Usia Calab lima puluh
enam. Dia gemar memasak kukis sederhana dengan menggunakan oven bobrok
pemberian mendiang ibunya yang pernah tinggal di kota besar, puluhan tahun
lalu. Meski Calab menghabiskan nyaris separuh hidupnya di kota, tetapi dia
tidak pernah menyukai tempat itu. Hitam, kata dia. Serupa pantat belanga.
Calab masih ingat apa
saja yang terjadi ketika dia masih muda. Dia ingat betapa udara yang sarat
polutan seperti meracuni makhluk-makhluk dalam kepalanya. Sebentar-sebentar, Calab
mendapati binatang-binatang buas berlalu lalang dengan wajah lelah.
Binatang-binatang itu kadang melaju dengan kendaraan, atau berdiri di dalam
bilik-bilik mesin ATM, atau sekadar berjalan kaki dengan sepasang mata awas
yang selalu mengguratkan kemarahan.
Kota itu mengerikan,
seingat Calab. Keluarganya pun dulu tak kalah mengerikan. Itu sebabnya, dia
melarikan diri dengan kaki terpincang-pincang sembari mencangking barang
miliknya, berjuang keras menghindari debu-debu perkotaan, kemudian berakhir
pada hutan rimbun yang hanya mengandung kesunyian.
Calab sudah mengira,
dirinya akan tumbuh menua. Persis pepohonan yang bercabang-cabang, dan akhirnya
membusuk dililit benalu dengan daun-daun menguning. Tubuh Calab akan membungkuk,
kulitnya mengerut, gerakannya melambat. Setelah bertahun-tahun menanti hal itu
terjadi, maka hari inilah saatnya.
Bersama gigi-gigi
tiruan yang menyangga rahangnya agar tidak kempot, Calab mulai mengunyah kukis.
Di beranda pondok kecilnya, Calab merasakan udara hangat menyerbu wajah. Rambut
yang separuhnya sudah ditumbuhi uban itu bergerak sesuai embusan angin,
Gemericik aliran sungai dan ocehan para burung saling bersahut-sahutan, meramaikan
pagi yang tak biasa. Pagi di mana Calab sudah menghabiskan tiga puluh lima
tahunnya di sebuah hutan tak bernama; di sebuah rumah kayu sempit tak beraliran
listrik; yang hanya diiringi penerangan ala kadarnya berupa lampu obor yang
ditempel di dinding-dinding reyot; Calab tak pernah takut kebakaran; Calab tak
pernah takut pada kematian.
Karena dia sudah
merasakannya; sebab, tak peduli sekeras apa dia menghindar, kematian itu akan
selalu membayangi. Kematian itulah yang harus Calab rayakan pagi ini. Kematian
yang telah lama dia alami. Kematian yang terbentuk dari jaring-jaring
kesedihan, kematian yang terjadi berkali-kali, kematian yang selalu muncul sebelum
ayam jantan berkokok.
-oOo-
Saya bernama Khalima
Calab. Berumur dua puluh satu tahun tepat pada minggu depan. Dari lahir, saya sudah
terbiasa dengan susunan keluarga berantakan; ayah saya menikah lagi dengan perempuan
yang kini menjadi ibu kandung saya, di usia empat puluh delapan. Ayah memboyong keempat
anaknya yang sudah duluan lahir dari rahim milik istri pertamanya—yang
diketahui telah lima tahun menghilang, melarikan diri, kabur lantaran gangguan
jiwa yang pada masa itu belum tahu pasti namanya apa. Barangkali skizofrenia,
gangguan psikotik, atau apa pun. Orang-orang menyebut kalau wanita itu memang
gila.
Dan, yah, ibu saya juga
pernah menikahi lelaki lain sebelum ayah, dan memiliki seorang putra yang
sekarang hidupnya luntang-lantung menghuni jalanan. Dan ketika kami bertemu
untuk kali pertama, putra itu sudah duduk di kelas lima SD, lalu, seperti yang Ibu bilang, itu adalah abang tiri saya. Entah bagaimana, saya tak pernah
mempertanyakan perihal apa dan mengapa saudara-saudara yang saya punya tidak
seperti saudara-saudara yang dimiliki teman-teman saya di sekolah; wajah saya
jauh berbeda dari saudara-saudara yang lain. Dan kami juga tak begitu dekat.
