Awan
mendung yang semenjak tadi bergelantungan berangsur mengucurkan rintik-rintik
tipis. Seolah berpacu dengan air langit yang kian membuatnya kuyup, gadis itu
dengan lincahnya berbelok, lantas melompati becekan yang berserak di jalanan
setapak. Tubuh mungilnya melesat seperti anak kancil, dan petir pun semakin
terbahak riang. Melahirkan suara-suara gelegar yang membuat sekian makhluk di
bumi menyelinap masuk.
Sati
melirik kanan-kiri. Hujan seakan menyembunyikan segenap kehidupan di
perkampungan yang biasanya selalu ramai. Heran, di petang itu semua terasa
muram, lampu yang menyala tampak remang-remang seperti disaput kabut. Sekian
pintu di antara rumah-rumah yang berderet kini juga hampir seluruhnya terkatup
rapat.
“Usup!”
Sati mulai menggedor pintu cokelat yang nyaris segenap permukaannya ditempeli
beragam stiker. “Usup, ini gua, Sati. Cepet bukain. Dingin, nih!” panggilnya
lagi dengan suara bergetar, setengah menggigil.
Dua
menit, dan pintu terbuka dengan sendirinya. Sati melongo, namun langsung
tersadar begitu seorang pria bertelanjang dada dengan rambut ala orang kesetrum
muncul di hadapan, menatapnya dengan mata terpejam sebelah.
“Sup...”
Usup
melek. Butuh beberapa detik kewarasannya utuh kembali. Kelabakan, ia pun berbalik,
menyambar kaos oblong putih yang terkapar di atas meja, lalu mengenakannya
secepat kilat. “He-he, sori,” katanya
kepada Sati sambil cengar-cengir, “abis cuacanya adem, enak dibuat tidur. Yuk,
masuk!”
Sati
yang sudah terbiasa dengan keserampangan pemuda itu merasa baik-baik saja.
Justru ia menikmati segala bentuk keanehan Usup yang seperti mendarah-daging.
Berantakan. Pemalas. Dan... tukang tidur.
“Jadi,” Sati membuka suara begitu tubuhnya
menduduki kursi plastik hijau yang menyudut di pojok ruang-tamu-sekaligus-kamar-tidur
di dalam, “gimana kabar radio gua? Abang gua udah berisik banget nanyain itu
mulu.”
Ada
yang terasa menyedak di tenggorokan Usup ketika pertanyaan itu tiba-tiba
dilontarkan. “Lu tahu kan radio itu udah sepatutnya dimasukin ke museum?”
“Terus?”
“Ya
nggak pa-pa,” sahut Usup melengos, “paling seminggu lagi kelar, kok.”
“Semingga-seminggu,” Sati mengoceh, “dari jaman Demokrasi Terpimpin sampe sekarang yang lu janjiin
seminggu melulu. Kalender lu model apaan, sih?”
“Alah
sewot banget. Bilang aja lu sebenernya doyan nyamperin gua...”
Sati
mendesis, tetapi enggan membalas. Rintik di luar menjelma menjadi hujan deras
yang siap menenggelamkan Jakarta dengan banjir bandang. Apa boleh buat, tidak
ada pilihan bagi Sati selain menunggu serbuan air-air itu reda di dalam indekos
Usup yang serupa medan pertempuran di Bosnia beberapa bulan silam. “Ini
pekerjaan sia-sia namanya,” lagi-lagi Sati hanya bisa menggerutu, “lagian,
apanya sih yang rusak?”
Usup
akhirnya meraih badan radio yang sudah setengah dibongkar dari samping kasur,
memamerkannya pada Sati dengan gaya tukang servis kawakan. “Ini,” telunjuknya
tertodong pada kabel hijau yang tembaganya sudah mencuat ke mana-mana, “butuh
disolder. Tapi gua kehabisan timah, jadi kemungkinan besok baru bisa gua
benerin.” Tangan Usup bergerak lagi, menyusuri bagian-bagian pesawat radio yang
sama sekali tak Sati mengerti apa fungsinya. “Dan ini,” Usup memutar-mutar
benda yang tampak seperti tuas, “patah. Jadi, onderdilnya harus diganti.”
Tak
ada suara. Sati sadar bahwa radio itu memang sudah sepantasnya menghuni
karung-karung pemulung yang sering ia temui di bilangan Pluit, sedang
mengorek-ngorek segala macam benda tanpa juntrungan. “Oh. Parah, ya?” hanya itu
yang mampu diucapkan Sati. Antara rikuh, tidak enak, juga mangkel.
Helaan
napas berat keluar dari bibir Usup. “Seminggu lagi. Oke?”
Kali
ini Sati tidak berargumen. Semua fakta praktis menunjukkan bahwa kubu lawanlah
yang jadi pemenangnya. Ia tidak punya kuasa untuk menyalahkan kebenaran, dan
gadis itu otomatis mengangguk, menyetujui kesepakatan yang sama, yang sudah
tiga kali berturut-turut ia buat bersama Usup.
