Cotard
(Oleh: Amaliah Black)
Google images |
Cewek itu
menatap busa cokelat yang mengambang dalam mug keramik di genggaman, separuh berharap
zat-zat itu sanggup memompa serotonin yang belakangan tersumbat entah di mana.
Dia menyesap sedikit, lalu melirik ketika ponselnya berdenting. B tidak pernah
suka bagian ini. Orang-orang akan datang, mengganggunya, kemudian pergi begitu
saja. Dengan enggan, dia membaca sekilas pesan yang masuk, mendengus ringan
sambil menghapus seluruh rekaman percakapan yang berjejer tanpa awal dan ujung.
Semalam, dia
tertidur dalam keadaan menyedihkan. Angin ribut menyusupi kepala, meraung-raung
dalam benak seakan meneriakkan ribuan bencana, dan semua akhirnya tereduksi seiring
obat tidur yang larut bersama aliran darah. Bagaimanapun, B tidak benar-benar terlelap.
Dia hanya memejamkan mata, merasa petak-petak cahaya mengelilinginya di antara
atmosfer gelap, lantas mendengar suara yang campur-baur. Entah itu teriakan,
gelak tawa, isak tangis, atau bisikan remang. Dan ketika sepasang kelopaknya
kembali terangkat, B menemukan jejak-jejak air mata sudah melelehi pipinya
tanpa sempat dia sadari. Dasar sinting, dia tertawa sunyi seraya menggosok-gosok wajah dengan kasar. Kontan pandangannya menyipit manakala sorotan sinar matahari yang menembus
gorden-gorden jendela kamar menimpa remah-remah dunia yang berserak di sekeliling.
Pagi sudah
datang, dan aku masih tetap sama.