Bahkan di rumah, kami
tidak memajang foto keluarga. Bukan tidak mau, tapi tidak punya. Kami tidak
pernah berkumpul untuk sekadar makan malam sambil bercakap-cakap. Kami tidak
pernah membuka dialog-dialog romantis tipikal keluarga harmonis yang saling
menyayangi. Kami hidup dalam dunia masing-masing. Saya paham, keadaan itu
persis sumbu bom yang perlahan membakar; detik demi detik berlalu, dan jauh di
luar perhatian, ledakan tak terduga menghanguskan segala hal yang telah lama
dibangun.
Saya terduduk saat
menatapi ledakan itu; apa yang saya kira dulu adalah anugerah, kini sudah
berserpih, menampakkan wujud aslinya laksana bangkai yang terlempar keluar dari
kotak warna-warni. Perut saya serasa dipilin saat lontaran kata-kata kasar dari
Ayah menusuk telinga, mengganggu tidur tetangga, dan membangunkan kucing-kucing
yang sebelumnya terlelap melingkar di bawah kursi.
“Kalau sejak awal bakal
jadi begini, aku tidak sudi punya bini lagi,” itulah kalimat yang berhasil
menggembok mulut Ibu saya.
Ayah, serupa kerbau
bongkok yang menghabiskan masa tuanya dengan mengandalkan uang pensiun, pagi
ini mulai memaki dan membentak-bentak Ibu yang pada dasarnya memang gemar
mengomel. Pakar kejiwaan bilang, manusia lanjut usia rentan menderita depresi;
dan itulah yang menimpa ayah saya. Kini, gerakannya melamban, gigi-giginya
menghitam dan mulai rontok seperti kayu lapuk, matanya semakin lamur dan,
ketika membuka mulut untuk mengeluarkan makian, merebaklah aroma basi di
tiap-tiap helaan napasnya.
Kendati jasmaninya
sudah ringkih tertatih, Ayah tetap tak mampu mencungkil angkara murka yang kadung
berkembangbiak dalam dadanya. Ada ribuan dendam, amarah dan kebencian yang
berselaput di kedua mata yang mulai katarak itu. Dia tidak bisa (atau tidak
mau?) melupakan dosa-dosa orang di masa lalu; Ayah memang sudah pikun, tapi
celakanya, ingatan tentang orang-orang jahat dan manusia yang sempat
menyakitinya seolah tak lekang oleh masa, seolah telah permanen terpatri di
tempurung kepalanya yang botak.
Termasuk Ibu, yang
turut menjadi salah satu pendosa di mata Ayah.
Begini. Sesingkat kisah
yang pernah saya dengar, sejak awal, anak-anak dari istri pertama Ayah,
mati-matian menentang kehadiran Ibu. Tak ada restu dari pihak mana pun;
adik-beradik Ibu tidak ingin punya ipar duda miskin, begitu pula anak-anak Ayah
yang tidak rela kasih sayang bapaknya terbagi karena kemunculan seorang ibu
tiri.
Perseteruan itu
menghebohkan orang sekampung. Dan, entah bagaimana, Ayah dan Ibu justru merasa
tertantang untuk saling bersatu. Tanpa menggubris komentar yang saban hari
dilancarkan layaknya rutinitas, Ayah dan Ibu resmi terikat dalam tali
pernikahan. Tidak ada pesta di gedung, tidak ada gaun mewah, tidak ada makanan
dari katering mahal. Semua dilakukan dengan penekanan biaya yang untuk zaman
ini dianggap sungguh tidak manusiawi.
Satu tahun berselang,
Ibu melahirkan seorang anak perempuan, namanya Khalima Calab. Anak itu
dibesarkan dengan cara didikte; diawasi; dilindungi. Anak itu adalah saya.
