Google Images |
Di sore itu, lagi-lagi otak saya
bergerak nggak seimbang. Mirip ayunan pendulum, kadang mengot ke kanan, kadang serong
ke kiri, dan keadaan itu mirip gambaran yang repititif; berputar-putar sampai
akhirnya saya jadi pening sendiri.
Saya pikir kepala saya bakal
meledak persis hentakan nuklir yang digagas Kim Jong-Un, tapi ternyata otak saya cuma
ngedumel mirip Donald Trump yang gemar ngoceh di twitter. Berisik! Sudah berapa
kali saya bilang diam, sejak jam dua pagi tadi, tapi ruang di balik tempurung
kepala saya tetap heboh, ribut, gaduh serupa pasukan bergamis yang doyan
menggelar pawai di jalan sambil jejeritan ayat-ayat suci.
Lantas saya duduk di atas kasur.
Memberi ultimatum; kamu mending diam atau kusepak sampai tewas?
Otak saya nggak menggubris. Dia
tetap menggumamkan banyak hal seolah-olah dia sudah siap gelar kampanye
nasional dan berpidato selama belasan jam.
“Anjing kamu!” bentak saya, dan seketika
isi otak saya mereda. Mungkin dia takut, atau nggak suka dirinya disamakan
dengan anjing. Padahal itu kan binatang lucu.
Lalu saya ke dapur, melihat piring
berisi ayam bakar yang—wah—sanggup bikin lambung saya merekah indah. Tahu-tahu
otak saya bicara lagi, “Eh kamu tahu nggak, ayam itu sebelum dibakar, dia harus
melewati tahap kematian dulu. Lehernya dipotong, ada rasa sakit, darah, dan
yang paling utama, ada manusia yang terbahak-bahak menyaksikan penderitaan ayam
itu. Terus apa lagi? Yaaa, dibakar sama ibukmu! Ha-ha-ha.”
Harusnya itu lucu, tapi saya
nggak ketawa. Benak saya mendadak menayangkan adegan di mana ayam itu bergerak
dalam tempo cepat, melawan kepedihan yang amat sangat sewaktu lehernya disayat
golok. YA AMPUN! Saya total nggak jadi makan.
Otak saya memang berengsek—kenapa
sih dia nggak pernah suka lihat saya senang?
Tak lama, ayah saya datang sambil
marah-marah. Dia melihat isi dandang, mencium bau angit, dan marah-marah lagi.
Pipinya yang kempot bergerak-gerak seiring mulutnya yang mulai bicara dengan
nada keras, dan dia menatap muka kakak perempuan saya sambil bilang, “Kamu kalo
masak, ikhlas nggak? Kenapa nasinya bisa gosong gitu?”
Pertikaian itu berlangsung selama
lima belas menit, di antara waktu itu pula, otak saya jingkrak-jingkrak
bahagia. Mungkin inilah yang dia mau. Kebisingan.
Seraya menahan kepala yang
berdentum-dentum, saya ganti baju meski belum mandi dan balik ke kamar. Usai
pertikaian itu surut, otak saya menawarkan gagasan baru, “Coba deh kamu
pikirkan, andai kamu keluar dari tempat ini dan menggelandang di luar sana, apa
mungkin kamu bisa merasakan hal-hal yang baru?”
Kali ini saya diam.
“Kamu depresi kan? Kamu ingin
suasana baru?”
“Aku cuma mau tidur,” barulah
saya menjawab, berharap otak saya bakal mengerti. “Aku capek. Aku mau
istirahat. Nggak usah mikir apa-apa lagi. Oke?”
“Tapi…”
“Diem, Bangsat!” kegusaran saya
semakin menjadi dan dengan impulsif, saya meraih toples berisi obat dan menelan
sebutir risperidone. Otak saya masih ngomel, kadang teriak-teriak tanpa tahu
apa yang membuatnya teriak, kadang nggak sengaja memutar kejadian sepuluh tahun
lalu… sampai akhirnya dia menjadi lumpuh. Benar-benar mati.
Saya terbaring di atas kasur.
Dalam hitungan menit, mata saya memberat—berkunang-kunang. Kepala saya seperti
digantungi lima belas kwintal serbuk kayu. Dua lubang hidung saya yang besarnya
melebihi rata-rata seakan sedang tersumbat sesuatu.
Dengan kesadaran yang
setengah-setengah, saya mencoba bangkit buat menenggak air putih. Glup glup
glup. Jantung saya seperti ikut lomba lari—melawan Usain Bolt. Saya trembling dengan sinusitis yang semakin
parah.
Sesak dan nggak bisa bernapas.
Oh—apa saya bakal mati?