-oOo-
Minggu
berikutnya tiba. Usup baru teringat ketika sepasang kupingnya samar-samar
mendengar repetan bajaj yang semakin lama semakin mendekat ke arah huniannya.
Pemuda itu sontak melompat berdiri, mengumpat-umpat tidak jelas, mengacak-acak
rambut, namun kemudian bersikap seolah tak terjadi apa-apa begitu suara bising tak
terdengar lagi.
“Usuuup!”
Teriakan
khas yang empat pekan ini selalu ia nantikan setiap sorenya kembali menggema.
Usup menelan ludah. Canggung, dan juga frustrasi. Pesawat radio yang bagiannya
sudah amburadul masih memenuhi meja belajarnya, bercampur dengan segala macam
kitab yang barang satu detik pun tak pernah ia sentuh. Pemuda itu melangkah
sedikit gelagapan. Matanya mengintip melalui gorden jendela yang motifnya
bolong-bolong, waswas. Ouch! Ternyata betul. Gadis berhidung bangir dengan
tubuh setinggi telinganya tampak siap sedia mendobrak pintu kalau-kalau ia
sungkan membukakannya.
Kenop
diputar, kendati Usup merasakan keringat dingin perlahan merembes melalui
pori-pori kulitnya. “Yo!” sapanya, berusaha tampak wajar.
“Gua
ke sini mau nagih janji yang lu bikin sejak Nike Ardila belum lahir,” Sati
berkata tanpa tedeng aling-aling. Mukanya kali ini kusam, kerut-kerut di
keningnya pun kelihatan lebih banyak dari kemarin. Pasti ini ulah abangnya,
batin Usup, asal.
“Lu
ngapain lihat-lihat gua? Cepetan, mana radionya? Udah bener belum?”
“Santai,”
pemuda itu akhirnya menyahut, “kita ngopi-ngopi sebentar. Makan gorengan dulu.
Main gitar sambil selonjoran di teras...”
Kerutan
di dahi Sati semakin terlihat jelas.
“Oke,
begini,” melihat ekspresi Sati yang semakin tidak karuan, Usup cepat-cepat
menerangkan, “sebenernya—ada yang mau gua kasih tahu masalah ini.”
“Rusak
yang mananya lagi, sih?”
“Bukan
itu...”
“Usup,
seriusan deh. Gua ngerasa bego tahu, nggak, bolak-balik ke sini. Lama-lama gua
bisa diciduk juga lantaran kepergok ada di kosan lu melulu.”
Tanpa
banyak bicara, Usup menarik Sati masuk. Ditatapnya gadis itu beberapa saat, dan
Sati refleks menahan napas tepat ketika sepasang mata itu memaku padanya dengan
sorot yang jarang terlihat. “Sup—lu mau ngapain?”
“Ada
rahasia yang harusnya dari awal gua kasih tahu,” Usup berkata, namun nada suaranya
kini terdengar dalam.
“Hah?”
Sejenak
Usup terpejam. “Lu nyadar nggak sih?”
“Hah?”
“Gini,
ya. Gua anak hukum, bisa betulin radio—ah, lu ngerti nggak sih?”
“Sup,
gua lagi nggak minat main tebak-tebakan. Cepet sekarang balikin radio gua yang
udah diservis karena...”
“Gua
suka sama lu, Ti.”
“...abang
gua—eh, apa?” Sati tahu-tahu menyadari sesuatu dalam pendengarannya. “Lu bilang
apa tadi?”
“Gua—suka
sama lu,” pemuda itu mengulangi, “dasar rese. Lu nggak sadar-sadar. Pengacara
yang bisa servis elektronik itu cuma mitos... dan lu percaya. Bener-bener nggak
bisa diterima.”
Sati
mengerjap. Perlahan gelombang di jantungnya kian dahsyat. “Jadi... jadi, lu
sengaja nawarin buat benerin itu...”
“Ajang
pedekate,” meski samar, ada semburat merah yang meruap di permukaan wajah Usup.
“Argh sial. Kenapa lu nggak ngeh, sih?!”
Kikuk,
Sati pun tak tahu harus menjawab apa. Bukan karena tidak bisa menyadari, ia
hanya tak ingin berharap terlalu banyak. “Sialan lu!” mendadak mulutnya
menyembur, setengah monyong. “Kenapa lu nggak bilang itu dari dulu, hah?”
“Nggak
peduli,” Usup melengos, panas di mukanya terasa makin menjadi-jadi. “Nih, gua
balikin radionya. Sori, udah bohong.”
“Nggak
usah ah. Lu aja yang anterin ke rumah bareng gua. Itung-itung buat pamer ke
Abang kalo gua udah nggak jomblo lagi. He-he,” tanggap Sati kemudian terkekeh.
[ ]
~ Amaliah Black, 1997
~ Amaliah Black, 1997