Kelahiran saya serupa
percikan api yang menyulut sumbu. Saya tidak menyadarinya, karena yang saya
pikirkan kala itu cuma bermain, bertemu teman-teman, meraih peringkat di kelas,
dan masuk perguruan tinggi negeri. Saya kira, orang-orang akan bahagia dengan
sendirinya. Saya kira, Ibu dan Ayah bakal selalu tersenyum memandang satu sama
lain. Saya kira Ibu dan Ayah benar-benar hidup dalam kebahagiaan seperti yang
mereka tunjukkan di hadapan dunia luar. Kenyataannya, semua tak lebih dari
skenario gigantis yang kini telah kehabisan ide.
Saya, Khalima Calab, benar-benar tak paham
bila kehidupan yang mereka tanamkan selama ini hanya berisi
penyangkalan-penyangkalan.
Kontan saya melihat
wajah Ibu di dapur. Di antara udara yang mengandung debu-debu, Ibu pun berhenti
menyapu, tampak terpaku di tempat. Sepasang matanya berkedip seperti mengilaskan
masa lalu. Dia ingat bagaimana sumpahnya di hadapan Tuhan untuk terus bersama
Ayah sampai mati. Ibu ingat bagaimana hatinya ingin sekali merobohkan bentangan
tembok pembatas yang sengaja dibangun oleh anak-anak tirinya. Tapi semua itu
tidak terjadi karena mereka sama egoisnya.
Saya ingin
tertawa jika menceritakan soal ini, tetapi itulah yang nyata. Ibu saya memang bukan
sosok malaikat sempurna. Banyak sekali kecacatan yang dia peroleh. Tetapi dia tahu; seorang istri harus mendedikasikan sisa hidupnya bersama satu-satunya orang. Tetapi Ayah terlalu dungu menyadari semua itu
Sontak ingatan itu
membaur dengan luka robek tak kasatmata di jantung, saya tahu. Ingatan tersebut
kemudian mengembalikan Ibu pada alam nyata di mana Ayah ternyata tidak
benar-benar mencintainya. Di mana bagi Ayah, kehadiran Ibu hanya dipandang
sebagai virus-virus yang menginfeksi kehidupan anak-anaknya.
Pintu kamar lalu
dibanting. Dan saya, Khalima Calab, hanya mampu menyaksikan bagaimana cinta di
antara kedua orang sepuh itu remuk berkeping-keping, berserak di bawah pintu;
sebagian dimakan semut, sebagiannya yang lain lenyap disusut angin.
Kesedihan yang saya
punya perlahan beranak-pinak. Pada akhirnya, kedua orang tua saya menjelma
manusia-manusia yang selama ini tak pernah ingin saya lihat. Mereka telah
berubah menjadi binatang; saling mencabik-cabik, saling mengisap darah, dan
sengaja menghentikan perputaran dunia yang telah bertahun-tahun saya huni.
Dengan jiwa yang sudah
tersedot sampai kosong, saya turut melesak ke dalam kamar. Mengungkung di atas
kasur, dan sesuatu dalam diri saya menjadi dingin—menjadi beku. Saya merengkuh
kuat-kuat sesuatu itu, berharap semua akan kembali menghangat dan menggeliat.
Semenit, dua menit, detak itu sudah tak terasa. Lubang hitam yang mula-mula
hanya setitik, serta-merta melebar persis telaga yang berhasil menenggelamkan
saya hingga ke dasarnya.
Sungguh, kematian itu
amat mengejutkan. Mungkin Tuhan juga tidak menyangka saya bakal mati secepat
itu sampai-sampai Dia tak sempat datang untuk melihat. Tak perlu meneguk racun
atau mengiris nadi; kematian itu datang lewat memar-memar dalam memori.
Kematian itu hadir dengan bentuk-bentuk mengerikan dalam kepala.
Dan saya, Khalima
Calab, menghadapi kematian-kematian itu seorang diri. [ ]
0 komentar