Sekuat mungkin saya melebarkan
pandangan dan nggak melihat apa pun. Kata orang kan kalau mau mati, biasanya
ada sosok hitam yang menghampiri. Tapi saya cuma seorang diri di kamar. Nggak
ada siapa pun. Atau sebetulnya malaikat maut itu saya sendiri?
Lutut saya seperti mau rontok
dua-duanya, dan buru-buru saya melemparkan tubuh ke atas kasur. Tubuh saya
lembap mirip orang sakaw, tapi saya nggak sedang sakaw. Saya pikir saya mau
mati, tapi kenapa prosesnya sungguh menyiksa?
Kelopak mata akhirnya betul-betul
tertutup dengan saluran napas yang tersumbat seutuhnya.
Untuk kali pertama, saya
nggak merasakan apa-apa.
Hanya dingin. Nggak ada siapa-siapa.
Dan saya cuma tergeletak diam—walaupun ada sepercik kesadaran yang mengeruak
untuk menepuk-nepuk pipi saya supaya buruan bangun.
Sepanjang proses kematian itu,
saya hanya diliputi gelap. Memori saya berputar-putar, acak, amburadul, persis
kaset yang pitanya sudah kusut. Nggak ada rasa sakit; hanya lemas, nggak bisa
bernapas, dan sekian miliar sel di dalam diri saya seolah berhenti berfungsi.
Saya ingin ngakak namun nggak
bisa. Saya sedikit lega, sebab akhirnya otak saya bisa diam juga.
Kendati keadaan itu harus dibayar dengan pukulan dalam dada.
Kendati keadaan itu harus dibayar dengan pukulan dalam dada.
Satu jam.
Saya kembali teringat pada
teori-teori kematian. Jadi, ada banyak tempat atau alam semesta lain di mana
jiwa bisa bermigrasi setelah kematian, menurut teori neo-biosentrisme.
Tapi, uhm, apakah jiwa
benar-benar eksis?
Dua jam.
Bukankah orang yang meninggal akan
bepergian melalui terowongan yang berakhir di neraka atau di surga?
Tapi... bukankah kesadaran ada di luar
batas ruang dan waktu? Bukankah ia dapat berada di mana saja: di dalam tubuh
manusia dan di luar itu?
Lima jam.
Kok masih gelap?
Dan tujuh jam kemudian, kelopak mata
saya tiba-tiba seperti dikoyak. Kenapa? Otak saya spontan bertanya-tanya. Sialan,
ternyata dia masih hidup.
Saya kira saya mengalami mati
batang otak, ternyata apa yang saya rasakan cuma efek samping obat. Kontan saya nyengir sendiri.
Belum mati saja saya sudah tersiksa begini, apa kabar kalau nyawa saya
betul-betul dicabut?
Otak saya gembira saat saya
memulai fase perenungan itu. Dimulailah kilasan-kilasan magma mendidih, cairan
panas yang mengeluarkan gelembung dan meluap-luap. “Kamu bakal dibakar di
tempat itu. Ditusuk pakai besi panas. Dipukul berkali-kali pakai tongkat
berduri. Kamu banyak dosa sih. Sudah jarang sholat, sering menghina tuhan pula.
Bersiaplah, Mba.”
Mendengar itu, kuping saya
menjadi gatal. “Bukannya pakai pengadilan dulu ya?”
Otak saya diam sebentar. “Di sana
cuma tuhan yang layak menghakimi.”
Saya angguk-angguk. “Kalau mekanisme kematian begitu,
berarti aku nggak bakal sendirian.”
“Nggak sendirian bagaimana?”
tanya otak saya sambil miring sebelah.
“Ya neraka bakal rame,” saya
semakin antusias. “Ada Michael Jackson, ada John Lennon, ada Chester
Bennington, ada Jonghyun. Ya berarti aku nggak bakal bosan di sana.”
Otak saya kehilangan kata.
“Coba bayangin di surga,” saya
memulai kembali. “Isinya cuma 25 nabi dan orang-orang suci, dan 10 malaikat—malaikat saja punya kesibukan masing-masing. Aduh, ya masak di dunia udah kesepian, di
akhirat juga kesepian…”
“Dasar kekanak-kanakan,” otak
saya menukas sebal. “Itu nggak seperti yang kamu pikirkan…”
“Ya sudah,” saya memotong kemudian kembali rebahan di kasur. “Kalau
begitu mending kamu diam dan duduk di pojok. Aku mau tidur.”
Dia menghela. “Oke. Tapi aku
nggak jamin tidurmu bakal nyenyak.”
Saya nggak dengar, soalnya saya
sudah mengorok. [ ]
0 komentar