanga.

Calab masih ingat apa saja yang terjadi ketika dia masih muda. Dia ingat betapa udara yang sarat polutan seperti meracuni makhluk-makhluk dalam kepalanya. Sebentar-sebentar, Calab mendapati binatang-binatang buas berlalu lalang dengan wajah lelah. Binatang-binatang itu kadang melaju dengan kendaraan, atau berdiri di dalam bilik-bilik mesin ATM, atau sekadar berjalan kaki dengan sepasang mata awas yang selalu mengguratkan kemarahan.

Kota itu mengerikan, seingat Calab. Keluarganya pun dulu tak kalah mengerikan. Itu sebabnya, dia melarikan diri dengan kaki terpincang-pincang sembari mencangking barang miliknya, berjuang keras menghindari debu-debu perkotaan, kemudian berakhir pada hutan rimbun yang hanya mengandung kesunyian.

Calab sudah mengira, dirinya akan tumbuh menua. Persis pepohonan yang bercabang-cabang, dan akhirnya membusuk dililit benalu dengan daun-daun menguning. Tubuh Calab akan membungkuk, kulitnya mengerut, gerakannya melambat. Setelah bertahun-tahun menanti hal itu terjadi, maka hari inilah saatnya.

Bersama gigi-gigi tiruan yang menyangga rahangnya agar tidak kempot, Calab mulai mengunyah kukis. Di beranda pondok kecilnya, Calab merasakan udara hangat menyerbu wajah. Rambut yang separuhnya sudah ditumbuhi uban itu bergerak sesuai embusan angin, Gemericik aliran sungai dan ocehan para burung saling bersahut-sahutan, meramaikan pagi yang tak biasa. Pagi di mana Calab sudah menghabiskan tiga puluh lima tahunnya di sebuah hutan tak bernama; di sebuah rumah kayu sempit tak beraliran listrik; yang hanya diiringi penerangan ala kadarnya berupa lampu obor yang ditempel di dinding-dinding reyot; Calab tak pernah takut kebakaran; Calab tak pernah takut pada kematian.

Karena dia sudah merasakannya; sebab, tak peduli sekeras apa dia menghindar, kematian itu akan selalu membayangi. Kematian itulah yang harus Calab rayakan pagi ini. Kematian yang telah lama dia alami. Kematian yang terbentuk dari jaring-jaring kesedihan, kematian yang terjadi berkali-kali, kematian yang selalu muncul sebelum ayam jantan berkokok.

-oOo-

Saya bernama Khalima Calab. Berumur dua puluh satu tahun tepat pada minggu depan. Dari lahir, saya sudah terbiasa dengan susunan keluarga berantakan; ayah saya menikah lagi dengan perempuan yang kini menjadi ibu kandung saya, di usia empat puluh delapan. Ayah memboyong keempat anaknya yang sudah duluan lahir dari rahim milik istri pertamanya—yang diketahui telah lima tahun menghilang, melarikan diri, kabur lantaran gangguan jiwa yang pada masa itu belum tahu pasti namanya apa. Barangkali skizofrenia, gangguan psikotik, atau apa pun. Orang-orang menyebut kalau wanita itu memang gila.

Dan, yah, ibu saya juga pernah menikahi lelaki lain sebelum ayah, dan memiliki seorang putra yang sekarang hidupnya luntang-lantung menghuni jalanan. Dan ketika kami bertemu untuk kali pertama, putra itu sudah duduk di kelas lima SD, lalu, seperti yang Ibu bilang, itu adalah abang tiri saya. Entah bagaimana, saya tak pernah mempertanyakan perihal apa dan mengapa saudara-saudara yang saya punya tidak seperti saudara-saudara yang dimiliki teman-teman saya di sekolah; wajah saya jauh berbeda dari saudara-saudara yang lain. Dan kami juga tak begitu dekat.

Bahkan di rumah, kami tidak memajang foto keluarga. Bukan tidak mau, tapi tidak punya. Kami tidak pernah berkumpul untuk sekadar makan malam sambil bercakap-cakap. Kami tidak pernah membuka dialog-dialog romantis tipikal keluarga harmonis yang saling menyayangi. Kami hidup dalam dunia masing-masing. Saya paham, keadaan itu persis sumbu bom yang perlahan membakar; detik demi detik berlalu, dan jauh di luar perhatian, ledakan tak terduga menghanguskan segala hal yang telah lama dibangun.

Saya terduduk saat menatapi ledakan itu; apa yang saya kira dulu adalah anugerah, kini sudah berserpih, menampakkan wujud aslinya laksana bangkai yang terlempar keluar dari kotak warna-warni. Perut saya serasa dipilin saat lontaran kata-kata kasar dari Ayah menusuk telinga, mengganggu tidur tetangga, dan membangunkan kucing-kucing yang sebelumnya terlelap melingkar di bawah kursi.

“Kalau sejak awal bakal jadi begini, aku tidak sudi punya bini lagi,” itulah kalimat yang berhasil menggembok mulut Ibu saya.

Ayah, serupa kerbau bongkok yang menghabiskan masa tuanya dengan mengandalkan uang pensiun, pagi ini mulai memaki dan membentak-bentak Ibu yang pada dasarnya memang gemar mengomel. Pakar kejiwaan bilang, manusia lanjut usia rentan menderita depresi; dan itulah yang menimpa ayah saya. Kini, gerakannya melamban, gigi-giginya menghitam dan mulai rontok seperti kayu lapuk, matanya semakin lamur dan, ketika membuka mulut untuk mengeluarkan makian, merebaklah aroma basi di tiap-tiap helaan napasnya.

