Amor Platonicus

Image result for jogja painting abstract
Sailingstone

Hampir sepuluh hari sudah saya ~merantau~ di kota orang, membiasakan diri dengan lingkungan baru meski sementara. Di luar ekspektasi, saya sedikit kecewa dengan keadaan semrawut yang ternyata nggak cuma berlaku di tempat kelahiran saya; kendaraan bermotor di mana-mana, baik roda dua maupun roda empat. Bahkan mereka rela sempil-sempilan di gang kecil cuma buat menembus jalan pintas.

Sungguh. Bumi ini sudah kebanyakan manusia.

Terakhir kali saya ke Kota Jogja adalah tiga tahun yang lalu. Pertengahan tahun 2015. Itu merupakan kunjungan kedua saya, dan saya masih bisa merasakan Jogja yang ~ramah~ dan santun. Sampai-sampai, setelah pulang ke Palembang, saya sempat ngambek sama Tuhan; kenapa saya nggak dilahirkan di Jogja?

Dulu, ya. DULU saya menganggap Jogja adalah kota impian. Kota panutan. Kota yang harus dicontoh seluruh umat. Karena KETIKA ITU saya sungguh merasa damai sewaktu berada di kota ini, merasa terlahir kembali dan siap memulai hidup baru. Semacam; oh damn, here is where i belong. 

Pemikiran itu berlangsung selama tiga tahun berturut-turut. Jogja adalah kekasih. Jogja adalah Cole Sprouse kedua. Cihui~

Lalu, awal Februari 2018, ayah saya mendadak kaya raya. Lalu beliau berinisiatif buat lari dari ~kenyataan~ dengan ngaso di Jogja. Sepuluh hari. Biar terasa banget bagaimana hidup di sana, kata beliau.

Jadi akhirnya saya direkrut jadi tour guide keluarga selama di Jogja. Jadi tukang reservasi. Tukang pesan tiket. Kerja rodi. Tapi nggak pa-pa, yang penting masih dinafkahin.

Aktivitas itu berlanjut selama seminggu.

Dan tersisalah tiga hari buat betul-betul ~bebas~ dari ikatan keluarga yang ekstra protektif. Saya memutuskan buat keluyuran, dan demi dewa langit, saya bahagia banget ketika yang jemput saya adalah idola saya sendiri!

Ya Tuhan. Berasa mimpi. Saya sempat nggak percaya, karena ya siapa sih yang nggak speechless ketika kamu di kota orang, terus disambut langsung sama junjunganmu? Bertahun-tahun kagum sama tulisannya, dan untungnya dia orangnya sante macem di pante~ dan kadang ngekek-ngekek nggak jelas selama perjalanan mengelilingi Kota Jogja. Sampai dia sendiri merasa super awkward ketika saya bilang, "Akutu nge-fans berat loh, Mba, sama kamu. Beneran. Udah dari 2014, aku udah jatuh cinta sama tulisanmu."

Mungkin poin ini jadi hal yang bikin saya nggak nyesel liburan di Jogja yang TERNYATA sudah sangat URBAN. Saya sempat kaget ketika menemukan sejumlah gedung-gedung tinggi yang mulai berserakan di beberapa ruas jalan. Kafe-kafe keren yang sosialite banget. Saya pun membatin, "Jadi apa bedanya sama Palembang?"

Jujur, saya sedih ketika melihat Jogja yang mulai kehilangan warnanya sendiri. Satu-satunya yang masih terasa khas, ya, area Malioboro. Selebihnya, saya nggak melihat kalau itu Jogja. Saya justru tetap merasakan atmosfer metropolis yang sering bikin saya depresi.

Disappointed but not surprised. Karena saya nggak bisa memungkiri betapa banyaknya investor properti yang mau tanam saham di tanah yang berprospek dan jadi sarangnya para turis begini. 

Celakanya, saya melihat realitas yang justru bikin miris; orang-orang kecil yang kayanya susah banget cari duit. Pedagang asongan, tukang becak, loper koran. Keadaan mereka seakan mewakili fakta kalau Jogja sudah nggak berpihak sama rakyat kecil lagi. Mereka nggak cuma berjualan, tapi juga ~mengemis~. Meski nggak nyaman pas ketemu orang-orang jualan yang ~maksa~, saya juga kasihan dan kerap bertanya-tanya; gimana kondisi anak-bini mereka di rumah?

Bagaimanapun, saya masih berusaha menikmati liburan ini semaksimal mungkin.

Dan untung saja, ada orang-orang yang, seenggaknya, bisa mereduksi rasa sepi saya di kota yang mulai ramai ini. Meski kadarnya cuma 30%. Bhahahaq~

Saya cerita banyak, mereka juga cerita banyak. Saya sangat menghargai usaha mereka buat bikin saya ketawa dan terhibur. Saya yakin mereka memang orang-orang yang baik. Saya mau kasih kredit tambahan untuk mereka;

Thanks Mba Niar, Mba Farrah, Mas Wawan, Olive dan Kak Reza. Semoga kalian bahagia selalu, ya.

(Terutama untuk Mba Niar dan Mba Farrah yang mau aja direpotin sama bakteri kayak saya. Bayangkan; sudah berapa banyak duit mereka ludes cuma buat jajanin saya dan memanjakan saya? *menangyz haru*)

Dan yang paling lucu adalah ketika Mba Niar pertama kalinya ketemu saya di Kedai Tempo del Gelato. Dia nyentuh bahu saya, menatap saya dengan wajah nggak percaya, lalu bilang, "Ini, Blek? Beneran?"

Ya, saya tahu. Sulit dipercaya orang purba macam saya masih sanggup hidup di masa kini....