Kendati jasmaninya sudah ringkih tertatih, Ayah tetap tak mampu mencungkil angkara murka yang kadung berkembangbiak dalam dadanya. Ada ribuan dendam, amarah dan kebencian yang berselaput di kedua mata yang mulai katarak itu. Dia tidak bisa (atau tidak mau?) melupakan dosa-dosa orang di masa lalu; Ayah memang sudah pikun, tapi celakanya, ingatan tentang orang-orang jahat dan manusia yang sempat menyakitinya seolah tak lekang oleh masa, seolah telah permanen terpatri di tempurung kepalanya yang botak.

Termasuk Ibu, yang turut menjadi salah satu pendosa di mata Ayah.

Begini. Sesingkat kisah yang pernah saya dengar, sejak awal, anak-anak dari istri pertama Ayah, mati-matian menentang kehadiran Ibu. Tak ada restu dari pihak mana pun; adik-beradik Ibu tidak ingin punya ipar duda miskin, begitu pula anak-anak Ayah yang tidak rela kasih sayang bapaknya terbagi karena kemunculan seorang ibu tiri.

Perseteruan itu menghebohkan orang sekampung. Dan, entah bagaimana, Ayah dan Ibu justru merasa tertantang untuk saling bersatu. Tanpa menggubris komentar yang saban hari dilancarkan layaknya rutinitas, Ayah dan Ibu resmi terikat dalam tali pernikahan. Tidak ada pesta di gedung, tidak ada gaun mewah, tidak ada makanan dari katering mahal. Semua dilakukan dengan penekanan biaya yang untuk zaman ini dianggap sungguh tidak manusiawi.

Satu tahun berselang, Ibu melahirkan seorang anak perempuan, namanya Khalima Calab. Anak itu dibesarkan dengan cara didikte; diawasi; dilindungi. Anak itu adalah saya.

Kelahiran saya serupa percikan api yang menyulut sumbu. Saya tidak menyadarinya, karena yang saya pikirkan kala itu cuma bermain, bertemu teman-teman, meraih peringkat di kelas, dan masuk perguruan tinggi negeri. Saya kira, orang-orang akan bahagia dengan sendirinya. Saya kira, Ibu dan Ayah bakal selalu tersenyum memandang satu sama lain. Saya kira Ibu dan Ayah benar-benar hidup dalam kebahagiaan seperti yang mereka tunjukkan di hadapan dunia luar. Kenyataannya, semua tak lebih dari skenario gigantis yang kini telah kehabisan ide. 

 Saya, Khalima Calab, benar-benar tak paham bila kehidupan yang mereka tanamkan selama ini hanya berisi penyangkalan-penyangkalan.

Kontan saya melihat wajah Ibu di dapur. Di antara udara yang mengandung debu-debu, Ibu pun berhenti menyapu, tampak terpaku di tempat. Sepasang matanya berkedip seperti mengilaskan masa lalu. Dia ingat bagaimana sumpahnya di hadapan Tuhan untuk terus bersama Ayah sampai mati. Ibu ingat bagaimana hatinya ingin sekali merobohkan bentangan tembok pembatas yang sengaja dibangun oleh anak-anak tirinya. Tapi semua itu tidak terjadi karena mereka sama egoisnya.

Saya ingin tertawa jika menceritakan soal ini, tetapi itulah yang nyata. Ibu saya memang bukan sosok malaikat sempurna. Banyak sekali kecacatan yang dia peroleh. Tetapi dia tahu; seorang istri harus mendedikasikan sisa hidupnya bersama satu-satunya orang. Tetapi Ayah terlalu dungu menyadari semua itu 

Sontak ingatan itu membaur dengan luka robek tak kasatmata di jantung, saya tahu. Ingatan tersebut kemudian mengembalikan Ibu pada alam nyata di mana Ayah ternyata tidak benar-benar mencintainya. Di mana bagi Ayah, kehadiran Ibu hanya dipandang sebagai virus-virus yang menginfeksi kehidupan anak-anaknya.

Pintu kamar lalu dibanting. Dan saya, Khalima Calab, hanya mampu menyaksikan bagaimana cinta di antara kedua orang sepuh itu remuk berkeping-keping, berserak di bawah pintu; sebagian dimakan semut, sebagiannya yang lain lenyap disusut angin.

Kesedihan yang saya punya perlahan beranak-pinak. Pada akhirnya, kedua orang tua saya menjelma manusia-manusia yang selama ini tak pernah ingin saya lihat. Mereka telah berubah menjadi binatang; saling mencabik-cabik, saling mengisap darah, dan sengaja menghentikan perputaran dunia yang telah bertahun-tahun saya huni.

Dengan jiwa yang sudah tersedot sampai kosong, saya turut melesak ke dalam kamar. Mengungkung di atas kasur, dan sesuatu dalam diri saya menjadi dingin—menjadi beku. Saya merengkuh kuat-kuat sesuatu itu, berharap semua akan kembali menghangat dan menggeliat. Semenit, dua menit, detak itu sudah tak terasa. Lubang hitam yang mula-mula hanya setitik, serta-merta melebar persis telaga yang berhasil menenggelamkan saya hingga ke dasarnya.

Sungguh, kematian itu amat mengejutkan. Mungkin Tuhan juga tidak menyangka saya bakal mati secepat itu sampai-sampai Dia tak sempat datang untuk melihat. Tak perlu meneguk racun atau mengiris nadi; kematian itu datang lewat memar-memar dalam memori. Kematian itu hadir dengan bentuk-bentuk mengerikan dalam kepala.

Dan saya, Khalima Calab, menghadapi kematian-kematian itu seorang diri. [ ]

You Might Also Like

0 komentar