Bodo amat.

Setelah gila-gilaan nggak karuan, saya beserta para tentor alias duo Niar-Farrah memutuskan buat mlipir ke arah Kulon Progo. Ke rumah yang aksesnya butuh ribuan kilo, belok sana sini melewati semak-semak, tapi, yaaa sesuailah sama ujaran; difficult roads lead to beautiful destination.

DAN IYA. SAYA NGGAK NYESEL KARENA TEMPATNYA ENAK BANGET. JAUH DARI KEBISINGAN. JAUH DARI PERGUNJINGAN ORANG-ORANG. BANYAK SAWAHNYA. BIKIN SAYA INGIN GULING GULING DI LUMPUR SEPERTI BABI.

Dengan tidak tahu dirinya, saya langsung terkapar di ranjang tidur di rumah Mba Farrah. Terdiam, be lyke, "Wow, sekarang q sudah di rumah idola..."

Tapi saya nggak bilang langsung ke orangnya karena dia sendiri nggak suka pengkultusan yang berlebihan. Wuakak. 

Tanpa terasa, Mba Niar pun harus undur diri. Pulang ke kampung halaman. Saya peluk berkali-kali karena saya benci perpisahan sama orang-orang yang bikin saya senang. *cries a river*

Setelahnya, saya pun dianter Mba Farrah muter-muter Jogja yang macetnya sudah mirip dajjal. Saya nggak kuat. Saya butuh Viagra supaya tahan lama.... 

Dan penutup perjalanan ini adalah makan di Angkringan Alun-Alun. Tempatnya romantis. Dan kami berdua terbawa suasana~ kami pun akhirnya ci.....urhat. Iya, curhat.

Saya memang tipikal orang yang nggak mau gembar-gembor soal hubungan interpersonal. Tentang siapa yang sedang dekat sama saya... dan siapa yang sedang saya taksir. Jadi, biarkanlah orang-orang melihat saya sebagai perempuan dua puluhan yang gersang dan NGGAK laku. I like how people judge~

TAPI, ketika dinner bareng Mba Farrah yang kebetulan sempat mengalami hubungan yang sungguh komplikasi, saya jadi tertarik buat menceritakan suka dan duka saya dalam menahan beban di dada yang trepes ini.

Bahwa saya memang bukan cewek yang gampang luluh dan jatuh hati sama lawan jenis. I have many trust issues. Saya nggak bisa semudah ~itu~ membuka hati dan membiarkan mereka masuk, mengobrak-abrik hidup saya, dan pergi begitu saja. Itu sebabnya beberapa cowok menganggap kalau saya dingin, nggak punya hati, dan biadab.

Those are truly me.

Selama dua puluh satu tahun hidup dan berkelindan sama drama-drama orang lain, saya hanya mengalami patah hati dua kali. HANYA DUA KALI. Serius. Dan kedua-duanya cukup bikin saya belajar supaya nggak terjebak di zona yang serupa. Bahwa saya harus hati-hati, bahwa saya harus patuh sama intuisi saya.

Dan terbukti, saya jarang salah menilai orang.

Setiap kali berinteraksi, saya selalu mengutamakan kesan; bagaimana gestur orang-orang, bagaimana cara mereka menatap dan bicara. Call me a judgemental bitch, tapi, kepribadian seseorang bisa dibaca lewat vibe yang mereka berikan ketika berkomunikasi. Itu yang menyebabkan saya ~jarang~ klop dengan perasaan para cowok; karena beberapa di antara mereka selalu memandang perempuan sebagai makhluk yang harus ditaklukan.

Itu sangat nggak cocok dengan prinsip saya.

Jadi, kembali ke acara makan malam bersama Mba Farrah Idola q. 

Kami saling open up tentang kehidupan asmara masing-masing. Itu semacam momen langka karena saya.... seringnya embarrass dan sungkan buat bicara banyak kepada orang selain bilang, "Ah gua jomblo. Ga ada yang mau sama gua. Titik." Karena, saya berpikir, orang-orang nggak berhak tahu apa yang terjadi dalam hati saya. Raurus.

Hanya saja, malam itu, saya nggak tega buat menahan ketika Mba Farrah bilang, "Kayaknya kamu sayang banget ya sama dia?"

Duh. Ore no kokoro...

Karena, sekali lagi, saya bukan tipikal cewek yang gampang terpikat sama cowok. Jarang banget ada yang bisa bikin saya tergila-gila. (Cole Sprouse adalah pengecualian).

Tapi, dengan orang ini, saya justru merasa lemah. Seakan-akan kehadiran dia bisa bikin tembok di sekeliling saya runtuh perlahan. Saya sayang, tapi saya nggak mau mengklaim dia sebagai milik saya. Ngerti, kan?

Lantas Mba Farrah meramalkan saya pakai tarot, katanya, "The Sun. Bagus kok. Dianya cuma ragu aja buat memutuskan pilihan, karena berat buat melepaskan. Dan kamu... katanya, bakal ada sesuatu yang nggak terduga. Yang tiba-tiba datang gitu aja ke kamu."

Saya nggak tahu apa saya kudu percaya atau mengabaikannya. Saya cuma berharap, itu pertanda bagus buat melanjutkan hidup. Karena, bagaimanapun, saya selalu berdoa buat orang-orang yang saya sayangi. Supaya mereka bahagia terus. Karena sedih itu nggak enak, mz~

Jadi intinya begitu. Amor platonicus. 

Semua yang saya rasakan terhadap orang-orang baik di sekitar saya adalah amor platonicus. 

Murni tanpa imbalan.

Kota Jogja Yang Macet, 2018




You Might Also Like

0 komentar